Mas Edgar tersenyum begitu manis dan lantas mengecup lembut keningku saat permainan yang tak kubayangkan terjadi, berakhir.
Air mataku hampir menetes saking bahagianya. Bahagia karena bisa melakukan hal itu atas dasar suka sama suka. Ah, tapi … apakah Mas Edgar memang menyukainya? Atau dia hanya sedang dahaga?
"Pakai handuk aku aja, ya," ujar Mas Edgar sembari mengambil handuk dari dalam lemari tiga pintu yang berdiri tegak di samping ranjang tempat kami mencurah kasih sayang belum lama ini.
Aku mengangguk pelan sebelum meraih handuk yang diulurkan olehnya. Setelah itu aku buru-buru bangkit dan berjalan menuju kamar mandi untuk mensucikan diri. Membuat suamiku menggeleng kecil sambil tersenyum saat melihat tingkahku yang mungkin terkesan norak dan … sedikit memalukan?
Air yang mengalir dari shower, menyadarkan aku jika telah terjadi sesuatu antara aku dan suamiku belum lama ini.
Bukankah semua terasa seperti mimpi?
Sambil menggosok setiap inci tubuhku, senyumku terus terkembang saat mengingat bagaimana dia memperlakukan aku dengan begitu lembut ketika kami memadu kasih tadi. Sangat berbeda dengan apa yang dilakukannya selama ini.
Salahkah jika semudah ini Ibu jatuh cinta pada ayahmu, Nak?
Keluar dari kamar mandi, mati-matian aku berusaha untuk menahan senyum saat menyadari tatapannya terus terfokus padaku yang masih berbalut handuk.
"Sudah?" Mas Edgar terus menerus mengukir senyum ketika tatapannya tak juga beralih dariku.
Aku mengangguk gugup saat bibirku mendadak terasa berat sekedar untuk menjawab 'iya'.
"Makasih, Sayang." Tanpa terduga, Mas Egar yang telah bersiap untuk mandi, memeluk tubuhku yang masih berbalut handuk ini. Membuatku merasakan lagi getaran ini ketika kulit kami bersentuhan.
Tak cukup memeluk, pria 26 tahun yang entah kenapa terlihat jauh lebih tampan daripada biasanya, menciumi pipiku berulang kali.
"Udah … mandi dulu sana," ucapku memperingatkan sambil menunjukkan tampang galak. Pura-pura jual mahal padahal menyukainya.
Mas Edgar melepaskan pelukan dengan gugup saat mendapatkan peringatan. Setelahnya, dia pun bergegas menuju kamar mandi dengan membawa handuknya yang lain.
Untuk pertama kali dalam sejarah pernikahan kami, aku dan Mas Edgar menunaikan salat dzuhur secara berjamaah. Di sini, di ruang pesalatan rumah kakek yang tak pernah kubayangkan bakal menjadi tempat yang mengukir begitu banyak sejarah.
Aku mencium punggung tangan suamiku dengan hati berbunga sesaat setelah salat selesai dilaksanakan.
"Adem, ngeliatnya," ujar kakek saat aku dan Mas Edgar tengah berjalan menuju meja makan untuk makan siang menemani kakek suamiku. Bukankah aku sudah makan belum lama ini?
Mas Edgar tersenyum manis menanggapi ucapan kakeknya.
Waktu serasa cepat berlalu saat hati tengah diliputi perasaan bahagia. Itulah yang sedang kurasakan sekarang. Ternyata … memiliki seorang suami yang perhatian dan penuh kelembutan, membuatku merasakan sensasi lain selama menjadi istri.
***
Sore telah tiba. Saatnya aku dan kakak kandung Rafka kembali ke rumah. Tempat di mana banyak pekerjaan dipastikan telah menantiku.
Ibu mertuaku berkacak pinggang menyambut kedatanganku dan putranya sore ini. Kemarahan tampak begitu nyata dari pancaran wajahnya saat menatapku.
Merasa terus diperhatikan, aku buru-buru berjalan menuju dapur untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang menjadi rutinitasku. Tumpukan piring kotor yang menggunung tak membuatku malas untuk mengerjakannya. Sikap manis Mas Edgar lah yang menjadikan semua terasa mudah untuk dikerjakan tanpa beban.
"Fah, perlu aku bantu nggak?" Aku yang tengah membersihkan piring menggunakan spons, tersentak saat menyadari putra pertama Ibu Melanie tiba-tiba memelukku dari belakang.
"Nggak usah, Mas," jawabku dengan hati yang terus berdebar hebat saat menyadari tangannya yang memeluk bergerak cukup nakal menyentuh dadaku. Bukankah ini sudah sangat keterlaluan?
"Mas, please, deh, jangan mulai lagi," ucapku berusaha menegur dirinya yang dirasa sudah berbuat di luar batas.
"Biarin, toh sama istri sendiri. Nggak dosa, kan?"
"Malu, dong, Mas …."
"Bodo amat," balasnya lantas menghujani pipiku dengan ciuman.
Entah apa yang terjadi pada Mas Edgar saat ini. Sungguh, sikapnya benar-benar berubah total sekembalinya kami dari rumah sakit siang tadi.
"Please, Mas. Lepasin dulu, ya, ntar nggak selesai-selesai pekerjaan aku."
Aku bisa bernapas dengan lega saat menyadari dia mendengarkan juga permintaanku. Ya, dia melepas pelan pelukannya. Membuatku bisa leluasa menyelesaikan tugas rumah yang sempat terbengkalai ini.
Seolah tak ada puasnya, tanpa tahu malu Mas Edgar kembali memeluk dan menciumi pipiku setelah acara mencuci piring berakhir. Membuatku merasakan sesuatu yang … entah.
"Edgar!" Ibu mertuaku berteriak lantang saat mendapati putranya terus-menerus mencumbu menantu miskinnya ini.
Seketika, Mas Edgar menghentikan aksinya dengan gugup saat mendengar lengkingan ibunya.
Rafka tiba-tiba muncul di hadapan kami dan berdehem cukup keras. Membuat perbedaan situasi.
"Oh oh … kamu ketahuan!" ledek Rafka sambil menunjuk-nunjuk wajah kakaknya yang kini semerah kepiting rebus. Mas Edgar cengar-cengir dan menggaruk-garuk belakang kepalanya yang mungkin saja tidak gatal.
Detik kemudian, terlihat Ibu mertua menghentakkan kaki usai sepasang matanya seperti dipaksa melihat kejadian bernuansa romantis ala-ala telenovela yang terjadi di dapur sore ini.
Aku mati-matian menahan tawa melihat ekspresi tidak suka yang ditunjukkan mertuaku, saat anak kesayangannya mencumbu mesra menantu yang tak pernah diharapkannya.
"Ma, nggak usah sewot gitu napa? Mama pernah muda juga, 'kan?" goda Rafka pada ibunya. Mertuaku diam tak menjawab. "Kayaknya udah saatnya, deh, Mama cari pengganti Papa."
Bu Melanie mendelik mendengar ucapan anaknya. "Aku sama Edgar udah sama-sama dewasa, Ma. Kami udah nggak takut lagi kalau ayah tiri kami nanti jahat sama anak-anak Mama yang ganteng ini," kelakar Rafka diiringi tawanya yang membahana.
"Iya, Ma. Sebelas tahun kayaknya waktu yang cukup untuk Mama membuktikan kalau Mama care sama kita," sahut suamiku kemudian.
"Kok kalian malah sekongkol mojokin Mama, sih?" protes ibu kandung Mas Edgar dan Rafka.
"Mama, 'kan baru 47 tahun, kali aja lagi ngalamin puber kedua, makanya bawaannya senep mulu lihat anak dan menantu mesra-mesraan," ujar Rafka tanpa rasa bersalah.
Ya ampun!
Bukankah ucapan Rafka terdengar sedikit kurang ajar? Hm! Pantas saja ibu mertua lebih sayang pada suamiku ketimbang adik iparku. Setidaknya Mas Edgar lebih kalem dan penurut dibanding adiknya. Itu yang kuamati selama ini.
"Besok Rafka carikan Om duda yang cocok untuk Mama, ya." Rafka terlihat cekikikan. Tak ada rasa takut sedikit pun saat membangunkan macan tidur. Ups!
"Rafka!" Suara ibu mertuaku kembali melengking mendengar ocehan-ocehan putra bungsunya yang tak berperasaan sedari tadi.
Mendengar sang ibu berteriak, Rafka menutup telinga dengan santai. Benar-benar anak ini!
"Dedek. Jangan kaget ya, nenek kamu emang sedikit cerewet, Sayang." Rafka berucap santai sembari melirik perutku.
Mas Edgar geleng kepala sambil tersenyum mendengar ucapan adiknya barusan.
"Ya udah, Sayang. Ayo lanjut di kamar aja." Tanpa disangka, Mas Edgar menarik tanganku. Seolah tak peduli dengan reaksi tak suka yang ditunjukkan ibunya, dia menggenggam erat tanganku tanpa tahu malu.
"Wah! Lagi hot-hotnya, nih. Kok vibes-nya kayak pengantin baru, ya? Uhuy!" goda Rafka diiringi siulan saat melihat Mas Edgar terus menggenggam erat tanganku ketika menuntunku menuju ke kamar kami.
Seperti orang yang tengah kasmaran, Mas Edgar kembali melampiaskan hasrat dengan mencium dan mencumbuiku berulang kali. Dan tentu saja aku menikmatinya. Karena jujur, Mas Edgar lah orang pertama yang mengenalkanku akan kedahsyatan sentuhan kulit dengan lawan jenis. Seperti apa yang tengah dilakukannya sekarang ini.
Puas mencumbu istrinya, Mas Edgar bermanja-manja dengan meletakkan kepala di pangkuanku yang duduk di bibir ranjang. Aku membelai lembut rambut suamiku diiringi lemparan senyum dari bibirku, saat menatap lekat lelaki berhidung mancung yang kepalanya berada di pangkuanku.
"Kamu cantik," pujinya sambil menatap lekat wajahku. Pujian Mas Edgar kali ini benar-benar membuatku melayang. Betapa tidak! Selama enam bulan kami terikat dalam ikatan pernikahan, ini pertama kalinya dia memujiku bukan?
"Masa, sih?" sahutku dengan wajah berseri dan detak jantung yang masih saja tak beraturan.
"Iya, Sayang." Mas Edgar bangkit dan membelai lembut rambutku.
"Mas. Kamu kok jadi baik banget sih, hari ini?" tanyaku agak terbata.
"Emang kenapa? Nggak boleh?"
"Ya ... Ya boleh," jawabku gugup.
"Sayang. Mama kamu lucu, masa Papa baik aja gak boleh," bisiknya di dekat perutku. Membuatku tertarik untuk mencubit pinggangnya dengan gemas.
"Ih … sebel! Dikit-dikit ngadu sama debay!" Aku mengerucutkan bibir karena kesal. Kesal-kesal manja maksudnya.
"Tuh, kan, makin cantik aja mama kamu kalau lagi marah." Mas Edgar kembali berbisik di dekat perutku. Kali ini aku dibuat kembali tersenyum dengan segala tingkah manisnya.
"Ya udah, yuk mandi," godanya sembari menaik turunkan alis tebal miliknya.
"Ish! Apaan sih, mandi tinggal mandi pake ngajak-ngajak."
"Biar romantis dong, Sayang," ucap Mas Edgar diiringi tawa.
"Dasar m***m!" Aku menarik manja telinga kanan suamiku. Dia hanya cengar-cengir menanggapi perbuatanku yang kini semakin berani bergurau.
"Ya udah, Mas Edgar mandi aja dulu ya. Aku mau ke dapur, buat nyiapin makan malam," ucapku sambil bangkit berdiri.
"Iya, Sayang. Ntar aku nyusul ke dapur," tutur Mas Edgar sembari mengambil handuk di jemuran handuk yang terpasang di dinding kamar.
"Iya, tapi nggak usah peluk-peluk ya, ingat!" Aku mewanti-wanti dengan sedikit tegas.
"Nggak janji," sahut Mas Edgar cepat dan diiringi senyuman nakal.
Aku hanya geleng kepala dibuatnya.
Ada-ada saja.
Segera aku menuju dapur untuk menyiapkan makan malam. Terlihat mertuaku sudah stand by di sana.
"Diracuni apa Mas Edgar sampai bisa tergila-gila sama gadis miskin seperti kamu hah? Kamu tahu kan, Kayla lebih segala-galanya dari kamu?" Mertuaku menginterogasi sekaligus mengolok saat menghampiri diriku ke dapur.
Mendengar itu, entah kenapa hatiku mendadak perih saat mendengar nama Kayla disebut. Gadis yang aku tahu terpaksa ditinggalkan oleh Mas Edgar karena terpaksa menikah denganku. Ditinggalkan bukan dalam arti yang sebenarnya tentunya. Karena aku tahu, sampai saat ini Kayla masih berharap pada suamiku.
"Aku nggak ngeracunin Mas Edgar apa-apa, cuma kasih servis yang hot aja di ranjang," balasku dengan perasaan kesal saat rasa cemburuku mendorongku mengatakan hal demikian.
Mertuaku mendelik mendengar jawabanku yang mungkin amat menyebalkan. Karena aku tahu, Kayla lah menantu idaman hatinya.
Sialnya, lagi-lagi Rafka yang memergoki dan mendengar omonganku yang tak jelas barusan. Terlihat dia menutup mulut dan tampak sekuat tenaga menahan tawa melihatku yang tengah berdebat dengan ibunya di dapur.
Menyadari telah salah bicara, mukaku pasti merah padam karena menahan malu. Bagaimana tidak? Bukankah Afifah yang selama ini terkenal kalem telah berbicara sesuatu yang agak tabu untuk diucapkan. Membicarakan soal urusan ranjang di hadapan ipar dan mertua?
Astaghfirullah!
Bukankah itu sangat memalukan?
Andai ada pintu ajaib Doraemon di hadapanku, pasti aku sudah membuka dan memasukinya sekarang. Untuk menutupi perasaan tak enak yang menjalar di wajahku saat ini.
Malu!