Aku benar-benar tidak tahu mengapa di dunia ini hidupku menyedihkan sekali. Saat di sekolah aku di bully, dan saat di rumah aku juga mendapatkan sikap diskriminasi. Dibedakan dengan kakakku dan selalu dibanding-bandingkan ntah dengan Kakakku ntah dengan tetanggaku.
Padahal, aku yakin, bahkan seratus persen yakin kalau semua orang di dunia ini tidak ada yang sudi dibanding-bandingkan dengan orang lain. Setiap manusia itu memiliki versinya sendiri di hidup mereka masing-masing, tidak bisa disamaratakan.
Orang-orang yang menyamaratakan dan menjustifikasi sesuatu berdasarkan standar kebanyakn orang, itu tidak adil.
"Nak, buka pintunya mama mau bicara!" seru ibuku dari luar kamar sambil mengetuk pintu.
Aku hanya bisa membetulkan kacamata dengan cemberut dan masih terus terlentang membiarkan badanku rileks barang sebentar.
"Badrun!" teriak ayahku yang juga ikut menggetuk, bukan maksudku menggedor pintu rumahku dengan kencang.
Aku mencopot kacamataku dan kurasakan semua yang kulihat buram. Mataku minus, minus 6, itu artinya aku hanya melihat bayangan yang tak tampak jelas dan hanya remang-remang saja.
Maksudku begini, bila aku melihat bangku aku memang tahu kalau itu bangku namun gambarnya samar-samar dan kabur, aku bisa melihat bentuk dna warnanya namun aku tidak bisa melihat apakah ada semut atau air di atas bangku itu bila aku berjarak beberapa meter. Jangankan beberapa meter, satu meterpun aku tidak bisa melihatnya.
Ah, lupakan soal kacamataku kembali saja pada keresahanku. Aku ingin dunia cepat berakhir namun aku terlalu naif untuk mengatakan kalau aku ingin mengakhiri hidupku.
Hidup di dunia ini, aku rasa bagaiamanpun kesulitan yang aku hadapi namun aku bisa percaya kalau aku masih bisa merubahnya. Namun, bila aku sudah mati, terkubur, dan membawa jasadku saja tidak bisa. Aku rasa tidak akan ada yang bisa kulakukan bila sudah mencapai tahap itu.
Kalaupun bisa bereinkarnasi, aku tidak pernah benar-benar mendapati orang semacam itu di dunia nyata. Aku hanya membacanya di cerita-cerita manhua atau manhwa.
"Buka pintunya anak pembangkang!" seru ayahku.
Dengar bukan? Ayahku yang notabenenya adalah ayahku saja sampai mengatakan bahwa aku pembangkang. Aku benar-benar merasa kesal. Aku tidak mau membukakan pintu. Akupun memutuskan untuk menutup telingaku dengan bantal.
"Aku tidak mau buka pintunya!" seruku, lama-lama bibirku gatal juga ingin menyahut.
"Nak, makan dulu. Jangan seperti ini." kata Ibuku.
Aku mendengus sebal. Karena meski telingaku sudah kututup menggunakan bantal suara ibuku masih bisa aku dengar. Aku benar-benar membenci situasi seperti saat ini.
"Aku tidak mau makan." kataku.
Lihatlah, aku sedang mencoba melawan rasa kesalku, ibuku justru hanya menawarkan makan tidak meminta maaf atau apalah itu kepada diriku.
Kini aku membayangkan bagaimana ibu dan ayahku yang tidak pernah marah kepada Kak Julian, padahal Kak Julian tidak selalu benar, bahkan sering salah bila kedua orang tuaku mau melihatnya dengan mata terbuka.
"Sudahlah, Ma. Kalau dia tidak mau makan biar saja besok tidak perlu kita berikan makan lagi." kata ayahku.
Aku benar-benar merasa kesal setengah mati dan kembali membanding-bandingkan situasi yang aku alami sekarang dengan situasi saat Kak Julian juga sedang ada dalam fase 'ngambek'. Ngambek bukanlah istilah yang bisa digunakan oleh perempuan saja bukan?
Sebagai makhluk yang juga memiliki hati dan perasaan, semua laki-laki terutama laki-laki seperti diriku juga memilikinya. Perempuan saja yang kadang berlalu egois dengan mengatakan kalau laki-laki tidak boleh ngambek, laki-laki tidak boleh menangis. Argh, persetan dengan semua itu. Laki-laki itu manusia juga.
"Huh, mama dan papa tidak adil." seruku kesal.
Dulu saat Kak Julian mereka terus membujuk Kak Julian sampai berhari-hari. Giliran aku yang berada di posisi Kak Julian jutru sebaliknya, jangankan berhari-hari, aku hanya dibujuk tidak sampai satu menit. Itu namanya bukan bujukan.
Aku menggulingkan tubuhku ke arah kanan.
"Astaga!" pekikku terkejut. Hingga pantatku mencium lantai dengan sempurna.
Pasalnya, saat aku menggulingkan tubuhku ke kanan, ada tubuh lain yang kini tengah berbaring menatapku. Dia tersenyum dengan wajah pucat pasinya. Aku mengenali gadis itu.
"Hai!" seru gadis itu sambil melambaikan tangannya dengan santai.
Aku buru-buru berdiri dan menunjuk gadis itu dengan wajah yang tidak percaya, kaget, dan marah. Kenapa pula aku harus berurusan dengan gadis cantik. Sungguh, bila boleh memilih, aku lebih suka berurusan dengan hantu daripada berurusan dengan gadis cantik.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku.
Aku memperhatikan gadis tersebut, penampilannya sama seperti saat aku menemuinya di perpustakaan, dia masih menggunakan seragam. Aku kini mulai berpikir kalau gadis bernama Annaliese ini belum sempat pulang ke rumahnya.
Namun, apa yang dia lakukan di rumah bahkan di dalam kamarku? Apa dia ingin aku melakukan hal-hal buruk kepada dirinya? Seperti.. Argh, memikirkannya saja membuatku panas dingin.
Dia mengubah posisinya menjadi duduk, roknya yang pendek kini mulai memamerkan kaki jenjangnya. Aku mengarahkan pandanganku ke arah lain.
"Aku hanya ingin mengikutimu." kata Anneliese sambil tersenyum.
Aku tidak mau menatap matanya karena takut kalau dia adalah penyihir yang menyamar jadi teman satu sekolahku. Otakku lama-lama bisa konslet.
"Apa kau gila, tidak ada orang yang mau mengikutiku, cepat keluar!" seruku sambil menunjuk pintu.
Annelies memandang arah pintu yang aku tunjukkan dengan tanganku, namun seketika aku tersadr kalau aku tidka mungkin mengeluarkan dirinya dari sini lewat sana. Kamarku tidak memiliki jendela. Aku pun mencoba berpikir dengan sangat keras.
"Apa kamu yakin kalau aku boleh membukanya?" tanyanya sambil tersenyum pura-pura polos. Aku tahu kini dia tengah menggodaku. Dia hanya ingin mengolok-olokku karena aku baru saja beradu mulut dengan oarnag tuaku.
Apa kata orang tuaku nanti kalau melihat Annaliese keluar dari kamarku. Yang ada aku akan diminta untuk menikah muda, sesuatu yang sangat konyol bagiku. Sepertinya aku terlalu banyak membaca n****+ online sehingga otakku kini dipenuhi bayangan-bayangan fiksi.
"Benar-benar wanita licik." kataku.
Aku menghempaskan tubuhku ke tempat tidur di tepi lain tempat tidur yang berseberangan dengan dirinya.
"Kau sendiri yang masuk ke kamarku, jadi aku tidak akan bertanggung jawab jika kau hamil setelah keluar dari kamarku." kataku asal.
Sungguh, aku hanya ingin menggertaknya saja. Aku tentu tidak tahu cara melakukannya. Tidak berniat juga untuk melakukannya. Masa depanku masih panjang dan aku tidak mau semakin memperburuk keadaan.
"Kau lucu sekali." kata Annaliese sambil terkekeh .
Aku hanya bisa mendengus dan langsung menjatuhkan tubuhku ke atas tempat didur, terlentang, mengubah posisi membelakanginya dan menarik selimutku. Masa bodoh dengan keberadaannya.
Dia bisa masuk ke kamarku artinya dia juga harus keluar sendiri dari sini. Aku tidak mau membantunya. Aku menutup telingaku dengan menggunakan bantal. Aku tidak mau suara Annaliese menggangguku.
"Hei, mengapa kau tidur?" tanya Annaliese.
Aku mengabaikan suaranya. Masa bodoh dengan apa yang diucapkannya.