5 : Penampakan Pertama

1600 Words
Sepanjang mata memandang ada pohon-pohon tinggi menjulang, dengan jalanan yang berupa bebatuan-bebatuan keras. Meski ini siang hari tapi matahari seakan-akan enggan menerangi hutan ini, bus mini mereka berhenti di perbatasan hutan, di sana ada pos penjagaan dan mereka harus didata ulang untuk kepentingan administrasi. Sahel menghandle semuanya, sebagai ketua kelompok ia harus sigap menangani masalah anggotanya. Baru diperbatasan saja sudah mengerikan seperti ini, bagaimana jika mereka melaju lebih dalam lagi? “Run, aku kebelet pipis.” Amel meringis kecil sambil menahan-nahan rasa buang airnya. “Ya udah turun aja, mumpung Sahel masih ngurus pendataan.” Balas Seruni. Amel menghela napas berat, Seruni tidak paham kode darinya. Mereka masih setia di dalam bus, sedangkan Sahel ada di luar dengan ditemani oleh Handi dan Roni. “Temenin, aku kan udah bilang bakal nempel sama kamu terus selama kita KKN di sini.” Ia menampilkan ekspresi puppy eyesnya. Seruni mengangguk pelan, ia berdiri dari duduknya. Mata Amel berbinar senang, mereka berdua pun turun dari bus dan mencari toilet disekitaran pos penjagaan sana, “Yes, makasih Runi.” Keduanya sudah berada di bawah, mereka mengedarkan pandangan untuk mencari letak toilet. Ada dua orang polisi hutan yang sedang berbincang bersama Sahel, ia pun berniat untuk menanyakan letak toilet pada mereka. “Permisi, bolehkah saya menggunakan toilet di sini?.” Seruni berujar pada mereka. Sahel dan dua polisi di sana sontak saja menatap padanya. “Tentu saja, ada di belakang pos ini.” “Baik, terimakasih.” “Hel, tungguin kita lho.” Amel berujar pada Sahel, takut jika ditinggalkan. “Iya, udah cepetan sana.” Balas laki-laki itu. Amel dan Seruni segera menuju ke toilet yang ditunjuk oleh polisi-polisi itu. Benar saja, di belakang pos ada toilet mini dan sumur tua yang telah tertutup dengan lumut-lumut kehijauan. Amel mendekat pada toilet, saat ia ingin membukanya ternyata toilet itu sedang terpakai, terdengar suara gemericik air di dalam sana. Sebagai gadis penakut, refleks ia berjengkit kaget, takut jika di dalam sana dihuni oleh makhluk gaib. “Kenapa?” Tanya Seruni, heran dengan Amel yang justru berbalik ke arahnya. “Ada orang di dalam, apa jangan-jangan hantu ya.” Amel berbisik pelan, otaknya sudah dipenuhi oleh praduga-praduga buruk. Seruni berdecak pelan, ia tidak merasakan aura makhluk gaib disekitaran sini, atau setidaknya belum. “Ck, mana ada hantu di sini. Paling juga orang, tungguin aja.” Seruni bersedekap tangan sambil bersandar di dekat sumur. Seruni hanya tak tahu bahwa saat ini bahwa Amel sedang waspada, ia sungguh terdoktrin dengan kata-kata teman sekelasnya yang mengatakan bahwa desa di hutan ini sangat angker. Cklek! Setelah menunggu selama beberapa saat, akhirnya pintu toilet terbuka, terlihat seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dengan seragam khas polisi kehutanan. Amel mendelikkan mata, syukurlah ia masih bisa melihat bahwa laki-laki itu masih menapakkan kakinya di tanah. “Aku masuk dulu, Run, tungguin!” Amel menekankan kata terakhirnya. Seruni hanya memutar bola mata jengah, kenapa Amel sepenakut itu. Sambil menunggu Amel, Seruni menelusuri sekitarannya. Ini masih belum memasuki kawasan hutan, masih di perbatasan. Akan tetapi, suasananya sudah cukup menyeramkan ditambah dengan pepohonan tinggi yang menutupi sinar matahari. Memang benar, orang awam pun akan merasa bergidik jika ada di sini. “Loh, Runi?” Suara seorang laki-laki terdengar. Seruni menoleh menatap sang pemilik suara, matanya memincing untuk mengenali sosok itu. “Vin?!” Sahut Seruni. Lelaki itu tersenyum lebar, ia senang melihat Seruni di sini, mereka sudah cukup lama tak saling menyapa meski hanya melalui pesan. “Kamu di sini?” Vin bertanya, agak kaget dengan keberadaan gadis itu. Seruni mengangguk, sejujurnya ia canggung jika berada di dekat lelaki itu. “Jangan bilang kalau rombongan bus yang menuju desa Rogokepaten adalah kelompokmu.” “Aku memang bagian dari mereka,” jawabnya. Vin membulatkan matanya, bibirnya juga sedikit terbuka. “Kamu KKN di sana? Sudah memikirkannya dengan matang?” Vin ingin memastikan. “Ya, dari pihak kampus sudah memilihkan program KKN kami di desa itu.” Vin menghembuskan napas kasar. “Hati-hati selama di sana, ada desas-desus mengatakan kalau desa itu angker, beberapa waktu lalu juga ada kasus seorang pemuda hilang.” Seruni terdiam, kemungkinan orang yang dimaksud Vin adalah sepupunya Bagas—teman kampusnya. “Tentu.” Vin menggigit bibir bawahnya, suasana menjadi canggung. “Sudah lama kita tidak saling kontekan.” Vin mencoba untuk menaikkan pembahasan mengenai keduanya. Dulu, antara Vin dan Seruni merupakan teman dekat yang pernah kenal melalui sosial media. Vin Zunanta, lelaki berusia duapuluh empat tahun yang berprofesi sebagai polisi hutan, keduanya saling mengenal sekitar satu tahun yang lalu sebelum saling lost contact. Seruni tersenyum kaku. “Ohh, kamu ganti nomor hp?” “Ya, nomorku yang dulu sudah hangus.” “Boleh aku meminta nomormu yang baru? Hanya untuk berjaga-jaga jika kamu butuh bantuan, desa ini cukup misterius, jika ada apa-apa langsung kabari aku. Terlebih lagi meski desa Rogokepaten berada di wilayah hutan ini, tapi sebagai polhutan kami tidak bisa ikut campur dengan urusan mereka. Kawasan desa itu sepenuhnya milik warganya.” Jelas Vin panjang lebar. Seruni tidak enak jika menolaknya, akhirnya ia pun menyetujuinya saja. Ia mengeluarkan ponsel dalam saku lalu memberikannya pada Vin, dengan sigap Vin langsung mencatat nomor gadis itu. Ponsel Seruni berbunyi, di sana ada nomor asing yang memanggilnya, siapa lagi jika bukan lelaki itu. Vin menyerahkan ponsel gadis itu. “Terimakasih, jangan sungkan-sungkan untuk meminta bantuan.” Di saat yang bersamaan Amel muncul, ia mengernyitkan dahi saat melihat sahabatnya sedang berbincang dengan polisi hutan itu. Apa mereka saling mengenal? “Mel, udah?" Melihat Amel keluar dari toilet membuat Seruni langsung mengalihkan atensi. Amel berjalan mendekat sambil mengangguk, matanya juga diam-diam melirik pada Vin. “Ya udah ayo, keburu ditinggal.” Lanjut Seruni, ia hanya tidak ingin berlama-lama berada di dekat Vin. “Okey.” Seruni bisa bernapas lega karena Amel langsung menyetujuinya, ia pun menggaet tangan Amel dan bersiap pergi dari sana. “Kami pergi dulu, terimakasih atas tumpangan toiletnya.” Seruni berujar pada Vin. “Sama-sama.” Setelah mengatakan itu Amel dan Seruni pun undur diri, mereka akan kembali ke busnya. Diperjalanan Amel bertanya mengenai lelaki itu, tapi Seruni belum berminat tuk menjawabnya. “Ayo, bus mau lanjut perjalanan.” Ujar Sahel saat keluar dari pos dan berpapasan dengan keduanya. “Siap, Pak Ketua.” Amel memperagakan gerakan hormat. Vin setia mengekori gadis itu sampai ke depan pos, ia menatap punggung Seruni yang makin kian menjauh dan memasuki bus. Ada rasa cemas melihat gadis itu berada di sini, hutan ini dan desa itu bukanlah tempat Seruni berada seharusnya. Vin hanya bisa berharap agar gadis itu baik-baik saja tanpa kekurangan apapun. Rasa itu masih sama meski ia sudah kehilangan kontak selama berbulan-bulan, ia memiliki perasaan pada Seruni walau tak pernah berani mengungkapkannya. Amel merasa lega setelah membuang hajatnya, ia juga tak mengalami gangguan apapun di sana. Sahel mengintruksikan bahwa mereka akan melanjutkan perjalanan. “Aku ngantuk, nanti bangunin kalau udah sampai ya.” Amel menguap lebar sambil bergumam. “Iya.” Balas Seruni. Bus mulai berjalan meninggalkan pos, benda persegi panjang itu melaju melalui garis perbatasan. Dari kaca jendela transparan ini Seruni bisa melihat bahwa Vin setia berada di tempatnya dan juga sedang menatapnya. Tatapan itu, tak pernah berbeda dari beberapa bulan lalu. Sebagai seorang remaja ia tahu betul arti tatapan Vin dan juga kalimat-kalimat yang pernah dilontarkan pria itu, Vin menyukai Seruni, tapi gadis itu lebih dulu mendeklarasikan bahwa masih ingin sendiri dan tak berminat menjalin kisah romansa. Maka dari itu meski Vin menyukainya, ia tak berani mengungkapkan. Seruni menyenderkan punggungnya pada jok, sedangkan disampingnya ada Amel yang sudah tertidur dengan pulas. Itu lah Amel, di mana pun ia berada pasti akan mudah tidur. Lagi, sepanjang jalan ini juga terdapat pohon-pohon tinggi menjulang, malah bertambah banyak saja. Seruni terus memperhatikan jalanan itu, rasa dingin mulai menggerogoti tubuhnya. Anak-anak lain pun sama, mereka mulai memakai selimut yang sudah disediakan oleh pihak jasa transportasi ini. Hutan yang gelap, mencekam dan juga dipenuhi oleh hawa dingin. Perasaan Seruni mulai tidak enak, ini merupakan pertanda bahwa mata batinnya akan aktif dan dapat menangkap hall-hal gaib. Ia mulai antisipasi, bersiap-siap jika ada penampakan-penampakan mengerikan terlihat oleh mata. Rupanya perasaan itu tidak hanya dirasakan oleh Seruni, melainkan juga dengan dua orang mahasiswa lainnya. Salah satunya adalah Handi, deru napasnya terdengar memburu, jantungnya berirama tidak jelas, ia juga memilih untuk memejamkan mata daripada harus melihat penampakan arwah di hutan ini. Benar saja, di kanan dan kiri jalanan yang bus ini lewati, ada anak-anak kecil hingga remaja memakai pakaian berwarna putih lusuh sedang berdiri tegap. Rambut mereka berantakan dan kusut, sekitar matanya terlihat menghitam bak mata panda, bibir juga wajahnya pucat pasi dan jangan lupa bahwa kaki-kaki mereka tidak menapak tanah. Mereka semua bergumam kalimat yang sama, “Tolong… Tolong!” Seruni terhenyak, ia menelan ludahnya dengan susah payah.   Penampakan pertama di hutan ini, sosok arwah anak kecil. Memilih untuk mengabaikan mereka, Seruni pun menutup kaca dengan gorden, berharap tak melihat pemandangan itu lagi. Ini baru awal, ia tak mau terlibat dengan arwah-arwah selama KKNnya berlangsung. Gorden telah tertutup, Seruni fokus untuk menatap jok depannya dan melupakan penglihatannya yang tadi. Tanpa ia ketahui, pergerakannya tadi tengah dilihat oleh seseorang yang berada di belakangnya. Melihat gelagat Seruni yang juga sama seperti responnya, mereka sama-sama memiliki ‘kemampuan’ tuk melihat hal-hal gaib. Gadis itu memilih untuk menutup mata dan berharap agar bisa terlelap dengan nyaman seperti Amel, setidaknya hingga mereka sampai di tempat tujuan. Sungguh Seruni tidak mau berurusan dengan mereka, ia hanya ingin menjalani KKN dengan aman dan nyaman tanpa suatu masalah apapun. Namun, tentu saja kegiatan KKNnya tidak semulus yang direncanakan. Berbagai masalah dan juga bahaya sudah mengancam dirinya sejak saat memutuskan untuk masuk ke wilayah ini, wilayah yang seharusnya terlarang bagi siapa pun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD