EPISODE SEBELUMNYA
Bagi So Man sendiri, Ko Ji dan So Ji tentu saja sudah seperti anaknya sendiri. Karena itulah saat ia memutuskan untuk menjauhi keduanya, rasa bersalah terus hinggap di hatinya. Setiap harinya bahkan So Man terus dibayangi oleh pertanyaan –
“Apa salah mereka sehingga aku pantas memusuhi mereka?” ucap So Man dalma hati setiap kali ia merenung seorang diri.
Seperti yang lalu-lalu, ia akan selalu berdebat dengan sang istri tentang jalan pikirnya. Dan selalunya, So Man tak pernah menyesali apa yang telah ia lakukan dengan mengikuti kata hatinya itu. Tapi sekali saja, ia terhasut dengan rasa benci dan marah yang dilakukan oleh istrinya, So Man selalu terdiam seperti menentang apa yang selama ini menjadi prinsip hidupnya.
Hatinya gelisah juga terluka. Terlebih mengikuti kata orang lain membuatnya ikut menjadi orang lain. Maka seperti itu pula yang So Man rasakan ketika menjauhi anak-anak tersebut. Setiap harinya, pria setengah abad itu selalunya termenung dan sedih. Mengingat ia terpaksa melakukannya.
Dan kini pertahanan itu telah roboh. So Man kembali ke akal pikirannya sehingga dapat membuang semua rasa benci dan kecewanya. Meski mungkin sekali lagi itu hanya akan membuat dirinya dan sang istri memperlebar pertikaian.
“Maaf karena aku belum bisa mengajak bibi kalian untuk memaafkan kalian. Bersabarlah sedikit lagi,” ungkap So Man yang memilih melepaskan pelukan So Ji sambil menyeka airmata anak perempuan yang tomboy itu.
“Tidak apa paman. Kami tahu akan butuh banyak waktu bagi bibi untuk memafkan kami,” balas Ko Ji yang sekali lagi membuat mereka bertiga menundukkan kepala karena tak tahu akan berkata apa.
Setelah sunyi mendera terlalu panjang, So Ji mengangkat kepala. Mengedarkan pandangannya pada dua pria hebat yang berbeda generasi itu.
“Oh ayolah. Apa kita bisa makan sekarang?”
Keduanya tertawa kecil sambil memulai menyantap beberapa menu yang biasa paman So Man suka buat di rumahnya.
“Huum! Roller omelet! Paman tahu saja kesukaan aku!” ucap So Ji gemas sambil menyantap satu rol telur penuh ke dalam mulutnya. So Man tertawa lepas setelah sebelumnya sejak mereka berpisah, ia sudah tak pernah tertawa lagi.
Kini setelah bertemu dengan dua keponakannya, So Man akhirnya bisa tertawa lagi.
“Habiskan..habiskan. Paman sengaja membuatnya untukmu.”
“Benarkah? Terima kasih paman! Kau memang yang terbaik!” puji So Ji sedikit berlebihan. Dan hal itu mendapat perhatian dari Ko Ji yang mengematinya sejak tadi.
Puas melihat So Ji yang gembira menyantap makannya, atensi So Man berpindah kali ini pada Ko Ji, yang kini ia tahu bahwa keponakannya itu ternyata bukan lagi manusia biasa. Sama seperti So Ji, So Man pun mulai mengingat sedikit demi sedikit keanehan yang dimiliki Ko Ji selama ini.
Diantaranya itu Ko Ji sejak remaja, dan bahkan setua ini tak pernah sakit-sakitan. Bahkan sekedar terkena flu. Jika sedang lelah dan marah, kulit wajah Ko Ji akan pucat dan dingin. Menghindari memakan daging serta selalu bugar ketika melakukan banyak pekerjaan.
Setelah mengingat itu semua, So Man jadi tahu mengapa Ko Ji demikian.
“Apa yang paman pikirkan?” terka Ko Ji yang ternyata sadar jika ia tengah diperhatikan oleh sang paman. Bukannya terkejut, So Man malah menyunggingkan senyumnya sembari menepuk lengan pemuda itu.
“Sekarang paman tahu, kenapa kamu menyembunyikannya selama ini.”
Giliran Ko Ji yang malah terkejut dengan ucapan singkat pamannya itu. Karena akhirnya ada orang lain yang memahami kesulitannya selama ini selain So Ji.
“Paman tahu? Aku tidak pernah mengharapkan ini –“
“Yah..Tuhan pasti punya rencana dibalik apa yang kamu hadapi sekarang ini.”
“Aku mensyukurinya. Hanya saja –“
Paman So Man kembali memotong ucapan Ko Ji, “—hanya saja kau belum bisa menerimanya sampai hari ini.”
Ko Ji mengangguk kencang. Ia bahkan sedikit mengeluarkan airmatanya. Hanya saja ia berhasil menyekanya sebelum orang lain merlihatnya. So Man yang menyadari hal itu terdiam sambil menepuk lembut pundak Ko Ji yang terlihat tengah ringkih itu.
“Jika bukan kau, mungkin orang lain yang menerima kekuatan ini akan menjadi seperti mereka yang datang untuk menghancurkan manusia. Itu sebabnya kau diberi anugerah, untuk melindungi umat manusia karena kau punya hati yang berbeda. Apa itu menjadi beban bagimu?”
So Ji yang sejak tadi terlena dengan makanannya, kini baru menyadari bahwa ada perbincangan serius diantara keduanya. Ko Ji menghela napas panjang sambil meletakkan sendoknya kembali ke atas meja.
“Hum. Tugas dan prinsip yang aku buat begitu berat. Sehingga aku hampir menyerah. Aku hanya ingin hidup tenang walau aku adalah manusia yang berbeda. Tapi virus ini datang. Dan aku tak bisa mengabaikan kalian, orang-orang desa yang aku cintai.”
So Ji dan pamannya terdiam. Lebih tepatnya seperti mendapat tusukan tajam di d**a setelah mendengar luahan hati Ko Ji selama ini. So Ji yang selama ini salah sangka dengan kakaknya pun hanya bisa meneteskan airmata. Setelahnya, ia berhambur memeluk sang kakak yang amat ia sayangi itu.
“Kakak jangan berjuang sendirian. Ada aku di sini kak –“
So Man tersenyum lega. Melihat kedua ponakannya saling mendukung satu sama lain. Seperti yang selalu mereka lakukan selama ini.
“Paman dengar kau mengusulkan untuk kita semua pergi ke barak. Apa benar begitu?” tanya So Man yang mulai mengambil sumpitnya untuk mengambil lauknya. Diikuti oleh Ko Ji dan adiknya yang sudah memisahkan diri setelah sebelumnya saling berpelukan.
“Benarkah? Kakak mengusulkan itu?”
Ko Ji mengangguk. Tapi kemudian raut wajahnya menunjukkan sebuah kesedihan, “Benar. Tapi tampaknya tak ada yang menyetujuinya.”
“Hah? Kenapa? apa kita akan selamanya di sini sampai zombie diberantas habis?” protes So Ji yang suasana hatinya yang tadinya mellow kini berubah menjadi kesal. Ko Ji berusaha menenangkan dengan menyuarakan pendapatnya yang lain.
“Jika zombie cepat diberantas habis, maka tidak masalah jika penduduk memilih untuk tetap tinggal. Masalahnya, kita tidak tahu sampai kapan virus ini musnah. Karena pemerintah sampai saat ini masih belum menemukan Dr. Cha itu.
“Jadi dia biang keladinya?” tanya So Man terkejut.
“Masih kabarnya. Tapi melihat rekam kerjanya sudah pasti benar,” ungkap Ko Ji yakin.
“Kalau begitu kita memang harus pindah. Apalagi selain zombie, para vampire pun –“
“Benar paman. Dan aku mengkhawatirkan kalian semua.”
Pembicaraan itu selesai tanpa ada kata sepakat. Meski demikian, So Man berjanji akan mengupayakan bicara pada orang-orang tentang rencana Ko Ji tersebut. Makan siang hari itu selesai dengan khidmat. So Man bersiap untuk pamit sebelum ia harus menghadapi omelan istrinya yang sebentar lagi akan pulang dari rutinitasnya.
“Mau kuantar paman?”
“Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri. Kalian –“
So Man menatap nanar kedua keponakan kesayangannya itu. Meski berat mengatakan sayang, So Man berharap pelukan dan perhatiannya bisa sampai kepada mereka.
Ko Ji dan So Ji yang datang karena terpinggirkan, kini mereka kembali terpinggirkan. So Man tak sanggup melihat mereka hidup seperti itu. Tanpa terasa ia meneteskan airmata hingga So Ji datang untuk menyekanya.
“—kalian harus saling melindungi. Dunia ini benar-benar dalam kekacauan,” pesan So Man sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan gubuk kecil kakak beradik itu.
.
.
BERSAMBUNG