"Malam ini aku dan pacarku mau makan malam di sini! kamu siapkan makan malam secepatnya!"
Padahal Naya sangat lelah, baru saja pulang dari kantor. Ia juga di sana membersihkan ruangannya Furqon sampai bersih layaknya seorang pembantu. Padahal Naya ini kerja di bagian administras kantor. Selain harus lembur mengerjakan pekerjaan kantornya, ia juga harus membersihkan rumah yang berlantai dua itu. Rumah yang cukup megah untuk diisi oleh dua orang saja.
"Iya, pak." ingin sekali Naya memanggilnya Mas. Bagaimana pun mereka ini telah menikah dan syah di mata agama dan negara.
"Pacarku suka daging sapi lada hitam agak pedas. Sayurnya bayam ditumis jangan terlalu layu, hanya pakai bawang putih saja, enggak perlu pakai mecin, biar otaknya pinter enggak kaya kamu!" Furqon mendorong keningnya Naya, sehingga gadis itu mundur ke belakang karena dorongan nya.
"Di kulkas enggak ada apa apa, pak." ujar Naya.
"Belanja sekarang! ini kartunya! belanja enggak pake lama! karena pacarku akan segera datang, ok?" Furqon meletakan black cart di atas meja kitchen set. "Dan kalau masakan kamu enggak enak! maka kamu harus tidur digudang malam ini!" dan Furqon yakin sekali kalau perempuan jelek dan ortodok itu tidak akan bisa masak enak. Perempuan berkerudung memang ortodok dan bodoh menurutnya. Lalu Furqon akan menghukumnya dan menyuruhnya tidur di gudang.
"Iya, pak." tetap tersenyum meski dadanya terasa sesak luar biasa.
"Dan saya enggak suka kamu terlihat muram atau sedih. Enggak ada yang harus kamu sedihkan atau marah sama saya. Karena yang salah itu kamu. Kamu yang menyetujui pernikahan ini. Dan kamu tahu? saya sangat mencintai pacar saya. Kami pacaran lima tahun. Dan kamu tahu, waktu lima tahun itu bukan lah waktu yang main main. " Naya mengangguk dan menelan rasa sakitnya dalam dalam.
"Yang harus marah itu saya! bukan kamu! perempuan suka aneh ya? kalian yang salah, kalian juga yang pura pura tersakiti!" Lalu Furqon berbalik dengan menggelengkan kepalanya tidak habis pikir.
Naya menatap punggung tegap itu dengan tatapan getir. Punggung yang begitu tangguh dan ia sungguh ingin sekali bersandar di sana kalau boleh.
Sampai di supermarket. Naya membeli bahan makanan yang dipesan oleh Furqon tadi. Ia membeli daging sapi setengah kilo, iya yakin cukup untuk mereka berdua. Lalu bayam segar. Setelah semuanya ia pesan, ia pun membeli bahan dissert yang akan ia persembahkan untuk pasangan itu. Meski Naya tidak rela memasak untuk perempuan itu. Namun Naya memusatkan dirinya pada furqon saja. Ia harus ikhlas dan fokus memasak seolah hanya untuk laki laki itu.
"Ini mbak." Ia memberikan black cart dan menekan pin yang diberikan oleh Furqon tadi.
selesai. Ia pun pulang berjalan kaki dengan cepat. Karena rumahnya Furqon memang berada di dekat super market itu.
Sampai di dapur, Naya segera memotong daging sapi dan mencucinya kemudian memasaknya, sesuai dengan yang diinginkan oleh Furqon.
Selesai, ia pun segera menghidangkannya di meja makan marmer yang berbentuk memanjang layaknya meja makan para pengusaha kaya raya lainnya. Yang berbeda adalah di rumah besar itu memang sengaja tidak ada pembantu, hanya agar Naya jera dan tidak betah selama pernikahan itu.
"Sudah selesai, tuan." Naya menghampiri Furqon yang tengah berpacaran dengan perempuan cantik nan seksi itu.
Furqon mengangguk tanpa mau menoleh padanya sedikit pun. "Ok," ujarnya. "Kamu pergi ke kamar kamu dan jangan keluar lagi. Kamu keluar kalau sudah jam dua belas saja dan bereskan semuanya." ujarnya. Furqon akan berpesta dan berdansa bersama sang kekasih, setelah ia makan berdua.
"Baik, tuan." padahal Naya sangat lapar. Daging sapi lada hitam itu rasanya begitu menggelitik hidungnya. Naya ingin sekali mencobanya. Tapi ...
"Tuan apa saya boleh keluar untuk membeli makanan? saya lapar sekali." Naya akan membeli makanan untuk dirinya sendiri. Karena Furqon memang tidak mengijinkannya memasak di rumah megah itu. Kecuali untuk Furqon saja. Bagi Furqon, Naya benar benar seorang pembantu. Perempuan itu akan mendapat makan jika Furqon menggajihnya dan juga gadis itu harus makan di luar hasil, dari gajih yang Furqon berikan.
"Pergi lah! nanti pulang jangan buat gaduh. Ini rumah saya, kamu tidak boleh mengganggu kenyamanan saya."
"Baik, tuan." gadis itu pun keluar dengan helaan napas. Ia akan makan di nasi padang aja, dan ia juga akan membeli air yang isinya tiga liter.
Disangka akan tutup, ternyata nasi padang masih buka. Naya tersenyum dan masuk ke dalam. Segera memesan dan ia pun mulai makan. Perutnya mulai terisi dan Naya tersenyum dengan air matanya yang menetes. Ia capek, ia juga sangat lapar. Lalu jiwanya terasa penat dan lelah. Ia tidak pernah menyangka kalau hidupnya akan berakhir seperti sekarang ini. Ia ingin memiliki sebuah pernikahan yang baik baik saja, dan tentunya sekali seumur hidup. Namun ...
Gadis itu menunduk dan segera meraih tisu dengan cepat demi bisa menyeka air matanya yang luruh begitu saja.
"Makan ko nangis sih, neng?" suara seseorang membuat Naya menoleh dan mendapatkan Samudra di sana.
"Ko, pak samudra ada di sini?" Karena laki laki itu seorang pengusaha kaya raya. Naya pikir dia tidak akan makan di tempat yang sederhana ini.
Samudra tersenyum. "Saya tinggal di sekitar sini, Naya. Dan rumah makan ini, memang rumah makan langganan saya. Justru saya yang baru melihat kamu di sini." ujar Samudra.
"Eh, iya. Karena saya juga tinggal di sekitar sini."
"Oya? kalau gitu, di mana?
Naya mengerjap. Jangan sampai laki laki itu tahu kalau ia tinggal bersama Furqon, apalagi kalau ia memberitahu bahwa dirinya sudah menikah dengan laki laki itu.
"Jadi di mana tinggalnya?" Samudra kembali bertanya. Pasalnya ia agak penasaran dengan gadis berhijab itu.
"Oh, maksud saya, saya enggak tinggal di sini. Malam ini saya nginep di sini. Tapi besok saya enggak di sini lagi, pak. Iya, begitu." Naya menunduk dengan kedua mata cantiknya yang berlarian ke sana ke mari.
Samundra mengangguk. Padahal ia sudah sangat senang mendengarnya tinggal disekitar sini, itu artinya ia akan mengajak gadis itu pulang bersamanya.
"Oh. Oh, iya. kamu di Berlian Group udah lama?" Samudra membaca buku menu. Ia memang belum memesan makanan. Melihat Naya di sana, ia malah asik bertanya ini itu.
"Iya, pak. Dua tahunan." jawabnya. Terus terang saja, Naya merasa malu duduk satu meja bersama lelaki itu, karena setahunya Samudra ini bukan seorang karyawan biasa seperti dirinya.
"Oh," berpikir keras agar ia tetap bisa mengobrol dengan gadis jelita berhijab itu. Tapi entah kenapa sangat sulit sekali mencari bahan obrolan.
Naya sendiri memilih fokus pada makanannya karena ia sangat lapar. Tidak peduli kalau laki laki itu terus saja menatapnya.
"Oh, iya naya. Apa saya boleh tanya sesuatu lagi?"
"Iya, pak."
"Apa ... apa kamu sudah punya pacar?"