BAB 9

1153 Words
Darah segar menetes di sela-sela tangan Ko Ji. Tak lupa ia mengusap di bagian mulut yang terdapat sisa-sisa dari darah yang sama. Tak ada satupun yang tersisa. Para zombie yang menghadangnya telah tersungkur. Meski ia tak punya cukup tenaga tapi ia masih yakin untuk melanjutkan perjalanannya.   Waktunya tak banyak. Ia harus cepat. Sebelum malam datang dan malah memanggil monster lainnya datang.   So Ji sendiri sudah merasa aman di dalam lorong saluran udara. Sambil mengobati Ga Eun dari lukanya, mereka berhenti sambil meliha situasi. Memang sangat menyesakkan,tapi menurut mereka ini adalah tempat yang aman. Keadaan di luar juga terus tak terkendali. Suara-suara ledakan dan tembakan masih terus menggema. Teriakan-teriakan minta tolong juga bersahutan di mana-mana, membuat hati tersayat mendengarnya.   Ga Eun memeriksa situasi lewat ponsel pintarnya. Di informasikan memang sudah banyak tempat yang diserang oleh zombie. Jumlahnya semakin banyak dan untuk memusnahkan mereka para tentara terpaksa banyak menghancurkan fasilitas. Sehingga kepanikan dan kehancuran tak terkendali.   Para petinggi dan penyelidik saling menyalahkan. Mereka terus berspekulasi untuk mencaritahu siapa dalang dari semua ini. mengantisipasi gelombang yang lebih parah nanti dan jumlah manusia kian habis karena diburu atau menjadi santapan zombie itu, pemerintah melakukan seleksi dan penyelamatan manusia murni atau manusia yang benar-benar belum terjangkit. Mereka dibawa ke barak timur dengan keamanan tinggi.   “Pantas saja penduduk mulai migrasi ke sana. Tentara sudah membuat markas isolasi dan tempat aman bagi manusia yang belum terjangkit,” tukas Ga Eun yang masih serius mengamati berita terkini.   “Padahal belum satu hari, tapi tentara sudah menyiapkan hal seperti itu. Hebat. Kita juga harus ke sana kan kak? Kita harus bergegas menjemput keluarga kita dan pergi ke sana juga.”   “Masalahnya So Ji, apa itu berarti tentara tak bisa mengatasi virus ini? dan sampai kapan kita harus di barak timur nantinya?”   “Entahlah kak. Tapi pemerintah pasti sudah bersiap dengan keadaan yang terburuk kan? Yang penting kita harus selamat dari virus ini dulu.”   Ga Eun mengangguk setuju. Memang untuk sekarang, pengaturan tentang keselamatan adalah prioritas. Jika manusia murni bisa dikumpulkan dan diselamatkan lebih dulu, maka akan lebih mudah untuk menghabisi para zombie.   “Kita belok ke mana kak?” tanya So Ji bingung, begitu mereka menemukan lorong yang bercabang.   Keduanya juga sempat bingung harus mengarah ke mana, sampai Ga Eun mendengar suara dari ujung lorong yang ada dibelokan kiri. Mereka yang sudah terlanjur memilih lorong kiri pun bergerak hati-hati mendengar eraman sekaligus suara seseorang mengendus dari sana.   Ga Eun memberi aba-aba pada So Ji untuk mundur. Lorong yang hanya berukuran lebar pas-pasan dengan lebar tubuh manusia itu, menyulitkan So Ji bergerak mundur. Punggung dan tangan pun mulai lelah terus merangkak tanpa tahu di mana lorong ini akan berakhir.   “Sebenarnya ada apa kak?” tanya So Ji bingung. Tapi gdis iu tetap merangkak mundur agar bisa kembali ke persimpangan lorong.   “Aku mendengar suara. Di sana!”   Mereka terdiam sesaat. Mendengarkan dengan seksama suara yang mencurigakan dari ujung lorong. Lantai lorong juga tiba-tiba bergetar. Tampak seperti ada yang datang dengan terburu-buru dari ujung gelap itu.   So Ji bersiap untuk berbelok agar ia bisa merangkak ke depan. Sedangkan Ga Eun masih ak bergeming untuk melihat apa yang akan muncul.   “Kak Ga Eun!”   Ga Eun terbelalak. Pria botak dengan mulut penuh darah da belatung merayap untuk mendekati mereka. Ketakutan pun tak terelakkan. Keduanya mencoba merangkak secepat mungkin menuju sisi lorong lainnya.   Ketegangan semakin memuncak kala zombie tersebut mulai mendekati Ga Eun. Dengan sekuat tenaga Ga Eun menghalaunya menggunakan tas ransel yang ia bawa. Memblokade pergerakan zombie tersebut lalu melesat merangkak mengejar ketertinggalan dengan So Ji. Tapi zombie tersebut langsung mengoyak semua isi tas ransel tersebut. Segera mengejar Ga Eun lagi yang kini terjebak dengan So Ji. Jendela ventilator tersebut tak bisa dibuka. Mereka terjebak di gang berisikan satu zombie botak yang mengganas.   Di desa Sobong, para penduduknya mulai berkumpul  setelah mendengar kabar tentang insiden di rumah sakit mereka. Beberapa petugas desa bersiap untuk menerima perintah dari kepala desa mereka. Tampak Taek Gu masih berdiri cemas menunggu kembalinya Ko Ji. Penutupan gerbang mengalami kebuntuan. Banyak diantara mereka yang masih berharap keluarganya kembali ke desa.   Tapi situasi sudah tak bisa lagi dikendalikan. Terdengar kabar di perbatasan bahwa gelombang zombie segera datang ke desa mereka. Banyak yang masih tak percaya. Terutama bibi Bae yang harap-harap cemas menunggu kedatangan anak mereka. Dialah yang paling menentang keras tentang penutupan pintu gerbang yang terakhir kali digunakan tiga puluh tahun yang lalu itu.   “Aku tidak akan sudi! Aku akan berdiri di depan menunggu anakku kembali!” teriaknya, membakar semangat para ibu dan anggota keluarga yang lain.   Paman So Man mencoba menasehati istrinya, namun ia juga mengharapkan hal yang sama pada kedua keponakannya. Ini pilihan yang sulit. Tapi kenapa Ko Ji pergi di saat dia sendiri yang meminta untuk diturunkan pintu gerbang?   “Jadi bagaimana keadaannya?” tanya kepala desa yang hanya bisa berdiri was-was menanti. Ia juga tak bisa mengambil keputusan ini setelah memang sebelumnya dia menentang permintaan Ko Ji itu.   “Diperbatasan terjadi huru-hara. Banyak orang-orang dari kota yang ingin masuk ke pedesaan tapi kita tak tahu kondisi mereka seperti apa. sehat atau terjangkiti. Kemungkinan penjagaan di sana akan melonggar seiring banyaknya orang-orang yang ingin ke desa pak.”   “Apa pemerintah sudah melakukan sesuatu?”   “Menurut kabar yang beredar, tentara telah menyiapkan barak di timur.”   “Apa tempat itu aman?”   Sekretaris desa itu mengangguk yakin. Kepala desa lantas memiliki ide untuk mengungsikan semua warganya untuk mengungsi ke barak Timur saja. Namun keputusan kembali mendapatkan pro dan kontra. Sebagian masih tetap dalam pendirian mereka untuk tetap bertahan hingga anggota keluarga mereka kembali.   Senja mulai mencapai ufuknya. Perjalanan Ko Ji akhirnya terhenti di salah satu jalan laying di kota yang sudah porak-poranda itu. Benar-benar telah berbeda dengan pemandangan menakjubkan yang ia lihat kemarin malam bersama So Ji.   Melihat malam itu, sebenarnya Ko Ji sudah tahu ada bau yang tak mengenakkan akan terjadi. Bau tersebut sama persis dengan seseorang yang ia temui di terowongan desa. Atensinya terpaku pada koki yang diusir dari dapurnya karena sakit. Sejak saat itu, aroma darah sangat berbeda. Sangat menyengat dan menggangu untuk Ko Ji yang memiliki panca indera yang terlalu sensitive. Dan dugaannya benar. Hal yang buruk akan terjadi. Kini bau darah amis itu ada di mana-mana. Hingga ia sulit untuk mencari keberadaan adiknya sendiri.   Tapi Ko Ji tak ingin pesimis. Ia yakin, adiknya berada di suatu tempat. Karena sejauh penciumannya bekerja, darah adiknya masih mengalir. Itu tandanya, adiknya masih hidup.   Senja benar-benar pergi dan disitulah seluruh indera Ko Ji bekerja dengan sempurna. Wajahnya cerah dan segar. Kedua tangannya telah bersiap dengan samurai yang ia bawa ke mana-mana itu. Tubuhnya menjadi begitu ringan saat malam. Karena itu ia bisa berlari sekencang angin hingga melompat dari satu gedung ke gedung yang lainnya dengan mudah.   Matanya bersinar merah menjelajah kegelapan. Lalu taringnya, bersiaga mengintai waspada.   Ko Ji bersiap dengan wujud dirinya yang lain. Ia siap melawan siapapun mala mini, demi membawa kembali sang adik dalam rangkulannya.   .   .   bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD