KLX hitam itu membelah jalanan ibukota yang mulai lenggang, hari semakin larut. Genta, masih setia menjelajahi setiap inci jalanan ibukota. Ia baru saja pulang dari rumah Bang Manyu, sapaan akrabnya. Teman dan juga kakak baginya, mereka terpaut sekitar dua tahun. Laki-laki itu selalu ada untuknya, saat keadaan suka maupun duka.
Pukul 23.30 WIB, ia membuka pintu gerbang rumah yang disinyalir senilai tujuh belas milyar. Kakinya ragu antara masuk atau tidak, bisa dipastikan Raka pasti marah besar padanya. Apalagi adanya perjanjian diantara mereka yang mengharuskan mereka tak pulang larut malam. Ia merapalkan doa agar suaminya tak ada di rumah. Kepalanya celangak-celunguk melihat sekitarnya, tak ada mobil Raka yang terpakir di garasi atau di pelataran rumah. Bahkan lampu-lampu belum menyala, semua masih gelap gulita. Kemana Mas Raka?
"Assalamu'alaikum, Mas!"
Kebetulan ia membawa kunci cadangan, jika menunggu Raka bisa saja ia mati kedinginan di luar. Sepi, tak ada jawaban dari siapapun. Ia bergegas menuju ke kamar. Di sana tidak ada orang, ke ruang kerjanya pun tidak ada. Ia mencari ponselnya, sejak pulang sekolah ia mode diam. Ia khawatir jika Raka mengubunginya. Ia membuka ponselnya, nihil. Tak ada pesan, maupun panggilan dari suaminya itu. Apa mungkin Raka tidak khawatir dengannya? Apa iya jam segini Raka belum pulang?
Pemikiran itu, seketika memenuhi otaknya. "Mas Raka, kamu dimana?" Ia mencoba menghubungi, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif mohon hubungi beberapa saat lagi. Ponsel Raka kemungkinan besar kehabisan daya baterai.
Lima puluh kali ia menelpon, yang terakhir berhasil masuk namun di tolak. Ia mulai cemas, bagaimana kondisi suaminya saat ini? Sekeras apapun ia mencoba tak peduli sama sekali dengan laki-laki itu, tetap saja hatinya sangat khawatir. Ia mengambil jaket beserta kunci motornya, berniat mencari ke kantor Raka. Siapa tau lembur. Ia masih hafal betul dengan alamat kantor laki-laki itu. Siapa tau mungkin masih lembur di sana, pikirnya.
Mas, jangan buat aku khawatir. Batinnya cemas.
###
"Ka, kenapa pakek acara mabuk segala sih bikin repot manusia lain aja. Ada masalah apa sih lo sebenarnya?" teriak Roland menggema di ruang pribadi Raka. Mereka masih stay di kantor.
Raka menoleh seketika lalu tertawa sumbang. "Kenapa sih, Land? Lo mau? Tinggal minum aja, nggak usah pakek teriak - teriak. Gue pasti kasih kok ke lo, ini cara supaya beban gue hilang dari pikiran.”
"Kenapa lo gini sih, Ka, lo ada masalah apa? Gara-gara dia kembali terus lo bimbang? Pelarían dan penyelesaian masalah itu bukan ke alkohol. Coba deh lo ngomong sama gue, siapa tau gue bisa bantu. Cari solusinya minimal." ucap Roland mencoba menetralkan emosinya.
"Buat apa gue cerita, Land, nggak ada gunanya juga cerita sama lo. Semua udah nggak bisa gue harapkan, nggak ada rumah buat gue pulang. Nggak ada yang perlu di harapkan dari gue pulang, semua senang gue mati." ujar Raka dengan tersenyum miring.
"Inget lo udah punya istri! Lo nggak kasihan apa sama dia, dia pasti nungguin lo, b*****t!" bentak Roland. Raka tertawa keras, sampai terurai air matanya.
"Buat apa gue pulang, Land? Istri gue aja jam segini masih keluyuran, hahahaha nggak untung banget. Mana ada gadis jam segini keluyuran, kalau bukan anak nakal? Atau p*****r! Pantes aja gue di jodohin sama dia, gue kan uangnya banyak. Pasti ngincer duit gue! Hahahahaha, kenapa gue bego banget ya?" racaunya yang hampir hilang kesadaran.
Roland memijat pangkal hidungnya, "Gue harus apa, Ya Rabb? Dasar bodoh banget nih anak! t***l! Udah bagus di jodohin sama anak sebaik Genta, masih aja nggak terima." desisnya.
"Land, kalau lo mau dia. Ambil aja! Gue ikhlas!" Roland terperanjat, ia tak mengerti dengan jalan pikiran sahabatnya tersebut. Orang mabuk adalah manusia jujur sedunia, Raka pasti tengah mengalami depresi berat seperti dulu, namun ia enggan berkata jujur
"Raka,lo nggak bol- ...," ucapan Roland terpotong ketika melihat kehadiran istri bosnya tersebut.
"Genta...," desisnya.
"Mas Raka," lirih Genta dengan menahan air matanya. “Emang aku suka kelayapan, Mas, tapi satu yang perlu kamu tau, AKU BUKAN p*****r!”
Raka yang mendengar itu semua gelagapan, pasalnya ia masih di bilang setengah sadar. "Genta, ini nggak seperti yang kamu denger," bela Raka dengan menggapai tangan Genta.
Genta melengos, "Mas, kalau kamu nggak mau punya istri kayak aku, kenapa nggak batalin aja perjodohan ini dari dulu? Kenapa pas udah nikah kakak baru bilang kek gini, kamu pikir aku terima dijodohin sama kamu? Nggak cuman lo yang nyesel nerima pernikahan ini, nggak cuman lo yang ngerasain akibat dari pernikahan ini, nggak cuman lo! Gue harus relain waktu main gue sama temen-temen cuman untuk di rumah, gue nurut sama lo. Oke! Gue akuin malam ini gue pulang jam sebelas, itu karena gue juga ada masalah. Lo pikir cuman lo yang punya masalah, ngak cuman manusia berumur aja yang punya masalah. Gue yang masih SMA juga punya masalah, dari dulu masalah gue udah banyak dan harus ketambahan sama lo. Harusnya lo bersikap dewasa, lo bantu gue cari jalan keluar. Nggak cuman nyalahin manusia lain! Gue udah berusaha baik sama lo, tapi apa respon lo? Lo nggak mau punya anak dari gue, tapi lo masih berani nyentuh gue, lo b******n k*****t ya? Yang p*****r siapa, saya atau anda? Yang sering having s*x sama jalang itu siapa? Kalau mau ngomong tuh ngaca dulu, lo udah bener apa belum. Maaf kalau gue ganggu, sekian terima kasih." ucap Genta dengan berlari menjauhi ruangan itu.
Dadanya sesak, jika laki-laki itu tak ingin mempunyai anak darinya tak apa. Tapi, jangan pernah menyebutnya p*****r, sampai detik ini pun tak ada yang berani menyetuhnya kecuali Raka. “Gue nggak bakal lupa sama ucapan lo, Raka. Dasar b******n! k*****t lo, Ka!”
Ia memakai helmnya kembali, kembali menyusuri jalanan yang terlanjur sepi. Bahkan ia bingung, malam ini ia harus bermalam di mana.
Flashback on!
Sesampai di bawah, Genta bertemu dengan satpam. "Mari saya antar, Mbak." Genta hanya mengangguk. Ia mengekori satpam tersebut sampai ruangan Raka.
"Ini ruangannya, Mbak. Kalau Pak Raka tidak ada, biasanya berada di ruangan pribadinya. Saya balik kebawah kembali," ucap Satpam tersebut. "Makasih, Pak!"
Ia masuk ke dalam ruangan bertuliskan CEO. Sepi, nampaknya tidak ada orang. Ia putus asa, langkah kakinya pergi meninggalkan ruangan itu. Namun, belum sampai pintu ia mendengar sebuah teriakan dari ruangan bertuliskan 'Raka's Privat Room'.
Entah dari dorongan mana, ia memberanikan diri untuk masuk ke dalam ruangan pribadi tersebut. Ia melihat seorang laki-laki dengan seragam acak - acakan tengah memarahi seseorang yang ia kenali, Raka.
Ia melihat suaminya sedang setengah mabuk, "Buat apa gue cerita, Land, nggak ada gunanya juga cerita sama lo. Semua udah nggak bisa gue harapkan, nggak ada rumah buat gue pulang. Nggak ada yang perlu di harapkan dari gue pulang, semua senang gue mati." ujar Raka dengan tersenyum miring.
"Inget lo udah punya istri! Lo nggak kasihan apa sama dia, dia pasti nungguin lo, b*****t!" bentak Roland. Raka tertawa keras, sampai terurai air matanya.
"Buat apa gue pulang, Land? Istri gue aja jam segini masih keluyuran, hahahaha nggak untung banget. Mana ada gadis jam segini keluyuran, kalau bukan anak nakal? Atau p*****r! Pantes aja gue di jodohin sama dia, gue kan uangnya banyak. Pasti ngincer duit gue! Hahahahaha, kenapa gue bego banget ya?" ucapan suaminya tersebut menancap pas di hatinya, ia memang dari dulu tidak pernah mematuhi peraturan ibunya. Bisa di bilang dia anak yang sangat bandel sekali, namun baru kali ini hatinya sakit mendengar orang yang ia sayangi menjelekkan dirinya di hadapan orang lain.
Ia memang bukan dari kalangan yang berada, tapi dia tidak pernah mengincar harta suaminya. Masalah perjodohan saja dia tidak tahu apa - apa.
Roland memijat pangkal hidungnya, "Gue harus apa, Ya Rabb? Dasar bodoh banget nih anak! t***l! Udah bagus di jodohin sama anak sebaik Genta, masih aja nggak terima." desisnya.
"Land, kalau lo mau dia. Ambil aja! Gue ikhlas!" Tubuh Genta menegang, sampai segitunya Raka membenci Genta. Ia tidak habis pikir jika Raka akan berkata seperti ini.
"Raka,lo nggak bol...," mata Roland mengkap sosok gadis yang pernah ia lihat fotonya di meja bosnya itu.
“Genta...," desis Roland.
"Mas, Raka." lirih Genta dengan menahan air matanya, ia mencoba untuk tidak menangis namun nihil.
Raka yang mendengar itu semua gelagapan, "Genta, ini nggak seperti yang kamu denger." bela Raka dengan menggapai tangan Genta.
Genta melengos, "Mas, kalau kamu nggak mau punya istri kayak aku, kenapa nggak batalin aja perjodohan ini dari dulu? Kenapa pas udah nikah kakak baru bilang kek gini, kamu pikir aku terima dijodohin sama kamu? Nggak cuman lo yang nyesel nerima pernikahan ini, nggak cuman lo yang ngerasain akibat dari pernikahan ini, nggak cuman lo! Gue harus relain waktu main gue sama temen-temen cuman untuk di rumah, gue nurut sama lo. Oke! Gue akuin malam ini gue pulang jam sebelas, itu karena gue juga ada masalah. Lo pikir cuman lo yang punya masalah, ngak cuman manusia berumur aja yang punya masalah. Gue yang masih SMA juga punya masalah, dari dulu masalah gue udah banyak dan harus ketambahan sama lo. Harusnya lo bersikap dewasa, lo bantu gue cari jalan keluar. Nggak cuman nyalahin manusia lain! Gue udah berusaha baik sama lo, tapi apa respon lo? Lo nggak mau punya anak dari gue, tapi lo masih berani nyentuh gue, lo b******n k*****t ya? Yang p*****r siapa, saya atau anda? Yang sering having s*x sama jalang itu siapa? Kalau mau ngomong tuh ngaca dulu, lo udah bener apa belum. Maaf kalau gue ganggu, sekian terima kasih." ucap Genta dengan berlari menjauhi ruangan itu.
Ia memegang dadanya yang terasa seperti di tusuk oleh berjuta - juta jarum. Genta memilih meninggalkan kantor itu, namun entah kemana ia akan pergi.
Flashback off!
###
"Dek, lo kenapa nangis? Lo nggak pantes nangisin orang yang udah buat lo sakit hati. Abang selalu ada buat lo, please jangan nangis lagi. Dia udah berani jelekin lo kek gitu, harusnya dia yang lo buat nangis. Biar tau rasa," ucap cowok itu dengan memeluk Genta.
"Gue nggak nyangka aja, Bang. Orang yang selama ini gue anggap bisa lindungin dari bahaya, tahunya kek gitu. Gue nggak papa kalau dia nggak mau punya anak dari gue, tapi gue nggak terima kalau di sebut jalang. Gue bukan jalang, Bang." ucapnya dengan sesenggukan.
Semalam, Genta balik lagi ke rumah Abimanyu. Ia menceritakan semuanya. Mulai awal ia sampai di rumah lalu pergi ke kantor Raka, hingga ia mendengarkan apa yang Raka ucapkan. Orang tua Abimanyu sedang keluar kota, di rumah itu hanya ada Abimanyu, kembarannya dan pembantu rumahnya.
"Hei, lo lupa? Lo masih punya gue, abang lo! Gue bisa lindungin lo, bukannya gitu kan? Lo adalah adek kecil gue yang wajib gue lindungin. Sekarang lo jangan nangis lagi, cowok itu nggak seharusnya lo tangisin seperti ini. Mana nih Genta yang kuat, mana Genta yang nggak pernah takut sama musuh-musuh, Genta yang bringas kalau tawuran. Kenapa sekarang Genta jadi cengeng?"
Genta memukul d**a Abimanyu, "Gue sekarang lemah sama cowok, Bang. Gue kan juga masih perempuan, wajar kalau rapuh masalah ginian." Dengan telaten Abimanyu mengusap puncak rambut Genta.
Ia sering melakukan ini kepada kembarannya, saat menangis. "Adek abang nggak boleh nangis. Mau sekolah nggak?" Genta menggeleng dalam peluk Abimanyu.
"Nanti pinjem seragam Naya, seragam dia masih kok. Masalah badge bisa di hilangin, lo sekolah ya?" Genta masih menggeleng kuat.
"Nggak mau, Bang. Nanti ada kelas," ucap Genta dengan wajah masam. Abimanyu menghela napas. Susahnya punya suami satu sekolah ya gini, mau sekolah aja jadi gengsi.
"Adek Abang Manyu yang cantik, sekolah ya? Inget Ibuk di Jogja dong, pasti pengen liat kamu nanti lulus nilainya bagus." rayu Abimanyu dengan mengusap punggung Genta.
"Nggak mau ketemu dia, Bang!”
"Genta, adek Bang Manyu. Sekolah ya? Nanti Abang anter deh, pulangnya Abang jemput. Gimana?" tawar Abimanyu yang langsung di angguki Genta.
"Good girl! Bentar ya, aku pinjemin baju." Genta mengangguk, sedangkan Abimanyu keluar kamar.
Genta beruntung sekali, walaupun ia bukan saudara yang dekat atau sedarah langsung dengan Abimanyu sekeluarga namun mereka menganggap Genta seperti keluarga mereka sendiri. Pernah Genta ke sini, orang tua Abimanyu baru aja pulang dari luar kota. Bukannya marah anak cowoknya pulang bawa gadis malah mereka seneng, dulunya mereka menganggap Genta adalah pacar Abimanyu. Namun, seiring berjalannya waktu dengan penjelasan Abimanyu mereka pun paham. Malah menganggap Genta seperti anaknya sendiri.
"Nih, kamu pakek ya. Tas dan kebutuhan kamu yang lain, udah di siapin sama Naya. Aku tunggu di bawah." ucap Abimanyu dengan menaruh paper bag di atas kasur.
"Makasih, Bang!" Cowok itu mengangguk lalu berlalu dari kamarnya.
###
"Pagi, Mbak Naya!" sapa Genta saat melihat gadis berambut hitam itu keluar dari kamar. "Ya ampun, Dek Tata. Gimana? Kamu tidur nyenyak kan?" Genta mengangguk.
Perempuan itu selalu memamggilnya Tata, katanya biar beda sama yang lain. Ia kuliah jurusan kedokteran, sedangkan Abimanyu di jurusan hukum. Orangtua mereka tidak pernah memaksa mereka untuk mengikuti jejaknya.
"Bang Manyu mana mbak?" Abinaya menggeleng, tidak tahu. "Masih ngeluarin motor, Dek." Genta mengangguk, paham.
"Sarapan dulu yuk, Dek. Sambil nungguin Bang Manyu," ucap Abinaya dengan menaruh sepiring nasi goreng di hadapan Genta.
"Makasih, Mbak. Sarapan bareng dong, Mbak." Abinaya mengangguk. Mereka sarapan dengan diam.
"Loh, kok Abang nggak di tungguin." ucap Abimanyu dengan duduk di sebelah Abinaya. "Mana buat Abang, Mbak Naya?" tanya Abimanyu dengan menirukan Genta.
"Idih, ngaca woy udah tuir juga!" sindir Abinaya dengan mengambilkan sepiring nasi goreng. "Nih. Sarapan, biar kuat bawa motor. Nggak lucu lo tiba-tiba jatuh dari motor gara-gara nggak sarapan.”
Abimanyu mengacungkan jari jempolnya. "Oh ya, lo kuliah pagi apa siang?" tanya Abimanyu dengan menyuapkan nasi goreng.
"Siang. Nanti juga di jemput sama Mas Banyu." Abimanyu mengangguk. "Ya udah, setelah nganterin nih bocil. Gue otw rumah Jani, terus ke kampus bareng. Lo kalau mau jalan pamit dulu sama gue," ucap Abimanyu. Ia menunjuk Genta menggunakan sendok, sang empu mendelik tak suka.
"Bang, aku bukan bocil. Masa bocil udah nikah?" ledek Genta.
"Ya elah! Yang udah nikah mah beda, apalah daya ku yang masih anak kuliahan. Masih pacaran," ucap Abimanyu dengan terkekeh.
"Oh iya, nanti lanjut di mana?" Genta menggeleng, dengan mengambil segelas air di dekatnya.
"Kagak tahu, kalau boleh sih ke Jerman." jawabnya dengan menaruh gelas berisi air setengah. "Widih, jauh juga ya. Tapi inget, lo udah bersuami. Kagak bisa bebas, pasti ujung - ujungnya kagak boleh. Tahu sendirikan suami lo udah berduit, Ta. Mana boleh istrinya kuliah, enak tinggal nerima, shoping, ke salon. Udah gitu aja,"
"Bener tuh, Ta. Mana boleh suami kamu itu, secarakan ya udah ada suami holang kaya. Pasti pengen kamu tinggal urusin anak di rumah, shoping sana sini, ke salon, urus diri. Pasti itu mah," timbrung Abinaya membenarkan.
"Tahu lah, Mbak. Aku sih nurut aja," ucap Genta dengan lesu. "Bang, udah sarapannya?" Abimanyu mengangguk, lalu bangkit dari duduknya. "Kita berangkat, Dek."
"Mbak, berangkat dulu. Assalamu'alaikum!" pamit Genta dengan mengimbangi langkah Abimanyu. "Waalaikum salam!"
###
"Makasih ya, Bang! Nanti pulangnya aku biar di anter temen aja. Oh iya, nanti aku ambil motor ya." Abimanyu mengangguk, matanya melihat ada seseorang yang menatapnya tajam dari parkiran.
"Itu yang lihat kamu sampai melotot siapa?" bisik Abimanyu sambil mengode menggunakan lirikan mata. Genta celangak - celunguk, ia tersenyum tipis.
"Makasih ya, Sayang!" ucap Genta dengan mencium pipi Abimanyu. Sang empu hanya terkejut, walaupun ia sering di cium oleh adek kecilnya ini, tapi tak pernah mendadak seperti ini.
"Aku masuk dulu! Hati - hati di jalan, semangat kuliah!" ucap Genta dengan ceria, lalu berlalu menuju gerbang sekolahnya.
Abimanyu mengenakan helmnya kembali, lalu meninggalkan sekolah itu. Sekolah yang tak pernah ia tempati tapi menyimpan sejuta kenangan.
Allah tidak membebani seseorang meelainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Q.S Al-Baqarah