Erlin segera menutup pintu dan menguncinya. Lalu menghempaskan tubuhnya pada kursi tamu. Punggungnya bersandar dengan wajah tengadah menatap langit-langit yang membisu.
“Astagfirullah! Apa yang diucapkan Mang Pandi?” sergah Erlin, sambil beberapa kali mengusap wajahnya yang terasa seperti terjerang api membara.
‘Mas Hendra tergila-gila sama aku? Sejak kapan dia begitu, bukankah selama ini dia tidak pernah kurang ajar. Aku melihat rudalnya juga kan tidak sengaja, dia sedang tidur dan sama sekali tidak disadarinya.’
“Wah bener-bener gawat kalau sampai Mbak Wenti juga curiga. Bisa perang dunia ketiga ini. hihihi..” Erlin bergidik takut.
Erlin memejamkan mata, mencoba meredam gejolak yang berkecamuk dalam dadanya. Namun bayangan rudal Hendra kembali membayang-bayang dan ucapan Mang Pandi tentang suami Wenti pun terus terngiang-ngiang di telinganya.
‘Benarkah Mas Hendra tahu kalau aku selalu kesepian? Perasaan aku gak pernah cerita pada siapapun. Darimana dia tahu? Apakah dia hanya menebak-nebak saja, atau….?
Kegelisahn Erlin masih terus bertambah, terutama saat sedang sendiri seperti saat ini. Apapun yang dilakukannya terasa sedikit mengambang. Merasa seperti sedang berada di banyak alam yang membuatnya sering tertegun. Untung saja masih ada kegiatan yang masih bisa mengalihkan dunianya. Meendata ulang beberapa psanan tetangganya hingga tak terasa hari pun mulai sore.
Ketika Erlin baru selesai masak untuk makan malam, jaga-jaga kalau sore ini suaminya akan pulang, beberapa kali ketukan pintu mengalihkan perhatiannya. Erlin segera menuju pintu depan dan langsung membukanya. Dia tahu itu bukan suaminya, karena tidak mengucapkan salam.
“Eh, maaf, siapa ya, Mas-mas ini?” tanya Erlin saat baru membuka pintunya dan mendapati dua lelaki berpenampilan sedikit urakan dan sama sekali belum dikenalnya. Mereka berdiri berdampingan menatap Erlin.
“Kenalkan saya Bram, dan ini, Kelvin.” Jawab salah seorang di antara mereka yang berwajah lumayan sangar, serta bermata Elang seolah menelanjangi Erlin, sambil menujuk temannya yang harus Erlin akui wajah dan penampilannya lebih muda dan ganteng.
“Oh ..i… iya, Maaf, Mas-mas ini mau ketemu siapa?” Erlin yang masih diliputi perasan takut dan curiga, bertanya sambil berusaha enenangkan dirinya.
“Maaf, kalau Mbak ini siapanya Rafael?” tanya lelaki yang mengaku bernama Bram tadi.
“Sa..saya Erlin, istrinya Mas Rafael. Kalau Mas-mas ini siapa ya?” Mata Erlin intens memandangi dua tamu suaminya. Dari tampangnya, diaa bisa menduga jika tamu tak diundangnya itu para debt collector alias penagih utang.
Setelah berbasa-basi dan agak sedikt terpaksa, Erlin mempersilakan kedua orang yang mengaku sebagai sahabat akrabnya Rafael itu masuk ke rumahnya. Erlin sama sekali belum kenal dengan mereka dan belum pernah mendengar suaminya menyebut nama Bram atau Kelvin sebagai sahabatnya.
Ternyata tak salah dugaan Erlin. Bram dan Kelvin memang dua orang debt collector yang sengaja datang karena Rafael sudah beberapa kali ingkar janji. Suah hampir empat bulan belum menyetor kewajibannya membayar utang pada perusaan pinajaman milik Kelvin.
Hampir saja Erlin pingsan karenanya. Suaminya sudah berkali-kali mengatakan sudah berhenti main judi online lagi atau main apapun yang ujungnya menghamburkan uang. Dia mengaku sudah kapok meminjam uang pada rentenir. Lantas untuk kebutuhan apa dia harus kembali berutang pada rentenir?
“Be..be..rapa jumlah utangnya, Mas?” Erlin bertanya cemas.
“Lima puluh juta,” jawab Bram tegas.
“Astagfirullah, utang bekas apa sebesar itu?” Tak sadar Erlin terpekik saking kagetnya.
Sementara lelaki yang bernama Kelvin yang sekligus sebagai owner pusahaan ilegal itu hanya diam seribu basa, sambil matanya tak pernah lepas memandangi wajah Erlin yang tampak cantik alami di matanya.
“Biasalah pinjam uang dari jutaan akhirnya sampai puluhan juta. Memangnya Mbak Erlin gak tahu? Kata Rafael uang itu buat nutupin kebutuhan istrinya? Mbak Erlin kan istrinya, masa tidak tahu? Gak usah pura-pura gitu lah, Mbak!” Bram bicara sambil memainkan kedua alisnya yang sukses membuat Erlin sedikit bergidik.
“Sa..say sa..sama sekali tidak tahu urusan utang piutang suami saya, Mas. Memangnya Mas Rafael janji mau bayar sekarang?” Erlin bicara dengan tatapan kosong pada dua tamunya. Untung saja wajah Kelvin sedikit lebih enak untuk dilihat, sehingga masih ada pengobat matanya yang hampir menangis.
“Rafael hanya janji dan janji setiap hari! Katanya minggu lalu semua utangnya mau dilunasi sekarang. Makanya kami akan tunggu di sini sampai dia datang.” Bram bicara mulai sedikit galak dan tegas.
‘Lima puluh juta?’ tanya Erlin dalam hati. Dia tak percaya dan sama sekali tidak punya gambaran dari mana suaminya bisa mendapatkan uang sebanyak itu.
Erlin tahu keluarga Rafael cukup kaya, tapi mustahil suaminya itu berani meminjam uang pada ibu atau kakak-kakanya. Sejak menikah dengan Erlin, Rafael seperti memusuhi semua keluarga besarnya, terutama ibunya.
“Bagaimana kalau kembali lagi besok Mas-masnya, karena suami saya belum jelas jam berapa akan pulangnya.” Erlin berusaha memberikan jeda. Dia pikir, mungkin masih bisa bertanya tentang kebenaran utang itu pada suaminya kelak kalau sudah pulang.
“Gak bisa Mbak! Sampai kapan pun akan kami tunggu di sini. Kalau bolak balik ke sini tiap hari makin boros biayanya. Kami kan jauh dari Jakarta!” Kelvin ikut bicara dengan nada yang reltif lebih tenang.
“Mas-mas gak ke kantor Mas Rafael aja?” Erlin mencoba mengusir mereka dengan halus.
“Sudah sering saya coba. Tapi Rafael jarang ada di kantornya!” Bram kembali menimpali.
“I…iya Mas, maksud saya kal..”
“Gak papa, kami tungguin aja di sini. Itung-itung nemenin Mbak Erlin, iya gak?” pungkas Bram sambil mengedip-ngedipkan sebelah matanya.
Menghadapi situasi yang sedemikian peliknya, perasaan Erlin makin tak karuan. Dia bahkan tak sempat membuatkan minum untuk dua tamunya. Baru kali ini Erlin menerima tamu laki-laki tak dikenal, ketika suaminya tidak ada di rumah. Terlebih lagi tampang Bram sudah seperti serigala yang sedang lapar.
“Ka..ka..kalau begitu saya buatkan minum dulu ya, Mas,” ucap Erlin sambil beranjak dari duduknya, lalu bergegas menuju dapur tanpa menunggu jawaban mereka.
‘Sepertinya mereka punya niat jahat, apakah aku harus kabur?’ batin Erlin, ‘Ah masa sih kabur, kalau mereka ngejarah isi rumah gimana?’ Erlin bimbang.
“Bos, ini sih macan banget bininya si Rafael.” Bram berbisik pada Kelvin.
“Beuh, jauh kemana-mana dibanding si Wenti j****y itu, Bro. Sialan, si Rafael gak pernah cerita sama kita. Gua sih mending pake yang ini daripada sepuluh kali sama si Wenti j****y itu, udah hambar!” balas Kelvin dengan berbisik pula.
“Mantap dah, Bos kebayang gak kalau kita garap Erlin bereng-bareng, kaya si Wenti?” Bram nyengir kuda dan mupeng.
“Beeeuh maknyos pastinya ajib ini sih, Bro. Eduun pastinya!” timpal Kelvin sambil terkikik menahan tawa jahatnya.
“Baru liat bodynya aja, gua udah nepsong banget, Bos!” balas Bram sambil terkekeh dan menunjuk sesuatu yang menyembul di balik slangkangannya.
“Sama gua juga gitu, Bro, hehehe.” Rupanya Kelvin pun merasakan hal yang sama dia pun menunjuk bagian depan celana pendeknya.
Sementara itu, sambil membuat dua gelas minuman, pikiran Erlin kembali melayang pada peristiwa beberapa bulan yang lalu. Saat Rafael merayunya agar menjual kalung dan gelangnya demi melunasi utang bekas judi online pada dua orang bandar.
Sempat terbersit dalam pikiran Erlin untuk mengirim pesan pada Wenti agar sudi main ke rumahnya. Namun segera ditepiskannya. Takut sahabtanya itu tidak bisa menjaga rahasia Rafael yang berutang begitu besar pada rentenir. Jika itu terjadi, Erlin bisa memastikan Rafael akan marah dan semakin membencinya.
Erlin kembali dengan membawa dua gelas kopi untuk Bram dan Kelvin. Awalnya dia berniat segera kembali ke dapur, namun Bram dan Kelvin memintanya atau lebih tepatnya memaksanya untuk menemani ngobrol. Erlin merasa terjebak dalam situasi.
“Rafael tidak pernah cerita sama kita, kalau punya istri yang sebegini cantiknya ya, Bos,” ucap Bram pada Kelvin.
“Bener banget, Bro. Beruntung sekali si Rafael punya istri secantik Mbak Erlin ini. Kalau menurut gua sih, sayang banget bunga yang sangat indah seperti ini hanya dijadikan pajangan rumah,” balas Kelvin mulai kurang ajar dan kian membuat Erlin jengah mendengarnya, sekaligus ketar ketir, mendadak ingin kencing dan buang air besar tak karuan.
Obrolan Bram dan Kelvin berikutnya, kian membuat nyali Erlin menciut. Kulit wajahnya terasa terbakar merah padam. Bukan tersipu malu karena terus dipuji-puji, namun marah bercampur ngeri-ngeri sedap. Baru kali ini dia merasa takut mendapat pujian dari lelaki asing yang sangat kurang ajar.
Beberapa kali Erlin mengirim pesan pada suaminya, namun belum dibaca, apalagi dibalasnya. Erlin menduga suaminya masih sibuk bekerja atau entah dimana.
“Sayang suaminya terlalu banyak utang, bisa jadi, Mbak Elina ini selalu dibohongi sama si Rafael. Iya gak, Mbak?” tanya Kelvin seraya menggeser duduknya mendekati Erlin.
“Eh… ti..tidak kok, Mas. Mas Raf..raf..ael gak pernah bohongin sa.. saya.” Erlin menjawab gelagapan seraya sedikit menggeser duduknya menjauh Kelvin. Walau wajah lelaki itu cukup sedap dipandang mata, namun tetap saja dalam keadaan demikian Erlin merasa horor juga.
“Hahaha, gak usah takut gitu dong Mbak. Kita gak pernah makan orang kok, malah bisa bikin enak orang, ketagihan gitu loh, hehehe," sambung Bram yang sontak membuat bulu kuduk Erlin berdiri dan meremang.
“Mbak sudah punya anak berapa?” tanya Kelvin lagi. Erlin menjawabnya dengan gelengan kepala, mulutnya serasa terkunci tak sanggup lagi bicara.
“Hahaha, payah bener si Rafael. Jangan-jangan dia emang mandul. Wah perlu bantuan kita gak Mbak?” seloroh Bram sambil menyeringai, dan menatap Erlin dengan tataan menghujam. Lalu dia pun menggeser duduknya lebih mendekat pada Erlin.
“Si..si..silakan di..dim diminum kopinya, Maas. Mas..” Erlin gelagapan sambil menguat-nguatkan tubuhnya yang terasa hampir ambruk kehilangan tenaganya saking ketakutannya duduk diapit oleh dua lelaki yang terlihat sangat kelaparan.
“Makasih,” balas kedua tamu Erlin sambil masing-masing mengambil gelas kopinya.
“Santai aja, Mbak.” Bisik Kelvin setelah menyesap kopinya.
Erlin benar-benar merasa berada dalam neraka. Jengah, takut dan risih bercampur aduk. Berada di antara dua mansuia super sangar dan m***m ternyata lebih mengerikan dari melewati kuburan paling angker sekalipun.
Omongan Bram dan Kelvin terdengar sangat menyaitkan karena mulai merendahkan harga dirinya sebagai seorang istri. Tatapan mata mereka pun semakin mengerikan, seakan menelanjangi dan mereka benar-benar dua serigala lapar yang siap menerkam mangsanya yang mulai tak berdaya.