Bab 2 ~ Bully-ing

1301 Words
Keesokan pagi, suara ayam berkokok terdengar nyaring di telinga gadis yang kini sedang tertidur berselimutkan kain samping. Tubuhnya menggeliat, kedua matanya pun dipaksa membuka karena ini sudah waktunya mendekati subuh tiba. Dia mengucek matanya perlahan, gegas memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri, dilanjut berwudu. Dia melaksanakan salat subuh sendiri seperti biasanya, karena hidupnya memang sebatang kara. Gadis ini tidaklah cupu seperti kebanyakan anggapan orang yang miskin biasanya cupu, padahal tidak dengan gadis yang kini sedang menengadahkan kedua tangannya ke atas. Berdoa, meminta segala kemudahan urusan kehidupannya, pun kelak di akhiratnya. "Ya Allah, berikanlah kepada hamba kekuatan untuk tetap menjalani kehidupan ini dengan ikhlas walau hamba kini sendirian, tak lagi bersama mereka," doa sang gadis dengan khusyuk. Beberapa bulan yang lalu orang tuanya memang masih ada, namun karena adanya kecelakaan tebang pohon yang mengakibatkan mengenai tubuh orang tuanya, kini harus pergi meninggalkan putri semata wayangnya. "Tempatkan bapak dan ibu di sisimu, ya Allah, aamiin ya rabbal alamiin." Gadis itu menyudahi doanya, dia melipat mukena serta sejadahnya. Lalu menaruh kembali ke tempat semula. Hari ini Vania akan berangkat sekolah, lihat saja dia sudah mengenakan seragam putih abu-abunya yang pendek, dengan rambut dikuncir satu. Tak lupa pula dia menyelempangkan tasnya yang sudah jelek di bahunya. Pun sepatu belum sempat dia ganti, bahkan telapak sepatunya ada yang bolong mengharuskan Vania jika jalan lebih hati-hati agar tidak mengenai benda tajam atau apapun ke kakinya. Vania mengambil sebungkus roti yang ada di atas nakas samping tidurnya, dia membuka bungkusnya lalu mengunyah hingga habis. Beralih dia menuangkan segelas air putih, lalu meneguknya untuk menghilangkan seret di tenggorokannya. Merasa tidak ada yang ketinggalan, gegas dia pergi ke sekolah dengan menaiki sepedanya. Butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai di sekolah, hingga tiba Vania di sekolah. Dia memarkirkan sepedanya di area parkiran sekolah yang cukup luas. Vania saat ini menempati bangku kelas XII, kredibilitas di sekolahnya cukup baik. Namun, beberapa yang tak menyukainya pun tetap ada. Walau begitu, dia tak menganggap mereka musuh, melainkan teman yang harus dia taklukan. Ketahuilah terkadang orang jahat pun bisa berubah jadi lebih baik, bahkan orang baik pun bisa berubah jadi jahat apabila dirinya merasa terkhianati. Vania menyusuri koridor sekolah yang mulai ramai berhamburan semua siswa yang baru datang. Dia berjalan seperti biasa, sesekali pandangannya menyapu mencari orang yang dia kagumi siapa lagi kalau bukan Karel--ketua OSIS yang berhasil mencuri perhatiannya. Karel merupakan orang baik yang pernah dia temui, sikapnya yang penolong dan supel mampu menarik hatinya untuk tetap memandangnya. "Aw...." Vania mengaduh saat salah satu kakinya tersandung oleh sebuah kali seseorang, entah siapa. Lamunannya pun buyar seketika, fokusnya kini melihat lututnya yang terasa nyeri walau tak berdarah. Vania mendongak, lalu menoleh ke arah kanan melihat kaki siapa yang membentang menghalangi jalannya. Rupanya Citra, dia yang menghalangi jalannya bersama dua orang dayangnya yang selalu menemaninya ke mana pun Citra pergi, Zee dan Naura. Citra tersenyum mengejek sambil memandang rendah Vania yang masih tersungkur. "Kenapa? Sakit ya?" ejek Citra. "Uh, ya pastilah. Sorry kita gak sengaja," lanjutnya. Sementara Zee dan Naura menertawakan nasib Vania, baginya ini merupakan sarapan yang menyenangkan. Vania bangkit dari posisinya, lalu kembali melangkah tanpa niat meladeni Citra dan kawannya. Namun saat hendak melangkah, langkahnya terhenti karena rambutnya ditarik ke belakang secara tiba-tiba oleh Zee--mau tak mau Vania mengikuti ke mana arah tarikan rambutnya. Sakit yang Vania rasa. "Lepasin!" seru Vania, dia berusaha melepaskan cekalan tangan Zee dari rambutnya. Tenaganya kalah kuat dari Zee, hingga tubuh Vania dihempaskan ke bawah, dan itu membuat pinggulnya sakit. "Lo emang pantes kita perlakukan kaya gitu!" seru Citra, Zee dan Naura tertawa sambil melenggang melewati Vania yang masih terduduk. "Hiks, apa salahku? Kenapa aku dibully seperti ini?" monolog Vania berbicara sendiri. Ingin rasanya dia membalas kelakuan mereka, tapi apalah saya mereka anak orang kaya apapun serba bisa dilakukan. Sedang dia, gadis miskin sebatang kara, tak ada apa-apanya dibanding mereka. Vania bangkit dari posisinya yang lagi-lagi tersungkur. Sungguh miris hidupnya, sejujurnya dia sudah bosan dengan kehidupannya yang serba kekurangan. Mereka terbiasa membully semata-mata hanya kepada para siswa yang miskin. Pun Vania walau dia memiliki kelebihan di bidang akademik, tetap saja masih suka ada yang membully-nya karena tak suka dengan kepintarannya. Manusia memang begitu, baik buruknya setiap orang pasti akan digunjingi. Kriing.... Bel masuk sekolah pun sudah berbunyi semua murid berhamburan masuk ke dalam kelas masing-masing, termasuk Vania memasuki kelasnya yaitu kelas XI-A IPS. Dia duduk di bangku baris kedua samping jendela, sebangku dengan Airin. Pagi ini adalah mata pelajaran Bu Retno, beliau menyuruh semua murid yang ada di kelas untuk membuka buku LKS halaman 23. Vania gugup karena di dalam tasnya tak ada buku LKS-nya, padahal dia ingat sekali bahwa tadi pagi dia sudah memasukkan bukunya ke dalam tas. Lalu kenapa tiba-tiba gak ada? Aneh, pikirnya. Bagaimana ini? "Airin," panggil Vania, yang dipanggil pun menoleh, "Aku... numpang lihat dong buku LKS kamu, punyaku hilang." "Boleh kok, sini deketan," balas Airin ramah. Vania pun mendekat ke arah Airin. "Terima kasih ya," ucap Vania yang dibalas anggukan kecil oleh Airin. Satu jam pelajaran kini sudah habis, Bu Retno tak mempermasalahkan muridnya seperti Vania yang kehilangan buku, asalkan Vania tetap bisa mengerjakan tugasnya, tak masalah baginya. "Oke, jam pelajaran Ibu sudah hampir habis. Kalian kerjakan halaman 25, dari nomor 1 sampai 20. Minggu depan dikumpulin." Setelah mengatakan itu, Bu Retno melenggang pergi dari kelas XII-A IPS. Tak terasa kini sudah waktunya istirahat. Vania hanya memerhatikan semua orang yang keluar satu persatu. Ada yang ke kantin, ada yang ke perpustakaan, dan ada juga yang hanya diam sama seperti dirinya di kelas saja. Kebetulan Vania membawa bekal nasi goreng, jadi dia tak perlu pergi ke kantin untuk membeli makanan. Selain mubazir, uang Vania juga sudah sangat menipis. Vania mengeluarkan kotak makan dari dalam tasnya. Membuka penutup kotak makan tersebut, dan mulai memakannya. Kadang rasa iri muncul di hatinya, melihat orang lain yang sedang mengantre untuk mendapatkan makanan yang mereka inginkan. Berbeda dengan Vania, yang mengikuti situasi dan kondisi, apapun yang ada dan halal, dia akan memakannya. Vania tidak bisa memilih makanan sesuai keinginan, tapi dia harus menurut, makan sesuai adanya. Tes! Tanpa terasa setetes air mata jatuh, Vania mengusap bekasnya secara kasar. Dia mengembuskan napas perlahan, kembali melanjutkan makannya. Tapi seseorang menggebrak mejanya dengan sekali entakan dan membuat nasi gorengnya tumpah ruah. Vania menatap pelakunya, Citra dan kedua temannya. Kenapa mereka suka sekali menyiksa Vania? Apa salah Vania pada mereka? Vania tak habis pikir. Dia hanya bisa mengucap istigfar dalam hati, menguatkan dirinya akan tetap selalu bersikap sabar menghadapi Citra dan kedua temannya. "Kamu kenapa numpahin bekal aku?" tanya Vania masih dengan kesabaran yang menguasainya. "Lah, suka-suka gue, dong!" balas Citra tak peduli membuat Vania ingin meledak. Vania sedang berhemat dan ya, dia tak memiliki uang lebih untuk ke kantin. Sedangkan Citra, dengan seenaknya menumpahkan bekalnya yang belum sempat Vania habiskan. Baru beberapa sendok saja yang masuk ke dalam mulutnya. "Benar-benar jahat kamu!" hardik Vania, membereskan semua yang berantakan di dekat bangkunya. Vania berusaha mengabaikan Citra dan kedua temannya yang hanya melihatnya dengan tatapan tak peduli. Airin yang melihat itu pun segera melaporkan hal ini kepada guru BK. Tak lama kemudian Airin dan guru BK datang. "Apa-apaan ini? Kenapa nasi goreng ini tumpah dan berantakan?" tanya guru BK menatap beberapa sisa nasi goreng yang tumpah, dan sedang dibersihkan oleh Vania. "Mereka menggangguku yang sedang makan, Bu," adu Vania. Saatnya dia membalas, Vania tak mau terlihat bodoh dan lemah. "Citra, Naura, dan Zee, ikut Ibu ke ruangan sekarang!" tegas guru BK tak ingin dibantah. "Ba-baik, Bu, maafin kami," tutur Citra tak ingin dihukum. Vania tersenyum usai Citra dan kedua temannya, juga dengan guru BK pergi dari kelasnya. Dia melempar senyum ke arah Airin, yang sudah menolongnya. "Terima kasih banyak, Ai," jawab Vania dengan tulus. "Sama-sama, Van. Nggak usah sungkan gitu. Mereka emang pantes dikasih pelajaran biar nggak ganggu kamu terus," balas Airin membela Vania. Paling tak suka jika ada penindasan di sekolah. *** Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD