Four - Dijodohkan?

1153 Words
Abas mencengkeram dagu Diva dengan keras, mendongakkan ke atas sehingga kini wajah mereka berhadapan dengan jarak yang sangat tipis. "Jangan menyesal dan berpikir bisa melarikan diri. Kamu yang memulai, tapi jangan harap kamu bisa mengakhiri sesuka hati." Abas memperingati dengan tajam. Diva menyunggingkan senyum lebar seraya membawa jari-jarinya yang halus untuk menyentuh d**a telanjang Abas, dimana hal itu tentu saja menimbulkan sengatan kecil diantara keduanya. "Ah, apakah Tuan Angkasa mulai tak ingin melepaskanku?" tanyanya menyeringai. Pria itu mendengkus dan ingin memalingkan wajah, tapi dengan sigap Diva melingkarkan tangan di tengkuk Abas dan menariknya sehingga kini wanita itu dengan leluasa dapat mengecup bibir seksi yang sejak tadi meluncurkan kata-kata tajamnya. Ah, Diva melenguh tanpa sadar saat merasa bahwa bibir pria itu terasa lembut dan keras secara bersamaan. Tentu saja Abas tak tinggal diam, ia tak akan membuat wanita di bawah kungkungannya itu merasa menang. Pria duda itu mengambil alih ciuman yang kini semakin panas dan mendebarkan. Ia mencecap serakah bibir kenyal dan manis milik wanita yang dengan berani menggodanya malam ini. Diva kian meremas tengkuk pria itu seolah ingin mencicipi lebih dalam lagi hingga membuat Abas menggeram atas sentuhan wanita itu. Diva tak peduli lagi jika saat ini dirinya terlihat seperti w************n yang haus akan belaian pria. Sementara itu, Abas semakin menekankan tubuh kerasnya hingga Diva seolah tersengat listrik yang membuat tubuh wanita itu bergejolak hebat. Sungguh, Diva ingin lebih. Ia tak sabar mereguk setiap rasa yang akan Abas berikan padanya. Apalagi kini tangan pria itu mulai bergerak liar ke seluruh permukaan kulitnya. Namun siapa sangka pria itu malah menarik dirinya hingga kini berdiri menjulang di hadapan Diva dengan senyum miring penuh cemooh. "Itulah yang kamu dapat jika menjadi sugar babby-ku," ucapnya sinis sebelum berjalan dengan langkah ringan menuju kamar mandi. Diva melotot tidak percaya. Apakah pria tua itu baru saja mempermainkan dirinya? Wanita itu masih terperangah hingga akhirnya Abas muncul dari balik pintu kamar mandi dengan kemeja yang sudah kembali rapi. Pria itu berjalan menuju pintu keluar, tapi tiba-tiba saja langkahnya terhenti dan berputar menuju ranjang sembari merogoh saku dan mengeluarkan lembaran uang dan menjatuhkannya tepat di samping Diva yang kian meradang. "Itu bayaranmu malam ini, My Sugar Babby," bisiknya mengejek sebelum berbalik dan benar-benar meninggalkan wanita itu tanpa menoleh sekali lagi. Diva mengepalkan tangan erat-erat sebelum berteriak frustasi. 'Sialan! Baru kali ini ada pria yang menolaknya dengan cara memalukan seperti ini,' pikirnya. Padahal wanita itu sudah merendahkan harga dirinya dan rela terlihat seperti w************n yang t***l seperti tadi. Tapi dengan brengseknya Abas malah mempermainkannya dan menolaknya dengan hina. Wanita itu menatap tajam uang yang ditinggalkan pria tadi. Diva meraihnya dan meremasnya dengan penuh tekad. Lihat saja, ia akan mengubah cara main sehingga nanti ia akan membalikkan keadaan hingga Abas lah yang mengemis padanya. Ini bukan lagi soal uang atau taruhan dengan teman-temannya, tapi ini demi harga diri Diva yang sudah diinjak-injak oleh pria tua itu. Belum sempat Diva meredam emosi yang bergejolak di hati, tiba-tiba saja ponselnya berdering hingga mengalihkan perhatian wanita itu. Nomor sang papa tertera di sana membuat bulu kuduk wanita itu seketika meremang apalagi mengingat pesan yang tadi dikirim papanya itu. "Hallo, Pa." "Dimana kamu?!" Diva menjauhkan ponsel dari telinganya ketika mendengar hardikan dari sang papa. "Lagi di rumah teman," sahut wanita itu yang sudah terbiasa berbohong ketika ia pergi ke club malam. "Di rumah teman? Pulang!!!" Sambungan telepon terputus dan Diva melirik ngeri layar ponselnya. Entah keputusan apa yang pria otoriter itu akan lakukan untuk menghukum perbuatan Diva yang pasti sangat memalukan bagi orang tuanya itu. Diva menghela napas panjang sembari berjalan gontai menuju pintu keluar. Tak lupa ia memungut uang yang ditinggalkan oleh Abas untuk berjaga-jaga kalau nanti sang papa benar-benar mendepak dirinya tanpa ampun serta menarik fasilitas mewah yang biasa diberikan. Papanya itu jelas sekali mampu melakukan hal itu mengingat sejak dulu cara mendidik yang ia terapkan memang seperti itu, keras dan disiplin. Hanya saja Diva selalu saja mendapat pertolongan dari sang kakek dan nenek yang selalu memanjakan dirinya. Sayangnya mereka kini sudah tiada dan membuat Diva terjebak denga peraturan militer papanya tanpa adanya bala bantuan. Sesampainya di rumah, Diva sudah ditunggu oleh sang papa di ruang tamu dengan tatapan menghunus tajam siap menginterogasi wanita itu. "Darimana saja kamu?!" Diva menghela napas sembari mendudukan diri di hadapan sang papa, tak lama muncul wanita paruh baya dari arah tangga yang tak lain adalah mama Diva yang bisa selalu wanita itu andalkan untuk menyelamatkan dirinya dari amukan sang papa. "Dari rumah teman, Pa," sahut Diva dengan tenang. "Apa temanmu tinggal di club?" tukas pria paruh baya itu sengit. Diva tersenyum kecut, percuma mengelak lagi jika begini. Itu artinya sang papa sudah mengetahui kebenarannya dan ia tak perlu untuk berbohong lagi karena hanya akan buang-buang energi. "Diva suntuk, Pa," ujar wanita itu mengeluh. "Suntuk? Apakah wajar seorang pengajar melarikan rasa suntuk ke club malam setiap hari?" hardiknya dengan mata mendelik tajam. Wanita itu menarik napas panjang. "Bukannya dulu Diva bilang itu bukan cita-cita Diva? Papa kan yang maunya begini?" "Apa salahnya menyenangkan hati orang tua, Diva?" desis sang papa. "Papa senang tapi aku tidak," sahut Diva jujur. "Kamu!!" Wanita paruh baya yang kini duduk di samping papa Diva mengelus lengan pria itu. "Sabar, Pa. Ingat kesehatan papa," tegurnya. "Anak ini memang sudah tidak tertolong lagi! Papa sudah angkat tangan dan memilih menjodohkan kamu dengan anak teman papa!" ucapnya mengultimatum. "Apa?!" Diva sontak berdiri tegak dengan mata melotot tak percaya. "Ya, dan kali ini kamu tidak bisa menolak jika tidak ingin fasilitas yang selama ini kamu pakai papa tarik!" ucap sang papa final. Diva ingin marah, meluapkan protesnya pada sang papa yang selalu memaksakan kehendaknya dan tidak pernah memikirkan perasaan dan pilihan hidup Diva sendiri. "Sampai kapan papa akan menyetir hidup Diva, Pa?" tanya wanita itu dengan senyum getir. "Sampai kamu paham bahwa kehidupan ini tidak segemerlap lampu club malam!" Diva menggeleng tak percaya sebelum menatap sang mama dengan wajah memelas. "Ma ...." lirihnya meminta pertolongan. Sayangnya kali ini sang mama hanya mampu menghela napas dan menggelengkan kepala pelan tanda ia tak bisa berbuat apa-apa untuk membantu Diva. Wanita itu mengepalkan tangan dan hendak beranjak dari hadapan kedua orang tuanya. "Papa belum selesai, Diva!" tegur pria paruh baya itu. "Diva capek, Pa," sahut wanita itu tanpa menoleh ke belakang. "Capek apa kamu? Joget? Mabuk?!" "Pa ... sabar. Anak kita sudah besar, biarkan dia berpikir dulu," ujar sang mama memberi suaminya pengertian. Sementara Diva sendiri tak ingin lagi mendengar percakapan mereka yang hanya akan membuatnya semakin sakit kepala. Ia memilih merebahkan diri sembari mengecek ponselnya, dan tanpa sengaja Diva melihat berita terkini tentang pria incarannya yaitu Abas Angkasa yang akan mendirikan sebuah panti asuhan di pinggiran kota dan besok akan dilakukan peletakan batu pertama yang akan dihadiri langsung oleh pria duda itu. Secercah senyum manis terbit di wajah wanita itu, semangatnya seolah terpompa kembali dan berbagai rencana tersusun di kepala. Diva siap untuk melanjutkan permainannya esok hari. Persetan dengan perjodohan itu, Diva akan melawannya sekuat tenaga. TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD