Setelah semua dirasa tenang, Erlin pun bersiap untuk pergi toko grosir langganannya. Sementara Wenti rencananya akan ke sekolah menjemput anaknya. Wenti meminta izin, dari sekolah nanti dia dan Denise akan kembali ke rumah Erlin, karena mau pulang takut suaminya masih marah.
“Ya udah, nanti aku temui Mas Hendra untuk bicara baik-baik. Gak bagus kalian saling marahan, apalagi kalau Denise ada di rumah. Mbak tunggu aja di sini, nanti kalau aku lama di toko, terserah deh mau nunggu atau pulang duluan. Kuncinya di simpan di tempat biasa aja ya.”
“Iya Lin, aduuh makasih sebelumnya ya, Sayang. Kamu memang super bestie! Selalu bersedia aku repotin.” Wenti memeluk dan menciumi pipi Erlin sebanyak dua kali.
“Lesbong deh kamu!” ucap Erlin sambil mencubit pinggang Wenti, dan mereka pun tertawa-rawa lagi.
Jarak rumah Erlin dengan pangkalan angkot, lumayan jauh sehingga harus jalan kaki beberapa ratus meter. Sementara kalau naik ojek nanggung. Ketika di tengah perjalanan Erlin mengubah rencana. Dia pikir, lebih baik ke rumah Wenti dulu untuk menemui Hendra, dan menyelesaikan masalah mereka, agar bisa leluasa di pasar. Mungung Hendra, menurut Wenti masih ada di rumahnya, dan kalau agak siangan, biasanya pergi mancing entah kemana.
Sesampainya di depan rumah Wenti yang terlihat sepi, Erlin langsung mengetuk pintu beberapa kali sambil mengucapkan salam dengan pelan. Namun tidak ada jawaban.
Dan saat Erlin mencoba untuk mengetuk kembali sambil menekan gagang pintunya, ternyata tidak terkunci dan pintu itu pun terbuka dengan mudahnya.
"Pintunya tidak dikunci, berarti Mas Hendra ada di dalam," gumam Erlin pada dirinya.
"Assalamualaikum, Mas Hendra, Ini Erlin, Mas," ucap Erlin sambil mendorong daun pintu ke dalam.
Di ruang tamu, Erlin tidak menemui siapa-siapa. Lalu masuk ke ruang keluarga dengan sangat pelan hingga nyaris tanpa suara. Ternyata Hendra sedang tidur telantang di atas sofa depan teve yang menyiarkan infotainment, gosip terkini tentang seorang pegawai supermart yang tertangkap basah sedang ina-inu dengan ibu mertuanya.
“Pantesan gak nyahut, ternyata dia sedang tidur. Terus gimana dong, apakah dibangunin aja atau nanti balik lagi sepulang dari pasar?” Erlin kembali meminta pendapat pada dirinya sendiri.
“Oh kenapa pintu itu pun tidak ditutup?” Erlin melanjutkan ucapannya sambil memandang pintu dapur yang sepertinya kelupaan tidak ditutup oleh Hendra.
Karena khawatir ada binatang yang masuk, atau bahkan maling siang bolong yang tidak bertanggung jawab, maka Erlin pun segera mendatangi dapur untuk menutup pintu tersebut dengan pelan-pelan takut membangunkan tuan rumah yang sedang nyenyak.
Setelah itu, dia kembali ke ruang tengah dengan langkah yang sangat pelan-pelan pula. ‘ASTAGA!’ seru Erlin sangat keras, namun hanya dalam hati.
Wajah Erlin mendadak tegang dan pucat. Sebelah tangannya refleks menutup mulutnya yang menganga. Kedua matanya pun terbelalak saat mendapati pemandangangan yang benar-benar tidak pernah diduganya.
Sekujur tubuah Erlin seketika terasa lemas dan panas dingin. Pandangan mtanya nanar dan lurus pada sosok Hendra yang sedang tidur telentang di atas sofa, mengenakan singlet putih dan kain sarung yang dililitkan di pinggangnya. Ketika Erlin kembali dari dapur tadi, tiba-tiba Hendra mengangkat sebelah kakinya dan tak ayal lagi kain sarungnya ikut terangkat dan tersingkap dengan sempurna.
Akibatnya sebuah benda berukuran besar dan panjang yang tampak sedang berdiri kencang di pangkal paha Hendra ikut terekspose di depan mata Erlin, tanpa terhalang apapun. Hendra tidur hanya mengenakan sarung tanpa kolor apalagi celana dalam.
‘Gila, gede dan panjang banget!’ bisik Erlin dalam hati. Jantungnya dag-dig-dug tak karuan dan kedua matanya nyaris tak bisa dikedipkan atau pun dialihkan dari memandangi benda hitam dan berurat menakjubkan itu.
‘Oh my God! Ini sih hampir dua kali lipat dibanding miliknya Mas Rafael. Kenapa berdiri begitu begitu? jangan-jangan Mas Hendra sedang mimpi basah sama selingkuhannya? Dasar laki-laki, masa siang-siang begini mimpi basah?’ batin Erlin terus bertanya-tanya.
Darahnya kian berdesir, sekujur tubuhnya makin lemas dan merinding dilanda perasaan yang berkecamuk tak karuan. Pemandangan yang baru pertama kali ilihatnya dalam sepajang hidupnya itu benar-benar seperti mematri kedua kakinya hingga sulit untuk digerakan.
“WOW!” Erlin kembali memekik keras dalam hatinya ketika dengan santainya tangan Hendra memegangi dan memainkan benda miliknya yang benar-benar sedang diperhatikan oleh Erlin.
Hendra yang sedang terlelap tentu tidak menyadari jika aksi seronoknya disaksikan langsung oleh Erlin. Bahkan tangan Hendra pun bergerak naik turun seperti sedang mengocoknya. Mata Erlin kian terbelalak.
“Oooh, Wenti sayaaangku, maafkan kesalahan suamimu ini, ooooh, Sayaaang jangan tinggalkan aku, Sayaaang,” Hendra mengigau sambil terus mengocok batangnya, dan sonak membuat Erlin tersadar.
‘Astagfirullah, Erlin! Eling kamu, Erlin! Itu bukan milikmu, bahkan kamu tidak berhak memandangnya!’ maki sisi baik hati Erlin mengingatkan.
Erlin segera membuang pikiran-pikiran kotornya. Walau masih tidak bisa berhenti memandanginya, namun dia paksakan untuk beranjak meninggalkan ruangan. Matanya masih sempat beberapa kali melirik pada senjata milik suami sahabatnya yang benar-benar sangat mendebarkannya itu.
Erlin keluar dari rumah Wenti dengan hati dan pikiran yang benar-benar kacau. Dalam seumur hidupnya baru kali ini dia mendapatkan pengalaman yang tak pernah diduga sebelumnya. Bahkan mimpi pun belum pernah.
“Oh, Mbak Wenti, maafkan aku yang sudah tak sengaja melihat milik suamimu yang luar biasa itu. Sungguh sangat beruntung dirimu mempunyai suami sehebat itu, sesuai yang selalu kamu katakan,” ucap Erlin sambil terus melangkah hendak melanjutkan perjalanannya menuju pangkalan angkot.
Beberapa menit setelah Erlin pergi, sesosok wanita yang sejak tadi mengintip aktivitas istri Rafael itu, langsung menghambur masuk ke rumahnya.
“Waaaah, gimana sukses, Mas?” tanya Wenti pada Hendra, sesaat setelah dia duduk di samping suaminya yang ketika Erlin masuk rumahnya, berpura-pura tidur nyenyak.
“Sukses apaan? Belum lah, Wen. Erlin kan baru ngeliat doang belum ngapa-ngaapain, hehehe,” balas Hendra sambil cengengesan.
“Loh, masa sih cuma ngeliatin doang?” Wenti pura-pura tidak percaya.
“Belum lah, dia kan di sininya cuma sebentar. Nutup pintu dapur dulu, terus jalannya juga pelan-pelan banget kaya takut-takut gimana gitu,” timpal Hendra sambil kembali terkekeh.
“Iiya sih, aku juga kan ngintip, hehehe,” balas Wenti santai.
“Tapi kalau menurut aku, segitu juga udah lumayan sih, Wen. Keliatannya Erlin juga seneng banget dapat tontonan gratis yang menakjubkannya, hehehe,” sambung Hendra sambil kembali menarik sarungnya, memperlihatkan senjata andalannya yang masih berdiri gagah itu pada istrinya.
Sejatinya saat Wenti datang, Hendra berencana masuk ke kamar mandi untuk menuntasakan hasratnya yang bergejolak. Dia benar-benar dihantam gelombang sensasi yang luar biasa saat wanita yang paling diincarnya tadi memandang takjub pada senjata kebanggannya. Bahkan ketika berpura-pura ngigau, hampir saja dia keceplosan memanggil nama Erlin.
“Tapi emang seru juga sih ngeliatin wajah si Erlin yang tegang dan pucat gitu. Mungkin dia juga merasa udah melayang kali ya, hihihi.” Wenti terkikik senang sudah bisa membuat sahabatnya semaput.
Lalu mereka pun tertawa ngakak mengingat momen seru saat untuk pertama kalinya melihat wajah Erlin yang benar-benar aneh seperti kesambet. Namun demikian, pasangan suami istri berakhlaq minum dan aneh itu, masih sedikit kecewa. Awalnya menduga, atau lebih tepatnya berharap Erlin lebih lama di sana, ternyata sang mangsa pergi lebih cepat.
“Berarti aktingku hebat ya, sampai-sampai si Erlin bener-bener datang ke sini, hihihi.” Wenti berucap bangga dan kembali terkikik mengingat panik dan cemasnya wajah Erlin saat pertama dia datang dengan akting menangisnya.
“Nah itu dia. Aku aja gak nyangka kalau dia beneran bakal ke sini. Tadi aku sempat kaget juga, soalnya lagi di dapur. Pas tahu ada Erlin di depan, aku langsung pura-pura tidur di sini. Untung aja senjataku bisa disuruh berdiri dengan cepat, hehehe.” Hendra pun merasa senang dan bangga dengan aksi gilanya.
“Kita kan emang udah terlatih dalam berkonspirasi, hahahaha.” Wenti kembali ngakak. “Pastinya si Erlin bakal kepikiran terus tuh sama punya kamu, Mas.”
”Ya, aku pikir juga begitu. Secara kan senjatanya si Rafael lebih kecil,” timpal Hendra makin bangga dengan dirinya.
“Kecil banget malah, jauh banget kalau dibanding sama punya kamu, Mas!” sergah Wenti menegaskan ukuran senjata Rafael.
“Kecil tapi kamu suka banget kan maininnya?” Hendra mengejek istriya sambil berpura-pura cemberut menahan cemburu.
“Ya, kalau gak ada duitnya mana aku suka, Mas. Udah kecil, gak tahan lama lagi. Mendingan punyanya si Bram atau Kelvin, temannya Rafael itu. Jauh kemana-mana, walau belum bisa ngalahin punya kamu sih, hehehe,” ucap Wenti sambil menyelipkan pijian pada suaminya dan mencium pipinya dengan mesra.
‘Punya kamu kayaknya hanya bisa dikalahkan sama Rizal, anaknya Bu Haji Komar, atau sama punyanya Reza, anak kostnya Bu Mela,” lanjut Wenti dalam hati.
“Kalau ngomongin lagi si Bram sama Kelvin, aku kok jadi penasaran pengen ikutan main bareng sama mereka, hehehe,” desah Hendra seraya memegangi kepala istrinya dan menciuminya dengan sejuta gairah.
“Hmmm, pengen nyoba main berempat ya? Sama dong, hehehe,” ledek Wenti pada suaminya.
“Hooh, tapi aku lebih penasaran pengen segera main sama Erlin. Masa si Rafael udah beberapa kali make kamu, aku belum juga bisa dapetin istrinya? Gak adil itu!” protes Hendra.
“Sabar dong, Sayang, ini kan lagi berproses. Si Erlin kan emang beda orangnya. Kita mesti lebih berhati-hati kalau mau sukses,” terang Wenti.
“Iya sih, kita alon-alon kelakon aja ya. Jangan grusa-grusu kata presiden juga. Sekarang kita bikin dia keleyengan dulu, entar kalau udah gak tahan pasti kan minta sendiri sama aku. Terus ketagihan deh, hahahaha.” Hendra berujar jumawa penuh percaya diri.
“Iya sih. Ya begitulah resikonya menghadapi orang munafik kaya si Erlin. Harus sabar-sabar gimana gitu, heheheh.” Wenti kembali terkekeh.
“Tapi aku yakin, paling lama seminggu lagi juga Erlin udah bisa kita kuasai.” Hendra makin percaya diri.
“Kita harus tunggu dulu info dari Mang Pandi, apakah dia udah bisa ngerayu si Erlin atau belum? Kalau Bi Arsati aku udah males hubungan sama dia, Mas,” keluh Wenti.
“Loh kenapa? Bi Arsati kan mulutnya mengandung mantra aji, justru dia akan lebih bisa andalan daripada Mang Pandi, Sayang.”
“Aku gak suka sama Bi Arsati. Matanya itu loh suka jelalatan gimana gitu kalau liatin slangkangan kamu. Aku suka jadi mules kalau liat nenek-nenek gajen kaya gitu, cuih!” cebik Wenti kasar.
“Cie..cie.. cemburu ni yeeee, hehehe,” goda Hendra, senang.
“Tapi tenang aja, kalau Mang Pandi si tukang sayur itu menyerah, aku sudah nyiapin planing B. Aku yakin untuk yang satu ini, si Erlin gak bakal bisa nolak! Secara kan umpan yang satu ini, kualitas super banget.”
“Hah siapakah dia yang jadi umpannya?” Hendra terbelalak.
“Ada deh, tunggu aja tanggal mainnya.” Wenti tetap berahasia.
“Oke deh, aku sih manut aja sama kamu. Yang penting hasil akhirnya bisa menikmati tubuh Erlin yang kurang mendapatkan kenikmatan dari suaminya. Ya itung-itung ngebantu sahabat aja, hehehehe.”
“Nah, gitu dong, yang penting kan hasil akhirnya sama-sama happy, dapat duit juga kenikmatan yang luar biasa, iya gak Sayang?”
“Yoi! Istriku memang paling waaaar biasaaaah!”
“Pokoknya tunggu aja kejutan berikutnya, pasti lebih seru dan mendebarkan!”
“Ahsyiaaap cantikku…….”
“Aduuuh Maaas, masa siang-siang gini mau juga siiiih, aaaaaah geli aaaah!”
^*^