Karena sudah mendapat uang muka yang lumayan besar dari Reza, Erlin segera pulang untuk merekap semua pesanan yang masuk sebelumnya. Mumpung masih pag , dia berencana langsung survey ke toko grosir langganannya.
Ketika baru saja selesai berdandan, tiba-tiba dia dikejutkan oleh sebuah panggilan masuk pada ponselnya. Nama Rafael tertera di sana dan itu yang membuatnya heran juga ragu untuk mengangkatnya.
Tak pernah sebelumnya Rafael melakukan panggilan suara. Andai pun ada sesuatu yang mendesak paling banter sebatas chat. Dan dengan segudang penasaran akhirnya Erlin menerima panggilan itu.
“Halo Lin, maaf ganggu. Kamu sedang di mana?” Suara Rafael yang sudah dua hari dua malam tidak pulang terdengar agak sedikit gusar dan terburu-buru.
“Di rumah. Ada apa Mas? Tumben nelpon?” balas Erlin datar. Dahinya masih mengernyit dan kedua matanya fokus memandang bayangan dirinya di balik cermin.
“Gini Lin, aku lupa belum ngasih tahu kamu, padahal udah dari kemarin orangnya ngabarin. Kemungkinan hari ini atau besok, kita akan kedatangan tamu istimewa. Rencananya dia mau nginep satu atau dua malam di rumah kita. Tapi masih bisa berubah sih.” Rafael menjawab pertanyaan istrinya dengan sangat pelan dan lembut. Sesuatu yanng juga tak biasa.
Erlin kembali tertegun, menebak-nebak kebenaran ucapan suaminya sekaligus mengira-ngira siapa tamu yang akan menginap di rumahnya itu. “Masih bisa berubah gimana maksudnya, Mas?” tanyanya belum paham dengan ucapan suaminya.
“Gini, sebenarnya dia itu sedang ada kegiatan dari kantornya di salah satu hotel yang gak jauh dengan kantorku. Katanya masih ada waktu dua hari lagi. Nah sisa waktunya itu, dia pengen main ke rumah kita, bahkan kalau kerasan mau nginep. Gimana boleh gak, Lin?” Rafael terdengar sedikit ragu, cemas namun memelas.
“Oh ya udah, terus masalahnya apa?” Erlin makin tidak mengerti dengan ucapan suaminya yang seolah merasa berat dengan rencana temannya yang mau bertamu itu.
“Gini, Lin. Eeeh, eeeh, gimana ya? Aku jadi gak enak nih ngomongnya.” Suara Rafael makin gelagapan.
“Ya, kalau gak enak kasih aja sama kucing, Mas. Terus beli lagi yang enak.” Erlin mencoba melontarkan joke untuk membuat suaminya terenyum atau setidaknya merasa nyaman.
“Heheh, kamu bisa aja. Eh… eh…”
“Mas kamu kenapa sih? Kalau memang gak bisa diomongin di telpon, ya udah nanti aja pulang kerja. Aku mau ke pasar dulu nih!” Erlin menegaskan karena Rafael justru makin tidak jelas bicaranya.
“Eh,, ka..kamu masih ingat gak sama Mas Zidan?” Rafael malah balik bertanya.
“Ingat dikit, teman Mas yang paling baik dan sekarang sudah jadi pejabat itu kan? Yang waktu kita nikah dia jadi pendampingmu kan?” jawab Erlin sambil mencoba menarik kembali ingatannya pada sosok seorang Zidan yang sudah cukup lama tidak bertemu.
“Betul, ternyata ingatanmu sangat panjang, Lin, hehehe.” Rafael terdengar mulai nyaman bicaranya.
“Orang baik itu akan sangat mudah diingat oleh siapa pun, Mas. Lantas kenapa dengan Mas Zidan, mau nginep ya nginep aja, kamar kan ada yang kosong. Kayaknya ada sesuatu yang mencurigakan deh!” seloroh Erlin tanpa tedeng aling-aling.
“i…i. iya sih, tap..tapi…” Rafael yang merasa sedikit tersindir, kembali gelagapan. Sementara Erlin makin penasaran dengan kepanikan suaminya yang bena-benar mencurigakan.
“Mas, kalau memang gak ada yang perlu dibicarain lagi, aku tutup ya. Soalnya mau ke pasar, udah keburur siang nih!” Erlin kembali mengultimatum.
“Eh, jangan dulu, Lin. I..iya aku jelasin. Jadi Gini, Mas Zidan itu mau ngasih modal buat kamu, katanya sih sepuluh juta.” Raafael akhirnya bisa mengelurakan sesuatu yang membuatnya sulit bicara.
“Hah, ngasih modal buat apaan?” Kini Erlin yang tersentak.
“Ya buat tambah modal usaha kreditan kamu.”
“Tidak mau!” pungkas Erlin ketus.
“Loh kenapa, Lin?” Rafael pun ikut tersentak.
“Maksudku kalau mau nginep ya silakan, tapi tidak ada acara memberi bantuan modal segala. Usahaku masih kecil takut gagal atau gak bisa ngembaliinnya.”
“Loh, ini bantuannya ngasih murni, bukan pinjaman yang harus diembalikan, Lin. Jabatannya Mas Zidan sekarang udah makin tinggi, bentar lagi jadi direktur, jadi aku rasa uang segitu mah cingcay buat dia sih.”
“Ya syukurlah kalau Mas Zidan sudah lebih maju. Tapi aku tetap tidak mau. Kalau kamu butuh uang itu ambil aja. Mungkin kamu juga mau buka usaha sampingan biar gak usah keluyuran gak jelas tiap malam!” tolak Erlin semakin menohok dan tegas.
“Eh Lin, dengerin dulu! Ta..tapi dia hanya mau ngasihnya sama kamu, buk..bukan sama a..a…”
“Tidak! sekali lagi aku tidak mau, titik!” pungkas Erlin sambil memutus sambungan teleponnya.
Erlin mengambil keputusan tegas menolak, karena sudah bisa menebak apa rencanakan yang ada di otak suaminya. Rafael telah menjual nama dan usaha Erlin untuk mendapat belas kasihan dari Zidan. Erlin sangat yalkin uang itu hanya akan dipakai berpoya-poya oleh suaminya.
Walau hanya sekilas, Erlin sudah sering mendengar cerita tentang kebaikan dan kehebatan seorang Zidan dari Rafael sendiri. Dan untuk itulah, Erlin tidak ingin memberikan kesempatan pada lelaki berstatus suaminya itu untuk memanfaatkan kebaikan Zidan.
Erlin menghela napas panjang. Lalu tersenyum puas karena sudah bisa melangkah lebih baik. Berani menolak bahkan melawan kesewang-wenangan suaminya yang penuh tipu muslihat sungguh sebuah pencapaian yang luar biasa baginya.
Dor.. Dor… Dor….!
"Erliiiiiin! Assalamualaikum, Erlin." Teriakan salam yang mengiringi gedoran pintu sontak membuyarkan lamunan Erlin di depan kaca riasnya.
"Lin, Erliiin, ini aku, Wenti, Liiiin!" Teriakan Wenti makin tak sabar hingga membuat Erlin harus sedikit berlari menuju pintunya.
"Iya sebentar, Mbak!" jawab Erlin sesaat sebelum mencapi gagang pintunya.
“Erliiiiin!” Tiba-tiba Wenti berseru saat pintu sudah terbuka. Dia menghambur ke dalam dalam pelukan Erlin yang tergagap kaget, bahkan hampir terjengkang karena hilang keseimbangan.
"Waalaikumsalam. Ada apa Mbak, kok nangis gini amat sih? Kebiasaan deh! Ada apa siang-saiang udah nangis kaya Denise aja!" Erlin bicara agak kesal karena jantungnya hampir saja copot.
Erlin yang masih terkaget-kaget berusaha menenangkan dirinya juga sahabatnya. Namun Wenti tak peduli. Dia terus menangis sambil memeluk Erlin yang masih berdiri kaku di ruang tamu.
"Mbak, kalau kamu nangis terus, aku gak tahu kamu kenapa? Berhenti dulu nangisnya, lalu ceritain ada apa?” ucap Erlin setelah mengajak Wenti duduk di sofa ruang tengah. Erlin pun membantu menghapus air matanya yang bercucuran.
"Mas Hendra Lin, Mas Hendra!" teriak Wenti yang kembali diiringi tangisnya.
“Iya kenapa dengan suamimu, Mbak?” tanya Erlin dengan sikap yang ditenang-tenangkan, jantungnya tetap dag-dig-dug walau kejadian seperti ini bukan yang pertama.
"Mas Hendra selingkuh, Lin. Tapi dia mengelak, malah marah-marah sampai mau menampar aku saat aku tanya. Aku mau dipukulnya. Aku takut, Lin!" Wenti menjelaskan duduk perkaranya sambil meningkatkan kualitas tangisnya jadi raungan seperti bocah.
"Hmm, ya udah berhenti dulu nangisnya, lalu ceritakan semuanya, oke?" bujuk Erlin sambil balas memeluk Wenti yang sesenggukan seolah terluka parah.
Beberapa menit kemudian, tangis Wenti reda hilang entah kemana. Lalu dia menceritakan tanda-tanda keberadaan wanita idaman lain dalam hati suaminya. Setelah mendengar semuanya, Erlin meminta Wenti untuk lebih tenang, sabar dan tidak suudzon menghadapi suaminya yang memiliki watak keras.
"Iya Lin, aku ngerti kok, mungkin aku terlalu cemburuan hingga membuat Mas Hendra kurang nyaman dan mudah tersinggung." Wenti akhirnya menyadari kesalahannya setelah mendapat banyak nasihat bijak dari Erlin.
"Nanti aku bantu bicara lagi sama Mas Hendra ya, Mbak," hibur Erlin.
Erlin sudah akrab dengan Hendra. Lelaki asli kelahiran Bandung itu wataknya memang sedikit keras dan mudah terpancing emosinya. Namun demikian dia juga sosok yang sangat ramah dan lembut, jika bisa membeli hatinya.
Walau menurut Wenti masa muda Hendra terbilang sangat mengerikan bahkan pernah telibat dalam beberapa kegiatan kriminal, namun keburu insyaf sebelum terciduk atau mendapat ganjaran masuk penjara.
Bukan hanya sekali Erlin menjadi juru damai peperangan antara Wenti dengan suaminya. Sejauh ini Hendra yang usianya jauh lebih tua darinya, selalu menuruti saran dan nasihat Erlin. Bahkan Erlin merasa lebih nyaman berdiskusi atau ngobrol dengan Hendra, dibanding dengan suaminya.
Di mata Erlin justru Wenti yang terkadang sangat berlebihan. Seharusnya Hendra yang cemburuan, karena Wenti memang angat genit dan terkesan nakal di belakang suaminya. Gosip miring tentangnya masih sering terdengar. Namun Wenti cukup lihai menepis semua rumor itu.
Erlin nyaris tidak pernah menceritakan problem dan aib rumah tangganya pada siapapun, tidak terkecuali pada Wenti. Walau mereka bersahabat, namun sejatinya Erlin belum terlalu mengenal siapa sesungguhnya Wenti dan latar belang kehidupannya.
Itulah salah satu kelebihan Erlin, sangat pandai menyembunyikan semua problem dan duka rumah tangganya. Siapapun yang memandangnya dari luar, tidak akan menduga jika dalam rumah tanggnya justru tersimpan bom waktu yang kapan saja bisa meledak dan meluluh lantakkan segalanya.
“Makasih ya, Lin. Kamu selalu menjadi yang terbaik buat aku. Aneh ya, padahal aku lebih dulu berumah tangga dibanding kamu, tapi masih aja terjadi kekisruhan gak kaya rumah kalian yang adem-ayem,” ucap Wenti sambil tersenyum dan tetap memeluk Erlin dengan tawa geli di hatinya.
“Lama atau sebentar berrumah tangga, bukan jaminan tidak ada konfliks atau salah paham, Mbak. Namanya juga menyatukan dua hati dan karakter yang berbeda, apalagi kalian sudah ada Denise, makin banyak yang harus disatukannya. Jadi wajar kalau masih banyak kekisruhan.”
“Aku sangat beruntung punya sahabat seperti kamu, Lin," ucap Wenti yang dibalas dengan senyuman menyejukan oleh Erlin.
“Aku senang kita masih bisa saling bantu, Mbak. Apalagi aku sudah gak punya siapa-siapa di dunia ini. Kalau bukan sama suami, teman atau tetangga, mau dengan siapa lagi aku berbagi?" ucap Erlin sedikit lirih, menyadari nasib dirinya yang mengenaskan hidup seperti sebatang kara.
“Iya sih, tapi menurut Mas Rafael, dulunya kamu kan anak orang kaya, jadi udah pernah hidup senang dong. Nah aku dari kecil begini-begini aja, Lin. Udah maskin ribut aja lagi, hehehe.” Wenti terkekeh pura-pura mentertawakan dirinya sendiri.
“Aku gak pernah jadi orang kaya, Mbak. Yang tajir itu ibu mertuaku.”
“Ya sama aja, kamu kan juga menantunya, Lin.”
“Itukan hanya prasangka baik orang saja Mbak. Tapi syukurlah daripada dianggap orang susah.”
Dan kegaduhan tangis Wenti, pun telah berganti menjadi canda tawa untuk selanjutnya.
^*^