Erlin makin ketakutan, sekujur tubuhnya lemas. Berusaha tetap bertahan agar tidak pingsan, karena berontak pun tidak mungkin.
Nyawa Rafael kini seolah berada dalam genggaman Erlin. Dia tidak boleh bertindak gegabah yang justru akan membuat masalah semakin pelik. Hanya doa yang masih bisa dia panjatkan. Berharap suaminya segera pulang dan Allah menurunkan pertolongannya.
Erlin benar-benar telah memasrahkan segenap jiwa raganya pada Sang Khaliq karena sudah tiada daya untuk berupaya.
Tok..tok..tok..
“Assalamualikum, Mbak Erlin.” Tiba-tiba ketukan pintu dan ucapan salam mengejutkan semua orang yang ada dalam rumah. Bram dan Kelvin bahkan sontak menggeser kembali duduknya.
“Waalaikumsalam!” seru Erlin dengan cukup keras. Tubuhnya tersentak antara kaget dan senang mendapatkan tamu yang entah siapa namun benar-benar telah membuatnya bisa bernapas dari himpitan dua serigala lapar yang sudah hamir memepetnya.
Erlin bangkit tersentak dari duduknya, dia yakin dewa penolong itu seseorang yang sengaja diutus Allah untuk membebaskan dirinya. Dan dua lelaki tak berakhlaq yang sudah dibkar nafsu syahwatnya hanya bisa menatap Erlin yang setengah meloncat beranjak dari duduknya dan mendatangi pintu.
‘Ya Allah, terima kasih atas pertolongan-Mu’ seru Erlin dalam hati sambil bergegas membuka pintu, seolah waktu yang tersisa hanya sepersekian detik.
Erlin keluar rumah setelah membuka pintu itu dan seketika itu pula dia berdiri terpaku kaku dan tertegun bingung menatap seseorang yang berdiri di hadapannya sambil mempersembahkan seulas senyum yang sangat manis. ‘Malaikatah ini?’ tanya Erlin dalam hati, matanya nyaris tak bisa berkedip.
Erlin sudah sangat mengenalnya, namun belum pernah berkomunikasi secara langsung. Dia adalah seseorang yang telah membuatnya gelisah dalam dua malam terakhir karena diminta untuk menasihatinya oleh Bu Haji Komar.
“Asalamualaikum, selamat sore, Mbak Erlin. Maaf saya ganggu,” sapa sosok muda itu dengan sikap yang sangat santun, suaranya lembut namun penuh wibawa. Baru kali ini Erlin mendengar jenis suaranya yang berbading terbalik dengan suara dua lelaki sangat yang ada dalam rumahnya.
“Eh i…i..iya, waalaikumsalam. i..ini Mas Ak Ak Akmal bu..bukan?” balas Erlin tergagap dan terbata. Masih tak percaya dengan pendengaran dan penglihatannya sendiri.
“Iya Mbak, masa gak kenal sama tetangga sendiri. Kita kan sering ketemu, hehehe.” Akmal menyodorkan tangan mengajak bersalaman namun hanya sebatas depan d**a. Bersalaman syariah.
“Eh iya, kita sering ketemu ya, ta..ta..pi saya cuma ngeliat aja, gak pernah ketemu langsung, hehehe,” balas Erlin sambil menenangkan degup jantungnya yang masih berdetak tak karuan. Dua hal yang mengejutkan datang sekaligus dalam waktu bersamaan. Yang menyenangkan dan mengerikan.
“Lagi ada tamu ya, Mbak. Aduh maaf, saya ngeganggu gak nih?” tanya Akmal sambil memandangi dua pasang sepatu yang ada di depan pintu, dan tadi sebenarnya samar-samar dia juga bisa melihat ada dua orang lelaki yang duduk dalam posisi menghimpit Erlin.
“I..iya ada, tap..tapi gak menggangu kok, itu ta..tamunya Mas Rafael.” Erlin menjelaskan dengan suaranya yang kembali gelagapan.
Ada perasaan takut Akmal melihat saat dirinya duduk dihimpit oleh dua lelaki yang bukan suaminya itu dan menilai dirinya yang bukan-bukan. Namun demikian, Erlin tetap merasa sangat senang, orang yang rencananya akan dia temui untuk dinasihati, justru datang sendiri di waktu yang tepat bahkan bisa dikatakan sebagai juru selamatnya.
“Oh, jadi beneran nih saya gak ganggu, Mbak Erlin?” tanya Akmal untuk memastikan.
“Oh enggak kok, Mas. Silakan duduk dulu di sana aja ya,” ucap Erlin sambil menunjuk dua kursi dan meja yang ada di pojokan beranda. Tempat biasa yang Erlin fungsikan untuk menerima tamu laki-laki ketika suaminya sedang tidak ada di rumah.
“Oh iya, boleh,” balas Akmal sambil melangkah menuju salah satu kursi yang tersedia.
Erlin meminta izin dulu pada dua tamnya, dengan alasan Akmal keponakannya dari jauh hendak menemuinya. Beryukur Kelvin juga Bram tidak marah apalagi memaksa Erlin untuk mengusir Akmal.
Erlin segera mendatangu Akmal dan duduk di kursi yang satunya lagi terhalangi meja bundar. Jantung dan d**a Erlin sudah benar-benar tenang dan lega karena dua tamu sangarnya bisa memahami dan tidak lagi membuatnya ketakutan setengan mati.
Dua bola mata Erlin kini sedikit fokus memandangi wajah putra bungsu Bu Haji Komar yang ternyata memang sangat tampan. Postur tubuhnya yang berbalut kemeja kotak-kotak yang dipadu celana panjang bahan chinos serta sendal kulit, tampak sangat gagah.
Alisnya yang tebal, hidungnya yang mancung serta kumis tipisnya yang belum dikkeokter lihat begitu sempurna dalam balutan kulit wajah hitam manis bercahaya. Erlin benar-benar tak menduga jika Akmal lebih dari sekedar ganteng, namun juga gagah dilihat dari dekat.
Wangi tubuh maskulinnya samar-samar tercium. Dia benar-benar tipe anak muda yang menjaga kebersihan dan keresikan diri. Dan ingatan Erlin langsung tertuju pada sosok lelaki sempurna yang sampai kapan pun tidak akan pernah hilang dari hatinya. Irsyad Pramana Putra, cinta pertama dan terakhirnya yang kini entah berada di mana.
“Mbak, kenapa wajahnya tegang banget? Sedang sakit bukan?” Akmal membuka kembali obrolan yang sekaligus menyadarkan Erlin dari bengongnya.
“Ee eng.. gak, enggak apa-apa, kok, Mas. Eh maaf, mau minum apa Mas Akmal?” Erlin kembali menjawab gugup, gagap dan salah tingkah.
“Gak usah Mbak, saya juga bentar kok, cuma mau nganterin surat titipan dari Umi buat Mbak Erlin, katanya sih harus dibaca sekarang juga,” ucap Akmal sambil menyodorkan sebuah amplop putih pada Erlin.
“Surat dari Bu Haji?” tanya Erlin sambil menatap wajah Akmal, dan tangan kananya refleks menerima amplop yang disodrokan Akmal ke arahnya
“Iya Mbak,” balas Akmal pelan dan membiarkan Erlin membuka amplop serta membaca isi suratnya.
[Neng, tolong layani Akmal, ya. Dia katanya mau pesan sendal, sepatu dan beberapa pakaian lainnya. Penuhi aja apapun keinginannya. Nanti urusannya dengan ibu.Neng kalau mau ajak ngobrol juga boleh]
[Ibu mohon, Neng Erlin mulai bicara sama Akmal ya, dan kenali dia. Ibu percaya Akmal akan sangat nurut sama nasihat dari Neng Erlin. Ibu sangat yakin, sebenarnya Akmal itu anak baik, hanya sedang dapat gangguan setan aja. Ibu titip ya, Neng. Nama panjangnya Muhammad Akmal Hamdani]
Dua alinea isi surat yang dikirim Bu Haji Komar, sontak membuat Erlin kembali tertegun seraya menatap wajah Akmal yang sedang tersenyum tipis nan manis kepadanya. Erlin mulai paham maksud kedatangan Akmal. Ternyata Bu Haji Komar tidak main-main dengan keinginannya untuk menyadarkan putra bungsunya.
‘Bukankah kata Mas Pandi, Mas Akmal justru tidak melayani Mbak Wenti? Kenapa Bu Haji masih saja cuirga. Jadi siapa sebenarnya yang lebay? Haruskah aku mempertanyannya langsung pada Akmal?’ Erlin bertanya-tanya dalam hati yang meragu.
“Mas Akmal mau pesan sendal dan sepatu apa?” Tak sadar mulut Erlin berucap pelan. Matanya sama sekali tidak terlepas dari memandangi wajah Akmal yang memiliki kwalitas di atas rata-rata, bahkan jika dibandingkan dengan Reza sekalipun.
‘Pantes aja Mbak Wenti sampai klepek-kelpek sama ni cowok, pikir Erlin.
“Mbak kenapa sih kok melongo gitu dari tadi? Emang apa sih isinya surat dari Umi itu?” Akmal balik bertanya dengan nada santai, mencoba menetralisir dan mencairkan suasana. Dia mendapati wajah Erlin semakin tegang setelah membaca surat dari ibunya itu.
“Eh oh iya, maaf, Mas Akmal beneran mau pesen sendal sama sepatu? mereknya apa terus nomor berapa?” Erlin mendadak kembali lancar bicaranya. Kalau urusan bisnis Erlin memang sangat mudah menguasai diri.
“Iya Mbak, boleh saya minta nomor WA-nya, biar saya kirim gambarnya. Kan bukan hanya sendal dan sepatu, rencananya mau pesen yang lainnya juga, hehehe.” Akmal terus menebarkan senyumannya yang manis hingga membuat Erlin merasa nyaman dan tenang. Akmal jelas bukanlah manusia serigala seperti Bram dan Kelvin.
Tak berapa lama mereka pun sudah bertukar nomor WA dan Akmal segera mengirim beberapa gambar barang yang akan dipesannya. Wajah Erlin kembali tegang dan sedikit memerah saat menerima kiriman gambar yang terakhir. Gambar yang sangat mengejutkan hingga jantungnya terasa nyaris berhenti berdetak.
“Bisa kan Mbak saya pesan singlet dan celana dalam seperti di gambar itu?” tanya Akmal pelan, matanya lurus menatap Erlin, dan bibirnya tersenyum tipis. Sepertinya Akmal memang sengaja berbuat iseng.
“Ma..mas Akmal beneran mau pesan yang ginian?” tanya Erlin sambil terus menatap gambar setengah badan seorang lelaki perkasa yang hanya mengenakan singket dan celana dalam.
Tadinya Erlin menduga Akmal sedang bercanda atau sedikt melecehkannya. Namun saat teringat kembali pada Reza, dia juga jadi langsung sadar jika para lelaki remaja mungkin kebutuhan pakaiannya hanya sebatas itu.
“Iya Mbak, yang seprti itu, bisa kan Mbak?” jawab Akmal serius.
“Oh gitu,” balas Erlin sambil kembali menatap wajah Akmal yang berubah serius.
“Saya serius Mbak, pesen sandal dan sepatu itu size 43, singletnya dan yang lainnya L, hehehe.” Akmal terkekeh malu-malu saat menyebutkan yang lainnya, tentu saja itu merujuk pada celana dalam yang dipesannya.
“Memang rencana belanjanya kapan Mbak?”
“Secepatnya, biasanya kalau semua pesanan sudah kumpul, paling juga seminggu udah belanja lagi. Kenaa mau cepet-cepet ya?”
“Gak sih, santai aja, cuma nanya aja. Saya juga gak buru-buru banget kok. Oh iya untuk urusan pembayarannya Mbak nanti ngobrol aja ya sama Umi.”
“Iya tenang aja. Urusan sama Umi mah super gampang.
“Sama saya juga gampang kok, Mbak, hehehe.”
“Masih sih, takut ah sama orang pendiam mah, susah diselami hatinya, hahaha.”
“Yeee, siapa bilang pendima, belum kenal aja, hehehe.”
“Eh, Mas Akmal, maaf, kita tunda dulu obrolannya ya. Alhamulillah Mas Rafael udah pulang kerja. Kita lanjut nanti aja, gimana?” tanya Erlin pada Akmal, matanya berbinar menatap suaminya yang datang dengan mengendarai motor tuanya.
“Oh iya Mbak, kalau gitu saya pamit dulu. Nanti kalau ada yang kurang atau nambah pesanan, saya kirim via WA aja ya, Mbak.”
“Iya Mas, gitu aja. Makasih ya untuk pesanannya.”
“Sama-sama Mbak. Kayaknya pesanannya bakal nambah deh, solanya Mbak Erlin baik dan ramah banget sih, hehehe,” puji Akmal.
“Amiiin,” balas Erlin sambil tersenyum semringah, pintu rizkinya kembali trbuka. Bu Haji Komar adalah pelanggan nomor satu dalam urusan melunasi semua kewajibannya, bahkan rencana tiga kali bisa jadi hanya satu atau dua kali.
‘Ternyata selain ramah dan sopan, Akmal memang ganteng. Sorot matanya itu kok bisa bikin berdebar-debar ya,” batin Erlin menatap Akmal yang pulang dengan menunggangi sepeda mahalnya.