PPW 27 – Pertemuan dengan Raja

1143 Words
Tiba-tiba semuanya gelap. Aku tidak tahu mengenai apa yang terjadi selanjutnya. Namun, yang aku tahu kini tubuhku terasa begitu sakit dan aku harus mencoba membuka mata. Saat aku membuka mata, hal pertama yang aku lihat adalah Annaliese. “Kau sudah bangun, Badrun?” tanya Annaliese. Aku menganggukkan kepalanya. Itu pertanyaan yang sejujurnya tidak perlu aku jawab karena Annaliese tentulah tahu kalau aku sudah bangun karena mataku terbuka lebar. Aku mencoba memikirkan apa yang terjadi, “Tunggu, kenapa kamu ada di sini, Annaliese. di mana aku?” tanyaku. Seingatku Ananliese dan Putri Shinta pergi meninggalkan gua saat aku bertarung dengan Raja Rahwana. “Ceritanya panjang, BAdrun. Yang jelas ketika aku dan Putri Shinta pergi, kami dicegat oleh pengawal raksasa itu. Dan ya kami dibawa kesini,” kata Annal;iese. “Lalu di mana, Putri Shinta?” tanyaku. Aku belum melihat adanya tanda-tanda ada Putri Shinta meski sudah kuedarkan pandanganku ke segala arah. “Ntahlah, sepertinya di Masukkan ke ruangan tertentu. Aku hanya dimasukkan ke sini,” kata Ananliese. Aku pun menganggukkan kepalanyu dan langsung duduk, Ananliese membantuku duduk, dia memang anak yang baik hati dan pengertian. Andai saja dia bukan hantu. Argh, mengapa pikiranku jadi seperti ini. “Begini, aku akan menemui Raja,” kataku. Annaliese langsung memegangi Lukaku yang ada di bagian lengan, “Aduh!” pekikku yang memang merasakan sakit karena memar itu dipegang oleh Annaliese. Aku pun langsung memandang Annaliese dengan tatapan tajan. “Kau Masih sakit, Bdrun. Tidak boleh bepergian dulu,” kata Annaliese. “Tapi bagaimana dengan Putri Shinta?” tanyaku. “Ya tidak bagaimana-bagaimana. Raja Rahwana sepertinya mencintai Putri Shinta jadi aku sangat yakin kalau Raja Rahwana tidak akan melukai Putri Shinta. Di dunia ini tidak ada orang yang akan melukai orang yang dia cinta bukan?” tanya Annaliese. “Ck, hati orang siapa yang tahu.” Terangku. Annaliese mencoba mengobati Lukaku dengan daun-daunan yang aku tidak mengerti daun apa yang jelas perih sekali, “Ann?” panggilku. “Iya?” sahut Annaliese yang langsung mendongak kepadaku. “Sepertinya semenjak kamu di sini, kamu jai memiliki profesi lagi. bukan lagi menjaga perpustakaan. Tapi juga tabib,” kataku yang kuakhiri dengan kekehan. Annaliese yang tidak terima dengan apa yang aku katakan langsung membalas dengan cara menekankan daun-daunan yang sudah di tumbuk itu ke salah satu bagian tanganku yang terluka. “ADuh, aduh, aduh, Ann … ampun,” kataku sambil meringis. Melihat bagaimana aku meringis membuat Annaliese terlihat cemberut, “Habis kamu menyebalkan sekali. Rasakan ini,” kata Annaliese. “Ann, sakit!” kataku. Aku langsung memegangi tangannya, seketika pandangan kita beradu. Karena situasi semakin canggung akhirnya aku menghempaskan tangan Annaliese dan menoleh ke arah lain. “LEbih baik kamu obati Lukaku dengan cepat agar aku lekas pulih seperti sedia kala,” kataku mencoba menghilangkan situasi canggung. “Iya. Ini sedang aku lakukan,” kata Annaliese. Annaliese mulai mengobati lagi kali ini dia mengobatriku dengan cara yang benar meski aku tetap merasakan rasa sakit meski ku tahu kalau dia sudah berusaha pelan-pelan, “Aku tidak mengetri, Badrun.,” kata Ananliese. “Tidak mengerti bagaimana?” tanyaku. “Sebenarnya siapa yang ahrus kita bela?” tanya Anna;liese. Aku terdiam. Benar juga. Aku memang tidak tahu siapa yang harus aku bela. Apakah aku harus membela Pangeran Rama yang jelas-jelas sudah berbohong atau Raja Rahwana yang menyekap kami. Jujur aku tidak tahu arah cerita ini. “Aku juga bingung. Tadinya aku memihak Pangeran Rama. Namun ntah mengapa aku justru menemukan fakta yang tidak menyenangkan tentang Pangeran Rama. Kalau aku memihak Raja Rahwana, aku merasa kasihan dengan Putri Shinta, sepetrinya dia sangat mencintai suaminya,” kataku. Annaliese mengangukkan kepalanya aku sangat yakin kalau Annaliese pun satu pikiran denganku. Karena bagaimana pun ini pilihan yang sulit. “Bagaimana kalau kita bicarakan apa yang terjadi kepada Putri Shinta?” tanya Annaliese. “Sepertinya tidak bisa,” kataku. “Kenapa?” tanya Annaliese. “Ya, karena …” kataku. Sebetulnya aku tidak memiliki alasan khusus untuk itu. “Ah, jangan mengada-ada, BAdrun. Aku tahu kamu tidak memiliki alasan untuk itu.” Terang Annaliese. “Baiklah. Kita bicarakan pada Putri Shinta. Siapa tahu setelah mengobrol dan berbiara baik-baik, Putri Shinta mau mengerti dan kita bisa menentukan sikap,” kataku. Annaliese pun menganggukkan kepalanya. *** Obat yang diberikan oleh Annaliese seprtinya sangat manjur padaku, buktinya luka-luka di tubuhku kini sudah mulai menghilang. Aku menoleh ke arah Annaliese yang tengah tidur tak jauh dari tempatku berada. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal lalu, aku memutuskan untuk kelaur dari ruangan tersebut. Namun, rencana hanya sebuah rencana, pintu kamar kami terkunci. “Permisi, apakah ada orang? Aku ingin berbicara dengan Putri Shinta,” kataku. “Tidak bisa, kami tidak bisa membairkan kamu bertemu dengan Putri Shinta,” kata penjaga yang aku taksir berada di depan pintu kamar ini. “Baiklah kalau begitu pertemukan aku dengan Raja. Ada hal penting yang harus aku bicarakan dengan Raja,” kataku. Tiba-tiba pintu terbuka begitu saja dan menampilkan dua orang pengawal yang langsung mencengkeram lengan tanganku dan membawaku menuju Raja Rahwana. Pegangan mereka begitu kuat sehingga aku tidak bisa meloloskan diri dengan mudah. Sungguh s**l sekali nasibku. Aku pun mulai mengahdap Raja Rahana. Aku baru menyadari kalau di dalam istana itu, pengawal kerajaan memang terlihat normal. Maksudku, terlihat normal sepetri manusia. Aku jadi penasaran mengenai wujud asli dari Raja Rahwana saat menjadi seorang manusia. Aku di bawah ke tepi sebuah danau. Awalnya aku smepat mengira kalau aku kana bertemu dengan raja Rahwana di dalam kamar Raja namun ternyata dugaanku sangat salah. Ternyata aku menemui beliau di tepi danau. Sungguh aku tidak pernah mengira sebelumnya. “Kami datang, Raja,” kata kedua pengawal pada seseorang yang tengah membelakangi kami karena tengah mengamati pemandangan Danau yang hijau. Raja yang mereka sebut itu pun akhirnya menoleh. Aku meringis dalam hati melihat wajah Raja Rahwana yang ternyata memang tidak tampan. Wajahnya seperti terkena pisau. “Kau pasti terkejut dan takut melihat wujud asliku,” kata Rahja Rahwana yang kini sudah mengamati danau lagi. Aku pun berjalan mendekat dan berdiri di samping Raja Rahwana yang sepertinya tengah termenung. “Tidak, Raja. Saya bahkan lebih buruk rupa,” kataku. Aku tentuk tidak bisa berkata kalau alku sedikit lebuh tanpan dari padanya. Bisa selesai hidupku sekarang juga kalau itu benar kukatakan. “Ck, ada apa kau menemuiku?” tanya Raja. ”Saya hanya ingin mengobrol dengan anda, Raja,” kataku. “Kau tahu? Orang yang membuat wajahku seperti ini adalah Pangeran Rama. Dia membuat wajahku seperti ini dan datang menawarkan sayembara itu dengan menggunakan wajahnya. Aku tidak pernah menyangka kalau seorang Pangeran bisa berpikiran picik. Terlebih setelah sayembara, dia yang ternyata mengakui kemenangan itu. Aku telah ditipu habis-habisan. Saat itu aku bisa memaafkannya karena dia mau menjadi temanku. Namun, tak lama berselang, dia justru menyerang istanaku dan kau tentu mengerti akhirnya. Kali ini aku tidak akan mengalah lagi. Aku hanya ingin Putri Shinta menjadi istriku,” kata Raja Rahwana. Aku terdiam mulai memikirkan sesuatu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD