Tidak! Mas Furqon memang memakaikan kalung, anting dan juga cincin di depan ibu mertuaku tanpa canggung. Seolah kami ini memang sepasang suami istri yang saling mencinta. Ku lihat ibu mertua tersenyum. "Duh, kalian serasi sekali. Ibu sungguh sangat bahagia mendengar dari Naya, kalau kamu memperlakukan dia dengan sangat baik, dan manis."
Ku rasakan tatapan Mas Furqon melekat padaku, ketika ibu mengatakan itu. Aku sungguh tidak berniat membohongi ibu mertuaku. Aku hanya sedang mencoba menjadi istri yang baik, dengan menjaga marawah suamiku dengan sangat baik di depan kedua orang tuanya. Aku ingin mereka mengira bahwa anaknya memang sangat berbakti dan mengikuti setiap perintahnya dengan begitu sempurna. Sehingga aku mau tidak ada kekecewaan di dalam hatinya ibu mertua pada Mas Furqon. Dengan begitu hidup Mas Furqon akan terus mendapatkan doa dan ridonya. Dan karena setiap hari Mas Furqon mendapatkan doa dan ridonya. Maka hidup mas Furqon akan selalu bahagia dan sentosa.
Iya, meski itu enggak terjadi dengan ku.
Obrolan ku dengan ibu mertua berakhir dengan kami berdua harus kembali ke rumah. Selama diperjalanan Tuan Furqon terdiam. Aku juga sama terdiam, karena aku enggak tahu harus bilang apa. Intinya aku enggak akan bicara kalau Mas Furqon yang enggak memulai bicara duluan. Aku takut salah, dan takut membuatnya tidak senang.
Ku lirik dia, dan dia masih saja terdiam menatap jalanan dengan fokus. Aku pun kembali melirik kaca jendela dan lampu lampu malam yang menghiasi pinggir pinggir jalan. Dulu, ketika aku mengamen bersama anak anak panti asuhan. Aku akan kemalaman dan pulang setelah lampu lampu di jalanan menyala seperti ini. Kemudian kami semua akan berhenti di mesjid untuk melaksanakan shalat, di setiap ada Adzan yang berkumandang.
Lalu kami juga kadang kelaparan, hingga rasanya perut kami terasa sangat sakit. Lalu kami pergi ke tempat wudu dan mengisi air di botol botol kami. Mengisinya sampai penuh, lantas melanjutkan langkah kami, dengan bekal yang ada di botol itu. Air keran dan kami suka menghabiskannya sebelum sampai ke panti asuhan. Oh, iya. Kami pergi mengamen dan mencari bekas botol minuman hanya akan dilakukan sepulang sekolah dan hari minggu saja. Karena ketika pagi hari, kami harus sekolah. Meski kami tinggal di panti asuhan, kami pun bisa sekolah di sekolah negri. Di sana gratis, dan aku memakai baju bekas orang orang yang sudah menyelesaikan sekolahnya. Aku juga mendapatkan buku dari pemberian orang orang baik. Memakai sepatu bekas dan tas bekas. Yang kebetulan memang ada orang yang baik yang sudah tidak lagi membutuhkannya.
"kenapa kamu enggak bilang yang sesungguhnya pada ibu saya. Kamu kan tahu sendiri kalau hubungan kita enggak se sehat itu?"
"memangnya bapak mau aku bilang apa sama ibu? tuan mau saya bilang bahwa bapak selalu membawa perempuan ke rumah? apa bapak pikir itu akan membuat ibu bahagia? maaf, tuan. Saya ini, memang bukan keturunan orang kaya dan sekolah tinggi seperti tuan. Saya juga enggak pinter, dan juga ortodok seperti yang Tuan bilang. Namun ... saya tahu, bahwa seorang perempuan itu memang harus memulyakan suaminya. Hanya itu yang saya tahu."
Pak Furqon terdiam dan menatap ke arah jalanan lagi. Aku enggak tahu apa yang sedang ia pikirkan. Tapi boleh kah aku berharap, bahwa Pak Furqon tergugah atau minimal mulai memiliki rasa iba padaku, dan menganggapku istrinya?
Ah, tidak, tidak. Aku enggak boleh berharap sampai ke situ. Minimal, Pak Furqon menghargai saya sebagai manusia. Iya, seperti itu saja, aku sudah senang sekali. Aku enggak boleh serakah meminta hal yang berlebihan.
"Di depan ada tukang salad buah enak. Kamu mau?"
Tunggu!
Apakah Pak Furqon sedang menawariku?
Serius?
"Bapak nawarin saya?"
Dia berdeham dan menggeleng pelan. "Ya, kalau kamu mau. Kalau kamu enggak mau, ya enggak usah."
Dia mengalihkan tatapannya ke arah lain. Tidak! Pak Furqon memang tidak pernah menatapku sedikit pun. Pasti karena wajahku yang jelak dan tidak se cantik nona Berlian.
"Nanti saya beli sendiri, pak. Terima kasih."
"OK." hanya itu. Karena setelahnya kami memilih saling hening. Menurutku interaksi seperti ini saja sudah cukup. Karena biasanya kami saling diam. Tidak, karena aku memang enggak berani memulai pembicaraan kalau enggak di dahului oleh Pak Furqon. Aku hanya sedang tahu diri bahwa aku memang tidak lah pantas untuknya.
Hingga kami sampai ke rumah. Kami masih saja saling diam. Pak Furqon sendiri memilih kembali keluar mungkin ingin menemui gadis itu. Tidak apa apa, karena itu mungkin bisa membuatnya bahagia. Aku ingin dia selalu tersenyum dan juga enggak tertekan dengan pernikahan kami. Pak Furqon memang berhak bahagia dengan perempuan yang menjadi pilihannya.
***
Keesokan harinya aku menemui sahabatku. Dia masih di rumah sakit dan belum pulih. Keguguran membuatnya harus dirawat selama beberapa hari di sini. Aku hampir membuka pintu, ketika ...
"Kenapa kamu sampai hamil sih? kan aku sudah bilang, kamu jangan sampai hamil!"
Aku enggak tahu laki laki yang telah memarahi Melina ini siapa. Namun dari nadanya terdengar kalau dia ini se jenis laki laki yang enggak bertanggung jawab.
"Kamu mah payah, mel. Kira baru main dua kali saja, kamu sudah hamil. Aku rugi banget jadi pacar kamu. Kita putus sa--" ku buka pintu dan aku menendang laki laki itu hingga ia jatuh ke lantai kamarnya Melina. Aku benci! aku jijik sama lelaki macam dia.
"Lelaki biadab! enggak punya malu! enggak bertanggung jawab! kamu masuk neraka sana!"
Aku tidak pernah seperti ini pada siapapun. Tapi melihat penderitaan Melina. Aku sungguh enggak bisa menerima ini. Ku injak injak kaki dan tangannya sehingga ia mengaduh. Membuat dua sekuriti masuk ke sini.
"Mbak ada apa ini? kenapa orang itu mbak injak injak?"
"Dia pengacau di sini! dia mau melukai sahabat saya. Tolong dibawa pak." ujarku pada sekuriti. Dan kedua laki laki tinggi besar itu pun membawa laki laki itu keluar dari kamarnya Melina. Aku menghela napas lega, dan segera menghampiri Melina yang terlihat sedih dan shock. "Kamu baik baik saja?" tanya ku.
Melina mengangguk. "Ko hebat banget bisa kaya gitu? kamu pernah belajar seni bela diri ya?" tanya nya. Aku terkekeh pelan. Sebenarnya tidak pernah belajar juga. Aku hanya repleks melakukannya karena merasa sangat benci pada laki laki yang tidak bertanggung jawab seperti itu.
"Kamu kenapa sih punya pacar kaya dia?" ku usap pucuk kepalanya Melina.
"karena laki laki itu adalah musuh kakaku. Aku ingin kakaku hancur. Namun yang terjadi adalah, aku sendiri yang hancur. Akulah yang hancur naya ..." dia menangis pilu. "Aku udah nyerah dendam sama kakak aku. Aku mau pulang seperti yang kamu katakan. Dan sekarang kakaku akan ke sini menjemputku. Makasih ya Naya udah mau ngerawat aku."
"Sama sama ..." aku jadi penasaran seperti apa kakak dari Melina. Seseorang yang katanya telah membuat Melina dendam dan juga iri dengki. Bukan kah bagus memiliki seorang kakak yang maju dan sukses. Itu akan membuat kita termotivasi kan?
ketukan di pintu, membuatku segera menoleh. "Mungkin itu kakak ku." ujar Melina.
"Biar aku buka kan." Aku segera ke pintu dan menarik grendel. "Sila---"
Kalimatku hilang ketika melihat siapa laki laki yang ada di depanku.
"Naya! kamu ada di sini?"
Aku mematung melihat lelaki tampan ini berada di depan ku ...