"Serius, Mas, kamu … ingin melakukannya … sekarang?" tanyaku sambil menggigit bibir saat menatapnya. Meski sejatinya masih merasa sangsi atas apa yang dikatakannya, aku tetap nekat bertanya.
Tanpa terduga, Mas Edgar terpekik mendengar pertanyaanku yang sebenarnya kuucapkan penuh kesungguhan dan rasa penasaran.
Apa ada yang lucu?
"Kamu pikir melakukan apa, Afifah?" ejeknya yang membuatku jadi kebingungan sekaligus malu. Apakah aku terlalu percaya diri jika menganggap dia ingin melakukan 'sesuatu' secara sadar bersamaku di ranjang itu?
Astaghfirullah! Sadar, Afifah! Sadar jika dia hanya menikahimu karena desakan sang kakek. Jangan pernah berharap lebih!
Bukankah selama ini dia selalu 'menyentuh' seorang gadis miskin sepertimu dalam keadaan mabuk dan tak sepenuhnya sadar?
Hatiku mendadak perih saat menyadari kenyataan pahit itu. Kenyataan jika tak semua kehidupan pernikahan berjalan manis.
"Me-melakukan apa memangnya?" tanyaku sambil berusaha menutupi rasa malu yang terlanjur mendera saat menyadari sepasang mata itu terus menatapku dengan pandangan yang berbeda. Lebih tepatnya seperti … sedang menertawakanku?
Mas Edgar lantas menarik diriku untuk duduk di bibir ranjang. Bersebelahan dengan posisi yang terlihat kaku di sini.
"Pengen ngusap perut kamu, boleh nggak?" tanyanya sambil menatap dalam mataku. Membuatku jadi begitu salah tingkah mendengar permintaan tak terduga darinya.
"I-iya, tentu saja boleh," jawabku gugup.
"Sayang, baik-baik, ya di sana. Satu yang perlu kamu tahu, Papa sayang sama kamu." Mas Edgar tiba-tiba berlutut di hadapanku dan lantas mengusap lembut perutku sambil berbisik. Membuat diriku disergap perasaan haru.
Ya, jujur, aku cukup tersentuh dengan perlakuannya yang manis. Namun, tetap saja hati masih menyimpan tanya, benarkah dia telah berubah? Bukankah ini terlalu cepat?
Ini pertama kalinya dia berbicara begitu lembut padaku sejak enam bulan pernikahan kami. Membuatku tak begitu yakin dengan semua sikap manisnya. Namun, jika memang dia berubah dan ingin memperbaiki semuanya karena sadar anak ini memerlukan kasih sayang seorang ayah, bukankah itu satu kemajuan pesat?
Ibu cuma berharap kamu bisa mendapatkan kasih sayang sejati dari kedua orang tuamu, Nak.
Meski dengan gerakan yang pasti terlihat kaku, aku nekat menempelkan punggung tangan di kening suamiku. Laki-laki yang menikahiku atas permintaan kakeknya. Laki-laki yang mungkin tak sekalipun terbesit di hatinya bakal berjodoh denganku.
Jodoh? Benarkah? Apakah pernikahan kami akan langgeng dan berjalan lama? Aku sendiri masih ragu akan hal itu. Tapi sejujurnya, aku hanya berharap menikah sekali seumur hidup. Dan itu artinya … aku berharap hanya dialah satu-satunya pria yang bakal bergelar suami untuk seorang Afifah.
"Nggak panas, Mas," ucapku sambil menjauhkan tanganku dari keningnya setelah memastikan jika suhu tubuhnya memang tak mengalami peningkatan.
Mas Edgar tersenyum manis saat menatapku. Membuatku tak bisa memungkiri jika dia memanglah sosok yang memiliki sejuta pesona.
"Apa kamu pikir aku sakit?" Ia tertawa kecil sambil menarik hidungku dengan gemas.
Ya ampun!
Bukankah tingkah lakunya barusan terlihat sangat manis? Tak salahkan jika aku sampai tersanjung saat ini? Hati wanita mana yang tak berbunga-bunga bila mendapat perlakuan manis nan menyenangkan dari suaminya? Benar, kan?
"Fah." Tanpa terduga Mas Edgar tiba-tiba membisikkan namaku dengan begitu mesra. Membuat bulu kudukku meremang saat hidung bangirnya menyentuh cuping telingaku.
"Iya, Mas?" Dengan perasaan campur aduk, aku menoleh dan lantas menatap lekat wajah tampan suamiku.
Aku tersentak seketika, saat tanpa banyak bicara, Mas Edgar tiba-tiba melayangkan sebuah kecupan di bibir. Membuatku merasa jika apa yang dia lakukan padaku barusan terasa seperti sebuah ilusi. Bukankah apa yang dilakukannya padaku cukup … berlebihan?
Perlahan, kutatap wajahnya dengan hati berdebar sekaligus penuh tanya. Aku rasa dia sedang tidak mabuk kali ini. Lalu, bagaimana bisa dia melakukan itu padaku? Atas dasar apa dia melakukannya?
"Kamu … kamu sadar, Mas, dengan … apa yang baru saja kamu lakukan?" tanyaku dengan suara bergetar dan detakan jantung yang semakin riuh. Sungguh, mendapatkan ciuman tak terduga dari pria bergelar suami, membuatku merasa dilambungkan hingga ke atas awan.
Mungkin terdengar berlebihan, tapi itulah kenyataannya. Ya, aku yang tak pernah memiliki waktu untuk dekat dengan lawan jenis, memang merasakan sebuah perlakuan romantis bisa diibaratkan menjadi satu hal yang baru dalam hidupku.
Pria berambut lebat ini menorehkan senyum tipis saat menatapku.
"Apakah seorang suami yang mencium istrinya itu … adalah sebuah kesalahan, Afifah?" Pertanyaan Mas Edgar yang diucapkan secara santai kali ini, ampuh mampu membuatku tersipu. Tanpa terasa, sesuatu yang hangat menjalar di pipiku. Hatiku berdesir mendengar lantunan kata indah yang terlontar dari bibir si pemilik paras rupawan itu.
"Ya … ya enggak sih, cuma aneh aja," balasku gugup sambil berusaha menetralkan debar hebat di dadaku.
"Aku ingin melakukannya sekarang, Fah."
Aku tertegun saat tiba-tiba … Mas Edgar merapatkan jarak denganku sambil membisik mesra di telingaku.
"Me-melakukan apa?" tanyaku terbata. Tak ingin terlalu jauh berasumsi.
"Aku ingin mendapatkan hakku secara sadar," lirihnya di telingaku. Membuat jantungku berdentam-dentam mendengarnya.
"Kamu … tidak sedang mengigau, 'kan, Mas?" tanyaku lirih dan serak. Aku benar-benar seperti kehabisan kata saat ini.
Mas Edgar menggeleng samar. Membuatku tertunduk sambil memilin jari saat merasa dia memang terlihat serius dan tak ingin main-main dengan ucapannya.
Aku yang sedang tertunduk kaku, tertegun saat menyadari sepasang tangan kekarnya membuat kepalaku jatuh tepat di dadanya.
Aku merasakan seluruh tubuhku menegang saat menyadari hidung bangirnya mulai menyusuri pipi dan leherku.
Aku memejamkan mata dengan debar hebat yang masih menguasai diri saat ketika bibir tipisnya menyentuh bibirku. Tak hanya menyentuh, sepasang garis lengkung itu bergerak sedikit agresif di sini. Membuat bibirku disergap rasa basah dan hangat yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Sensasi indah kurasakan saat bibir kami bertautan dengan iringan hasrat yang menggeliat di d**a.
Aku menutup wajah saat menyadari baju-baju yang sebelumnya melekat di badan, sudah terserak tak di lantai secara tidak karuan.
"Tidak perlu malu, Sayang. Bukankah ini bukan sesuatu yang baru untuk kita?"
Aku tak bisa membayangkan semerah apa wajahku saat ini. Saat tubuh gagahnya yang hampir sepenuhnya polos, menindih tubuhku sambil melancarkan cumbuan secara bertubi-tubi.
Di luar kendali, seorang Afifah yang selama ini mungkin terkenal pendiam, membalas secara agresif cumbuan mesra yang diberikan suaminya.
Menyadari aku tak menolak semua aksi, dan bahkan membalas apa yang dilakukannya, membuat Mas Edgar tersenyum manis saat menatapku.
Akhirnya, untuk pertama kali di rumah ini, setelah enam bulan pernikahan, aku bisa merasakan manisnya sentuhan halal dari lelaki yang telah diam-diam mencuri hatiku.
Apakah aku terlalu bodoh karena semudah itu jatuh cinta padanya? Lelaki yang aku tak tahu pasti seperti apa menganggapku?