Ayunan samurai Ko Ji mengalun dengan mudahnya. Menebas, membelah, menghantamkan para zombie yang mengincarnya. Bukan hanya satu atau puluhan, ratusan zombie itu tertarik pada Ko Ji karena baunya yang khas.
Ko Ji dengan mudah melayang di udara untuk menghindari terkaman. Dalam gerak lambat ia memainkan pedangnya cepat. Dan dalam gerakan cepat, Ko Ji berpindah tempat dengan kecepatan angin.
Wajahnya secerah bulan purnama yang tengah muncul. Mungkin baginya, tak pernah ia membantai manusia sebanyak ini. Dengan keahlian pedangnya, Ko Ji tengah mengeluarkan latihannya yang selama ini hanya bisa ia lakukan pada hewan ataupun pohon-pohon tua di tengah hutan.
Tak ada yang akan menyadari bahwa Ko Ji memiliki kemampuan itu. Kemampuan yang ia dapatkan dari seseorang yang memaksanya untuk memilikinya.
"Kau akan menjadi kuat karena ini. Kau..bisa melindungi siapapun karena ini."
Kata-kata itu tidak akan pernah bisa Ko Ji lupakan. Bahkan wajah pria yang menyuntikkan sesuatu padanya waktu itu. Meski Ko Ji benar-benar menjadi kuat olehnya dan bahkan tak pernah bisa mati karenanya, Ko Ji tetap membencinya.
Ia hanya pria biasa yang berharap hidup normal. Tapi siapa yang menyangka, hidupnya akan menjadi seperti sekarang. Bagai vampir yang berkeliaran tengah malam mencari mangsa dan akan kehilangan setengah energinya bila siang.
Begitu berat bagi Ko Ji menahan diri untuk tak memangsa kaumnya sendiri. Kemampuan yang entah apa namanya itu membuatnya ingin meminum darah segar. Tak terkecuali terkadang ia ingin sekali merasakan darah adiknya sendiri. Penciumannya terlalu sensitive. Sehingga wangi darah adiknya itu sering membuatnya nyaris hilang akal. Begitu pula dengan bau darah yang lainnya. Karena hal itu, Ko Ji sering menghabiskan waktu malamnya untuk berburu. Lalu di saat siang ia akan berkerja tanpa kenal lelah agar indera penciumannya tak menangkap mangsa apapun.
Dua puluh tahunnya berlalu begitu berat. Dan ini kali pertama baginya untuk mengeluarkan segala kemampuan dan jati dirinya. Memang terasa sangat lega mengetahuinya. Akhirnya ia bisa menggunakan kekuatan itu untuk melenyapkan mayat-mayat hidup itu. Apalagi dimanfaatkan untuk menghadapi keadaan seperti ini.
Ko Ji memusatkan kembali inderanya. Tapi sesuatu mengusiknya. Ada bau yang sangat asing yang sedang menuju ke arahnya. Dan sebuah serangan menghampirinya secepat kilat. Ko Ji yang menyadari hal itu langsung melesat lompat ke atas tinga listrik sambil mengamati lawannya.
“Apa dia zombie?” monolog Ko Ji dalam hati.
Dan sipenyerang menyeringai. Menampakkan wujudnya pada Ko Ji disebalik jaket hodie miliknya. Ko Ji diam mengamati. Dia ingat pria dengan kepala plontosnya itu. Pria yang sama di depan restaurant kemarin.
“Akhirnya kau mengeluarkan kekuatanmu. Bagaimana? Menyenangkan bukan?”
“Siapa kau?”
“Kau bertanya siapa namaku, atau apa sebenarnya aku?” tanya pemuda itu balik. Ia tampak percaya diri dan kuat.
“Keduanya.”
Pemuda itu tertawa pendek, menyadari Ko Ji ternyata terlalu kaku untuk diajak bicara, “Kau ini terlalu kaku. Tapi baiklah, namaku Rock Lee dan aku vampire bebas sepertimu.”
Mendengar kata vampire membuat Ko Ji menautkan alisnya bingung. Dan itu ditangkap oleh Rock Lee sebagai candaannya.
“Kau sama sekali tidak tahu bahwa dirimu vampire?”
Dengan polosnya Ko Ji menggeleng hingga membuat tawa Rock Lee benar-benar pecah.
“Astaga! Apa kau selama ini hidup di gua? Bagaimana kau bertahan dengan ketidaktahuanmu itu? Oh..yang lebih penting, bagaimana rasanya darah manusia?” ledeknya yang membuat Ko Ji memilih untuk mengabaikannya.
Rock Lee kesal dan langsung secepat kilat mengarahkan tendangan kepada Ko Ji yang dengan mudah Ko Ji tangkis dan elakkan.
“”Sepertinya kau memang vampire primitive –“
“Apa maumu?” tanya Ko Ji kemudian.
Pemuda itu lantas mengepalkan tangan seolah bersiap untuk berduel. Ko Ji yang bersiaga, ikut membuat kuda-kuda untuk menerima serangannya.
“Menjadi yang terkuat di satu wilayah adalah bentuk pertahanan vampire. Karena adanya kau, maka aku harus mempertahankan wilayahku!”
“Apa ini semacam hutan rimba?”
Rock Lee ingin tergelak mendengar penuturan Ko Ji itu. Tapi apa yang dikatakannya juga masuk akal. Seumpama singa di sebuah hutan. Jika ada singa lain datang ke hutan tersebut, bukankah itu menjadi ancaman bagi si raja hutan?
“Memang seperti itu. Apa kau pikir hanya kau satu-satunya di dunia? Tidak. Bersiaplah karena manusia seperti kita akan segera muncul untuk menguasai dunia ini. Tapi yang terkuatlah yang akan menjadi penguasa dan aku tak mau menjadi yang terlemah!”
Ko Ji mencoba memahami situasi ini. sau persatu ia mulai mengenal siapa jati diri dari kekuatannya itu. Antar vampire akan saling menyerang untuk membentuk klan atau kekuasaan mereka masing-masing. Itu artinya, sejak hari ini Ko Ji harus bersiap untuk menghadapi serangan-serangan seperti ini, atau ia kembali saja bersembunyi seperti yang selama ini dia lakukan.
“Aku tidak ingin merebut ataupun menjadi yang terkuat seperti yang kau katakan. Aku tidak punya tujuan seperti itu –“
“Jadi kau hanya akan bersembunyi seperti tikus? Huh! Aku pikir kau berbeda.”
“Aku memang berbeda. Aku tak ingin pertarungan seperti itu.”
Rock Lee berdecih. Baginya itu hanya omong kosong yang coba Ko Ji katakan padanya, “Tujuanmu itu tidak akan pernah tercapai. Mulai hari ini, kau pasti akan bertemu lagi dengan orang sepertiku yang bahkan jauh lebih kuat dariku.”
Ko Ji terdiam. Apa yang dikatakan pemuda itu juga ikut dia rasakan. Ko Ji sudah membayangkan hal itu. Sejak dia mulai tak mengendalikan diri, maka pasti akan ada yang merasakan kehadirannya.
Manusia zombie kembali mendekat. Kali ini jumlahnya jauh lebih banyak. Suara tembakan juga kembali terdengar, tapi bedanya jadi lebih sedikit. Banyak juga tentara yang menyerah untuk menghadapi kekuatan zombie yang kian banyak. Meski sebagian manusia masih ada yang bertahan, tapi mereka juga tidak bisa selamanya menghadapi kumpulan zombie tersebut. Pada akhirnya banyak juga yang menjadi korban setelah mereka berjuang untuk bertahan.
Seperti keadaan So Ji dan Ga Eun yang terjebak di dalam lorong saluran udara. So Ji yang berperan membuka besi penutup terus menangis melihat Ga Eun yang terus menahan serangan satu zombie di belakangnya. Suasana semakin menegangkan, kala Ga Eun mulai tak bisa bertahan hingga pergelangan tangannya tergigit oleh zombie.
“Kak Ga Eun!” teriak So Ji yang menyerah dengan caranya untuk membuka pitu besi.
“Jangan berhenti So Ji! Sedikit lagi –“
“Tapi kakak digigit –“ pekik So Ji yang juga tak bisa menahan airmatanya untuk jatuh. So Ji sedih dengan semua keadaan ini. Kenapa semua berakhir seperti ini?
“Jangan pikirkan aku. Cepat buka sebelum aku tidak bisa lagi melindungimu,” tukas Ga Eun yang mulai merasakan tubuhnya mendapatkan gejala yang sama seperti para zombie yang akan terinfeksi. Dalam keadaan pasrah terus diserang zombie di depannya, Ga Eun menyerahkan sesuatu kepada So Ji sebelum ia benar-benar melemah.
Sebuah kalung bunda maria.
“Semoga kau selalu dilindungi olehNya,” ucap Ga Eun sembari memberi semangat pada So Ji untuk memberikan tendangan terakhir ke besi yang mulai terbuka.
So Ji menerima pemberian Ga Eun itu sambil terus terisak. Ia akhirnya tak menoleh lagi ke arah Ga Eun dan mulai mengarahkan seluruh tenanganya untuk menendang besi. Ga Eun sendiri juga melakukan hal yang sama dengan mendorong zombie tersebut untuk mundur menjauh dari So Ji.
Besi terbuka dan Ga Eun menghilang jauh masuk ke dalam lorong saluran udara lagi. So Ji merangkak keluar dari saluran udara kemudian bangkit untuk segera lari dari sana. Hari sudah gelap dan beberapa zombie menyadari kemunculan So Ji lewat suara dan langkah kakinya.
So Ji berlari tak tentu arah mencari tempat berlindung tapi suasana di tempat itu sudah berubah menjadi tempat yang takkan pernah bisa So Ji temukan dimana bisa berlindung dari para zombie. Tanpa kenal putus asa, So Ji berlari. Hingga ia terkepung. Yang ia temukan adalah sebuah bus dan So Ji memilih masuk ke dalamnya. Tanpa menyadari bahwa posisi bus sangat dekat dengan perbatasan jembatan yang mana di bawahnya ada sungai yang setiap saat bisa saja menjatuhkan dirinya bersama dengan bus tersebut.
So Ji terperangkap sendirian. Para zombie itu berkumpul di depan bus hingga menyebabkan bus bergerak mundur mendekati jurang sungai. So Ji panik, namun ia tak bisa melakukan apapun selain menangis ketakutan. Bus yang terdorong ke belakang, semakin mendekatkannya dengan kematian yang lainnya.
.
.
.
bersambung