"Gue serba salah banget ya, Kev?" tanya Nada tiba-tiba yang membuat sang sahabat yang tengah sibuk menyantap makanan di depannya itu tersedak.
"Lo kalo mau ngomong kasih aba-aba dulu, Nad. Kaget gue!"
"Ya elah segitu doang." Nada mencebik. "Gue kayaknya emang labil, deh."
"Dan lo baru nyadar sekarang? Hmmm sangat disayangkan." decak Kevand.
"Serius dulu, bisa?"
"Ya udah oke. Kenapa lagi, nih?"
"Lo tau kan kalo gue diputusin Iel? Tapi gue masih penasaran sama kabar dia. Terus, pas dia ngabarin, gue malah kesel. Kayak, ngapain sih lo sok ngabarin gue? Kita kan udah putus. Gitu."
Kevand menelan makanannya terlebih dahulu sebelum memberikan respon pada perkataan Nada.
"Emang sejak kapan lo nggak aneh, Nad? Tapi, kapan Iel ngabarin lo, deh?"
"Tadi. Dia bilang ada jadwal terapi. Ya udah, emang gue peduli sama dia? Nggak, kan?"
"Iya. Lo nggak peduli sama sekali, Nad. Sampe ngelirik mulu ke bangku dia." balas Kevand kesal.
Sepertinya, Kevand harus menambah stok kesabarannya kalau sedang bersama Nada. Pasalnya, ada saja yang membuatnya terkejut.
"Jadi gue harus gimana?"
"Kok malah nanya gue. Ya lo sendiri maunya apa, Nad. Kan lo yang ngerasain sendiri."
"Ya elah. Lo tidak memberi solusi sama sekali, deh." Nada beranjak dari duduknya. Hendak pergi dari halaman rumah Kevand yang sejak pulang sekolah mereka berada di sana.
Hal itu tentu membuat Kevand mengernyit heran. Apa yang sebenarnya Nada inginkan? Toh, ia juga tidak tahu apa yang Nada inginkan.
"Gue mau balik!" bentak Nada.
"Ya udah." Kevand menanggapinya dengan santai. Ia tidak tahu kalau Nada semakin kesal karena ucapannya.
"Ish dasar Kevand nyebelin!"
"Lah? Salah gue lagi?"
Nada masih terus marah-marah sepanjang perjalanan menuju rumahnya. Entah kenapa, perasaannya tidak nyaman sama sekali.
"Kenapa sih orang-orang harus nyebelin banget?"
Nada menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur tanpa berganti pakaian terlebih dahulu. Kalau ibunya melihat, ia pasti akan mendapat ceramah panjang karena seragamnya akan kusut dan tempat tidurnya juga kotor.
Tetapi, karena ia di rumah sendiri, jadi ia bebas. Asal tidak sampai orang tuanya pulang saja ia masih seperti ini.
"Ini siapa lagi yang telepon?" ucap Nada jengkel karena ponselnya tak berhenti berbunyi.
"Lah? Ngapain dia?"
Entah angin dari mana, Nada malah mengangkat panggilan tersebut.
"Hallo, Nad." Terdengar suara yang mengalun lembut dari seberang sana.
"Iya, kenapa?" tanya Nada sebal.
"Kamu di rumah, kan?"
"Ya iya. Gue kan punya rumah. Masa di jalanan!"
Kali ini, Nada sudah menggunakan 'lo-gue'. Bukan lagi 'aku-kamu' seperti biasanya.
"Coba keluar, deh."
"Nggak. Gue mager! Ngapain?"
"Lho, kasian abang ojolnya nunggu. Atau di rumah ada siapa?"
Mau tidak mau, Nada bangkit dari tempat tidurnya setelah mengetahui kalau bukan Iel yang ada di depan rumahnya. Ah iya, Nada lupa kalau Iel bahkan tidak masuk sekolah hari ini. Tidak mungkin juga mantan kekasihnya itu datang ke rumahnya. Karena Nada memang tidak tega setelah mendengar pengemudi ojek online yang ada di depan rumahnya, Nada segera keluar untuk menemuinya.
"Dengan Mbak Nada?"
"Iya, Pak. Saya sendiri."
Pria paruh baya dengan seragam khas itu memberikan sebuah kantung yang cukup besar kepada Nada. Tanpa banyak bertanya, Nada segera mengambilnya dan masuk ke dalam rumah. Karena, orang yang harus ia berikan banyak pertanyaan adalah Iel.
"Maksud lo apa ngirim gue makanan sebanyak ini? Gue nggak mau berhutang, ya." Nada sedikit berteriak via telepon.
Terdengar kekehan Iel di seberang sana yang membuat Nada semakin jengkel dibuatnya.
"Aku cuma nggak mau kamu telat makan. Dimakan ya, Nad. Jangan banyak pikiran. Aku, em, gue minta maaf, ya."
"Dih, lo kira gue cemen banget sampe nggak mau makan? Tapi ya udah makasih. Kalo lo mau gue bayar, bilang aja. Ntar gue transfer. Minta dulu mama tapi."
Iel lagi-lagi terkekeh mendengar suara Nada yang begitu ketus tetapi malah terdengar sangat lucu.
"Ya udah, gue tutup ya, Nad. Selamat makan."
Nada menatap makanan yang kini sudah ada di hadapannya. Ia kesal pada Iel. Tetapi, ia menerima makanan yang lelaki itu berikan. Nada kembali jengkel saat membayangkan siapa yang akan menghabiskan semua makanan ini?
Ada beberapa potong ayam, beberapa hamburger, camilan, juga minuman yang Nada pikir ini bisa dibagikan pada banyak orang. Apa Iel berniat membuatnya gemuk? Lalu, setelah itu mantan kekasihnya akan mengolok-oloknya karena itu.
Nada dengan segala pikirannya yang terlalu berlebihan memang agak sulit dikendalikan.
"Misi paket!"
Teriakan dari luar rumahnya membuat Nada mengernyit. Iel mengirim apa lagi untuknya? Tetapi, kalau memang kurir, akan menekan bel di luar gerbang rumahnya. Ini malah mengetuk pintu rumahnya.
Setelah Nada ingat siapa itu, ia hanya mencebik. Kevand sedang mengerjainya.
"Mbak, paket!"
"Bodo amat!" balas Nada.
Kevand dengan cengiran khasnya lalu masuk ke rumah Nada.
"Ngapain lo?" tanya Nada galak.
"Gue liat-liat ada banyak makanan, tuh."
Tanpa menghiraukan pertanyaan Nada, Kevand malah menatap penuh minat pada makanan yang ada di atas meja.
"Tega banget lo, Nad. Pesta nggak ngajak gue. Emang lo bisa ngabisin ini semua sendiri?"
"Banyak omong, lo. Mana mungkin gue beli makanan sebanyak ini? Yang ada gue kena omel mama karena nggak bakal kemakan semua."
"Nah itu. Terus?"
"Dikasih Iel."
Jawaban Nada membuat Kevand tersedak ludahnya sendiri.
"Kok bisa?"
"Ya bisa. Ini buktinya. Lo gimana, sih?"
"Maksud gue, kenapa dia begini?"
"Kagak tau! Tiba-tiba dia telepon terus ada yang ngirim ini."
"Oh, abang yang tadi, ya?"
"Hmm... Kata lo ini ada guna-gunanya ngga, Kev?"
Pertanyaan Nada membuat Kevand tertawa kencang. Bisa-bisanya Nada menanyakan hal seperti itu.
"Ini udah zaman apaan, Nad? Si Iel juga males buanh-buang waktu buat hal kayak gitu. Nad, lo kalo ada pikiran aneh-aneh mending cepet buang, deh. Takutnya malah makin nggak bener ntar nya."
"Iye, bawel. Udah ayo lo mau makan, gak? Mumpung gratisan, ini."
"Gue kira lo masih ngambek sama gue."
"Kapan gue ngambek sama lo?"
Kevand hanya bisa menggeleng pasrah karena Nada ternyata tidak ingat sama sekali kalau sebelum ini, gadis itu pulang karena merajuk.
Siapa sangka, kalau makanan yang Nada pikir terlalu banyak itu akhirnya bisa dihabiskan oleh mereka berdua. Meski akhirnya mereka hanya bisa duduk karena terlalu kenyang.
"Ini kita bisa nggak makan sampe lusa."
"Hiperbola lo, Nad. Awas aja kalo ntar malem ngerengek minta jajan!"
Seperti apa yang terjadi beberapa jam yang lalu, perasaan Nada memang cepat sekali berubah. Seperti saat ini, gadis itu sudah memaki ponselnya dan hampir melempar benda pipih tersebut.
"Ada apa sih, Nad? Udah kenyang juga masih aja." Kevand tak habis pikir.
"Ya lo liat aja ini. Dia ikhlas nggak sih ngasih gue?"
Kevand menerima ponsel Nada dan membaca pesan yang Nada tunjukkan itu. Lalu, ia merasa terkejut karena sebenarnya tak ada yang aneh sama sekali.
Iel :
Udah dimakan, Nad?
"Gitu doang terus lo marah? Emang kagak jelas nih anak. Gue balik, ya. Makasih Nada, atas makanan gratisnya."
Sebelum mendapat amukan yang lebih banyak dari ini, Kevand memilih untuk pulang saja. Nada mode seperti ini akan sangat susah untuk dituruti apa maunya.
"KEVAAAND!"
***
Hari ini, Kevand masih berjaga-jaga tentang perasaan Nada. Lelaki itu juga memilih mengendarai mobil karena bisa saja Nada mengeluh banyak hal. Dan ternyata benar saja.
"Gue lagi datang bulan, Kev. Lo bawa mobilnya pelan aja, ya. Apalagi kalo ada lubang atau polisi tidur. Sakit banget perut gue."
"Kok lo nggak bilang dari tadi, sih? Harusnya, lo bilang aja biar nggak usah masuk hari ini."
"Mana bisa? Hari ini kan ada ulangan harian. Males banget gue harus ulangan sendirian di ruang guru."
"Ya udah. Tapi kalo lo nggak kuat, bilang aja. Ntar izin."
"Iya, bawel!"
Sebenarnya, Nada memang terpaksa masuk sekolah hari ini. Perutnya diajak berkompromi sebentar saja. Karena, ulangan harian di pelajaran pertama. Setelah itu, ia mungkin akan izin tidak mengikuti pelajaran selanjutnya.
"Lho, Nad. Kenapa?"
Nada yang baru masuk ke kelas itu menatap tajam ke arah Iel yang tidak biasanya bertanya. Kevand yang berjalan di belakang Nada memberikan kode agar mantan kekasih Nada itu diam saja atau akan tahu akibatnya.
"Lagi datang bulan." Kevand memberikan kata-kata tanpa suara kepada Iel yang langsung diangguki oleh lelaki itu.
"Nad, kalo lo--"
"Kevand, lo bisa diem, gak? Gue nggak kenapa-kenapa kalo nggak ditanya mulu!" Nada memotong perkataan sang sahabat.
"Oke."
Pelajaran pertama berjalan cukup lancar. Nada mengerjakan semua soal ulangannya meski harus menahan rasa sakit di perutnya yang terus menyiksa.
"Mau ke UKS gak, Nad? Atau mau pulang aja?" tanya Kevand akhirnya.
Siapa yang tega melihat wajah Nada yang mulai pucat seperti itu?
"Ke UKS boleh, deh. Kalo pulang nggak. Gue nggak kuat di jalannya."
Setelah izin, Kevand mengantar Nada ke UKS. Pemandangan tersebut tak luput dari pandangan Iel yang sebenarnya ingin menawarkan diri tapi takut Nada tolak.
"Nah, lo istirahat aja dulu di sini. Minta teh anget sama petugas. Ntar, lo telepon gue aja kalo misal mau balik."
Kevand meninggalkan Nada sendiri karena tidak ingin tertinggal mata pelajaran selanjutnya. Nada hanya mengantuk sebagai jawaban.
Nada sebenernya kesal dengan kebiasaan di hari pertama datang bulannya yang menyiksa seperti ini. Segala aktivitasnya akan terhambat.
"Nyebelin banget sumpah. Itu lagi tadi Iel kenapa, sih? Sok-sokan nanya segala. Pas pacaran aja dia sok cuek banget. Dasar cowok nggak jelas!" gumam Nada.
Untung saja, hari itu di UKS hanya ada dirinya. Jadi, tidak masalah kalau ia mengomel. Melampiaskan segala kekesalan yang ia rasakan saat ini.
Bosan, bosan. Itu yang Nada rasakan di menit ke tiga puluh dirinya berada di UKS. Tak ada teman bicara dan hanya duduk lalu kembali berbaring. Ia juga tidak berminat bermain ponsel. Tetapi, kembali ke kelas sepertinya bukan ide bagus. Karena, ia tidak nyaman duduk terlalu lama. Bisa-bisa, perutnya kembali kram hebat.
"Ngapain lagi, ya?"
Nada akhirnya membuka ponselnya. Melihat-lihat isi sosial medianya meski tak ada yang menarik sama sekali. Akhirnya, Nada menyimpannya kembali. Ia harus menahan bosan sampai waktu istirahat tiba. Karena, setelah itu Kevand pasti akan menemuinya lagi.
"Udah enakan, Nad?"
Pintu UKS yang terhalang tirai itu membuat Nada tidak bisa melihat siapa yang masuk. Tetapi, ia tahu kalau ini bukan suara Kevand. Nada memutar bola matanya malas.
"Udah enakan?" tanya Iel lagi. Sekarang, lelaki itu sudah berdiri tepat di samping tempat tidur Nada.
"Lumayan." balas Nada singkat.
"Makan dulu." Iel memberikan satu buah roti yang sudah dibukanya. Juga s**u kotak yang sudah siap Nada minum.
"Kevand mana?" Nada tak lantas menerima roti dari Iel dan malah menanyakan sahabatnya yang setelah ini akan Nada maki-maki karena membiarkan Iel menemuinya. Hanya berdua saja. Catat, hanya berdua.
"Kevand disuruh nganterin buku paket ke perpus. Kasian juga dia biar istirahat dulu."
Nada hanya mengangguk sebagai jawaban. Jujur, Nada masih belum bisa mengontrol detak jantungnya kalau berada di dekat Iel. Oleh karena itu, Nada merasa tidak seharusnya ia berdekatan dengan Iel atau lelaki itu akan sadar dengan semua kegugupannya.
"Makan dulu, Nad. Jangan sampai lo sakit perut lagi karena maag."
Baik, Nada cukup terkesan karena Iel ingat kalau ia tidak bisa telat makan. Tetapi, ini seharusnya tidak membuatnya terbuai. Ini ujian orang yang baru saja putus, bukan?
"Thanks." Nada menerima roti dan s**u yang Iel berikan.
Tetapi, Nada cukup risih karena Iel tak berhenti menatapnya. Hampir saja Nada tersedak kalau ia tidak cepat-cepat minum.
"Ngapain lo liatin gue kayak gitu?" tanya Nada galak.
"Nggak, kok. Pelan-pelan makannya."
"Gue risih lo liatin kayak gitu!"
"Risih atau gugup, nih?"
Bisa-bisanya Iel masih menggoda Nada di status mereka yang sudah bukan sepasang kekasih lagi.
"Berisik, lo! Mending keluar sana!"
"Oke, sorry. Nad, gue beneran minta maaf, ya."
"Gue udah maafin lo." balas Nada cepat. Ia tidak ingin memperpanjang segala masalah di antara mereka.
Meski tak sesederhana itu, tapi Nada hanya akan menyimpan cerita ini sebagai kenangan masa SMA. Tidak untung dijadikan masalah yang berlarut-larut.
"Buat semua kata-k********r yang pernah gue ucapin, gue beneran nyesel, Nad. Lo sebaik itu dan gue--"
"Udah, nggak usah diperpanjang. Gue nggak mau inget-inget lagi, kok. Tinggalin semua yang buruk di belakang." potong Nada.
Iel mengangguk kaku mendengar penuturan Nada. Sebenarnya, ia cukup terkejut dengan respon yang diberikan oleh Nada. Karena, yang ia tahu Nada selalu menggebu-gebu akan sesuatu.
Sepertinya, kekhawatiran Iel tentang Nada yang menangis saat mereka mengakhiri hubungan itu harusnya bukan menjadi hal yang terlalu ia khawatirkan.
"Sekali lagi gue minta maaf, Nad. Gue emang bersalah banget di sini."
Nada membuang napasnya kasar. Iel mengatakan dirinya bersalah tapi tak juga membicarakan masalah perselingkuhannya. Oh, atau hanya sekedar membahas dan mengatakan kalau itu hanya salah paham atau entah apalah itu. Nada ingin mendengarnya langsung. Tetapi, Iel tidak membahasnya sama sekali.
"Nanti, pulang bareng gue, ya."
Setelah itu, Iel meninggalkan Nada yang bahkan belum menolak atau menerima ajakannya.
"Dasar nyebelin!"