Diva memoles lipstik ombre di bibirnya sebelum tersenyum sumringah memandang kaca yang menampilkan keanggunan dan kecantikan dirinya dengan gaun hijau muda di bawah lutut bermotif bunga-bunga kecil.
Wanita itu meraih sling bag berwarna hitam keluaran terbaru dari salah satu merk terkenal yang ia dapat dari hasil menggesek kartu kredit sang papa.
Langkah wanita itu terasa ringan menuruni anak tangga hingga ia tiba di meja makan dimana mama dan papanya sudah duduk bersiap untuk sarapan.
"Selamat pagi, Pa, Ma," sapanya seraya mengecup pipi kedua orang tuanya itu sebelum duduk dan mengambil selembar roti yang diletakkan di atas piring di hadapannya.
Ameta yang tak lain adalah mama Diva jelas merasa heran dan melirik suaminya yang juga sedang memandang putrinya dengan aneh. Padahal mereka sudah berembuk bahkan berdebat untuk memikirkan cara menghadapi sikap anaknya yang pasti akan memberontak dan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan lagi setelah mendengar berita perjodohannya tadi malam.
Tapi lihatlah pagi ini, Diva malah muncul dengan wajah cerianya lengkap dengan penampilan yang super duper rapi menandakan bahwa wanita itu akan pergi dengan hati riang gembira.
Sang papa curiga bahwa putrinya itu kini tengah memainkan trik baru yang nantinya akan mengecoh mereka. Ia dan isterinya harus lebih berhati-hati karena Diva memang sangat cerdik dalam mendapatkan apa yang ia mau. Walau pria paruh baya itu sadari bahwa hal itu tak luput dari pembelajaran yang ia berikan pada putrinya itu juga.
"Mau kemana?" tanya pria paruh baya bernama Jeremy itu sembari meletakkan korannya ke atas meja.
Diva yang sedang mengoles selai strawberry di atas rotinya tersenyum dengan manis. "Ada urusan sebentar, Pa," sahutnya santai.
"Club malam tidak buka di pagi hari," sindir pria itu yang hanya dibalas dengan senyuman oleh anak semata wayangnya itu.
Jelas saja, hatinya kini sedang bergembira dan semangatnya benar-benar tengah terpompa. Jadi, ia tidak akan terpancing dengan sindiran sang papa yang bisa saja merusak mood-nya.
"Diva ke club dari malam sampai pagi, Pa. Bukan dari pagi ke malam," ujarnya terkekeh geli melihat wajah papanya yang berubah tegang.
"Kamu sudah dewasa, Diva. Papa dan Mama juga sudah tua, walau harta kekayaan yang kami tinggalkan nantinya melimpah ruah, tapi jika sikap berfoya-foya yang kamu punya masih mendarah daging maka semua tidak akan menjadi apa-apa. Papa keras terhadap kamu sebenarnya untuk kebaikanmu juga," ujar Jeremy dengan serius.
Gerakan mengunyah Diva seketika berhenti. Pandangannya kini menatap lurus ke arah sang papa. "Kalian masih sehat dan akan hidup sampai Diva punya anak dan cucu," ujar wanita itu yakin.
Jeremy menghela napas panjang. "Umur tidak ada yang tahu. Kamu adalah anak kami satu-satunya dan kami sangat mengkhawatirkan masa depan kamu."
Ameta mengusap punggung tangan putrinya sebelum berbicara dengan lembut. "Hidup ini keras, Sayang. Kamu tahu itu 'kan?"
Diva mengangguk paham karena dia jelas tahu bagaimana kejamnya dunia yang mengelilingi sang papa. Berbisnis tidak cukup hanya dengan niat hati yang bersih saja, itu yang diingat Diva dari perkataan sang papa sejak kecil.
"Kamu perempuan dan tidak memiliki saudara laki-laki yang nantinya akan melindungi kamu jika nantinya terjadi apa-apa dengan kami," ujar Ameta memberi pengertian.
"Kalian ini bicara apa sih?" Diva tidak senang dengan pembahasan ini. Ia berdiri dari duduknya dan bersiap meninggalkan meja makan.
Diva yakin papa dan mamanya masih sehat dan akan hidup seratus tahun lagi.
Jeremy menghela napas berat sembari menggeleng pelan melihat tingkah keras kepala putrinya.
Ameta mengusap lengan suaminya. "Suatu saat dia akan berpikir lebih dewasa. Jangan terlalu memaksanya," nasihat wanita paruh baya itu.
"Entah sampai kapan," keluh pria itu.
Ameta tersenyum lembut. "Sifatnya mirip kamu waktu muda."
"Itu sebabnya aku tidak mau dia menyesal sepertiku."
"Biarkan dia menikmati masa mudanya dulu, pelan-pelan kita akan arahkan menjadi lebih baik.
"Semoga bisa begitu," sahut Jeremi pasrah.
"Pasti bisa," sahut Ameta yakin.
Sementara itu Diva kini sedang menghidupkan musik di dalam mobil yang tengah membelah jalan raya menuju pinggiran kota di mana tempat Abas akan mendirikan sebuah panti asuhan.
Wanita itu mengemudi dengan hati-hati meski pikirannya masih terusik dengan kalimat-kalimat orang tuanya tadi.
Diva bukannya tidak memikirkan kebahagiaan orang tuanya, hanya saja ia juga ingin merasa bebas dan bisa memilih apa yang menjadi cita-citanya. Hidup cuma sekali dan wanita itu tak ingin menyesal ribuan kali.
Satu jam berjalan, akhirnya wanita itu tiba di sebuah perkampungan yang baru kali ini Diva datangi dan hal itu juga berkat bantuan GPS yang ia gunakan sebagai penunjuk jalan.
Di sebuah tanah kosong yang luasnya Diva perkiraan mencapai lima hektar itu terpasang baliho selamat datang kepada Abas Angkasa sebagai pendiri panti asuhan tersebut dan beserta perwakilan dinas sosial yang akan meninjau lokasi dan pembangunan panti asuhan tersebut.
Dengan langkah anggun, Diva berjalan melewati beberapa wartawan pencari berita yang menunggu di pinggir jalan. Sayangnya tepat di gerbang masuk, Diva di hadapan oleh beberapa penjaga yang tidak mengizinkannya untuk melewati batas tersebut.
Wanita itu menghela napas panjang dan mengibaskan rambut dengan gaya anggun. "Katakan pada Bapak Abas Angkasa, saya datang untuk mendampinginya," ujar wanita itu tegas.
"Maaf, Bu, tapi siapapun dilarang masuk tanpa persetujuan," tolak sang penjaga tak kalah tegas.
Diva mendelik tajam. "Ibu? Apa tampang saya terlihat seperti ibu-ibu?" gerutu wanita itu tak terima.
Tak ada sahutan dari pria tegap di hadapannya karena menganggap Diva adalah gadis gila yang hanya akan mengacaukan acara.
Sialnya wanita itu tidak memiliki nomor ponsel Abas agar dia bisa menghubungi pria itu dan mengatakan keberadaannya.
Namun satu ide cemerlang terlintas di kepala Diva. Wanita itu segera menyingkir sembari merogoh ponsel. 'Lihat saja kalian penjaga kurang ajar, aku akan membuat kalian bungkam saat menggandeng tangan Abas sambil berjalan," geram Diva dalam hati.
Wanita itu menelpon Uly dan pada dering ke dua sudah diterima oleh wanita beranak satu itu.
"Hallo, Ly. Ini urgent dan gue nggak sempet basa-basi karena gue yakin Lo sehat wal'afiat berkat lakik berondong elo yang super duper sexy itu. Jadi, gue langsung ke inti masalah aja ya," cerocos Diva tanpa tahu malu.
"Uly lagi mandi," sahut suara berat di ujung sana yang langsung membungkam mulut tak beradap Diva.
"Ap ... apa? Jadi ... Lo suaminya?"
Diva benar-benar ingin memukul mulutnya sendiri yang tidak bisa memfilter ucapannya. Bagaimana bisa ia mempermalukan diri sendiri seperti ini. Benar-benar memalukan. Diva merutuk kesal di dalam hati.
To be Continued