Dokter Ganteng

2092 Words
Pagi ini Hafiza di rumah sakit sendirian. Nico dan Tari sudah tidak bisa menunggu Hafiza di rumah sakit. Nico yang masa liburnya sudah habis, ia harus kembali bekerja di luar kota, sedangkan Tari tidak bisa mengambil cuti lama-lama, karena kantor tempatnya bekerja masih dalam naungan negara, jadi ia tidak bisa mengambil cuti seenaknya.     Jenuh dengan aktivitasnya yang hanya rebahan dan rebahan, Hafiza iseng-iseng membuka HP-nya. Hafiza menyalakan sambungan internet yang sengaja dimatikan beberapa hari yang lalu.    w******p*    307 pesan dari 53 chat belum dibaca.    Hafiza men-scroll satu per satu room chat. Rata-rata, semua chat berasal dari teman-teman sekelasnya. Ya, Hafiza memang masih kelas 3 SMA, dan sekarang, ia terpaksa harus bolos sekolah.    Tiba-tiba, dering telepon terdengar nyaring di penjuru ruangan. Satu panggilan masuk terpampang jelas di layar ponsel.    Pada dering ke tiga, Hafiza buru-buru menekan tombol hijau, setelah melihat nama Tari yang tertera di sana.    Begitu sambungan terhubung, Tari langsung bertanya perihal kondisi adiknya. “Assalamualaikum. Gimana kondisi kamu, Dek? Ada yang sakit?”    “wa’alaikumussalam, Mbak Tari. Fiza gak papa. Alhamdulillah, udah lebih enakan daripada kemarin.” Sesekali, Hafiza mengedarkan pandanganya pada ruangan yang tampak membosankan. Sebenarnya, ia tidak baik-baik saja, karena kejenuhan menyelimuti perasaannya.     Terdengar tarikan napas lega dari ujung telepon. “Syukurlah kalau begitu. Emmm ... Mbak minta maaf ya, Fiza. Sepertinya, Mbak gak bisa jenguk kamu nanti siang. Mbak baru bisa jenguk kamu nanti sore. Gak papa, kan?”    Ekspresi Hafiza tampak murung, namun ia mencoba memaksakan senyumnya, seolah meyakinkan diri kalau dirinya tidak boleh egois. “Nggak papa, Mbak, santai aja.”    “Apa Mbak minta tolong tetangga aja kali ya, buat jaga kamu? Entar Mbak bayar, biar ada yang temenin kamu di sana. Mbak bener-bener gak bisa keluar kantor, Dek. Mbak kerja di kantor milik negara, jadi Mbak gak bisa keluar masuk seenaknya.”    Hafiza menghela napas. “Iya, Fiza paham, kok. Mbak gak perlu repot-repot bayar tetangga juga. Hafiza sendiri aja di sini. Nanti kalau ada apa-apa, Hafiza minta bantuan sama susternya. Mbak Tari gak usah pikirin Fiza ya? Fiza aman di sini.”    “Hemmm ... ya sudah, kalau itu mau kamu. Nanti kalau perlu apa-apa, langsung kabarin Mbak, ya? Oke, manis?”    “Siap, Ibu Negara.”    Terdengar kekehan kecil dari sambungan telepon. “Pinter! Muah ...”     Hafiza tergelitik geli mendengarnya. “Dih, dih, cium-cium. Jijay deh dengernya,” sewot Hafiza dengan raut seperti orang ingin muntah. Namun, percuma saja, kakaknya tidak akan tahu bagaimana ekspresinya saat ini.    “Gini, nih, kalau jomblo kurang belaian.” Suara ledekan yang terdengar di seberang telepon membuat Hafiza memutar bola matanya.    “Kayak sendirinya gak jomblo aja, pakek ngatain orang!” tukas Hafiza. Gelak tawa Tari menggema.    “Gak usah ketawa! Bentar lagi kayaknya ada visit dokter deh, mau dandan dulu lah. Siapa tau dokternya cogan, ya, ‘kan?” pungkas Hafiza agar mbaknya juga bisa fokus bekerja.    “Dih! Sakit juga masih aja ngarep cogan. Semoga aja dokternya jenggotan, mampushh kau!” nada bicara Tari sedikit sewot. Bisa-bisanya dalam keadaan seperti itu, Hafiza masih sempat memikirkan cogan.    “Parah! Doanya jelek banget dah. Kerja sono, kerja! Jangan main HP mulu, biar gak makan gaji buta,” sahut Hafiza cepat.    “Emang gaji ada mata? Dari mana kamu tahu kalau buta? Harusnya, Mbak yang bilang itu ke kamu, Adek!!! Sakit juga, main HP mulu. Istirahat, sana. Mbak mau lanjut kerja lagi. Assalamualaikum.”    “Iyeee ... aku juga mau lanjut rebahan lagi. Semangat kerjanya. Waalaikumussalam.”    Setelah perdebatan panjang itu, akhirnya sambungan telepon terputus.    Hafiza kembali mematikan sambungan internetnya, menghiraukan pesan chat dari teman-temanya yang berkali-kali menanyakan kabar Hafiza.    Merasa suntuk, Hafiza bangun dari ranjang tidurnya. Mengambil infus yang menggantung di tiang, lalu berjalan menuju jendela yang ada di kamar rawatnya. Beruntung, jendela itu menghadap ke arah jalan, sehingga Hafiza bisa melihat lalu lalang kendaraan.    Tebakan Hafiza sangat tepat. Tak lama setelah Hafiza memandangi jalanan, dokter masuk untuk melakukan  visit pasien.    Pria tampan ber-jas putih itu berjalan masuk setelah membuka pintu kamar inap Hafiza. Namun, Hafiza yang tak menyadari kehadiran sang dokter, ia pun menghiraukan ketukan pintu yang sempat dokter lakukan. Hafiza masih belum sadar kalau laki-laki ber-name tag Allan Mahendra sudah berdiri di belakangnya. Hafiza terlalu fokus memandangi langit yang masih sangat cerah, memancarkan guratan senyum sang mentari yang mempesona.    “Ekhem!” Allan berdehem keras, agar pasiennya bisa menyadari keberadaan dirinya.    Hafiza pun terlonjak kaget. “Astaghfirullah,” ujarnya sembari membalik badan menuju sumber suara.    “Selamat pagi,” sapa Allan pada Hafiza. Allan menyengir dengan senyum khasnya, setelah melihat ekpresi Hafiza yang masih terkejut.    “Pagi juga, Pak Dokter. Maaf, saya tidak menyadari keberadaan Dokter di sini,” ujar Hafiza malu-malu. Sungguh, ia merasa tak enak dengan dokter barunya.   “Gimana kondisinya? Ada keluhan?” tanya Allan layaknya dokter pada pasien.    “Alhamdulillah, baik. Ngomong-ngomong Dokter Bambang ke mana? Pak Dokter gak salah visit pasien, ‘kan?” tanya Hafiza saat menyadari jika bukan Dokter Bambang yang memeriksanya.    “Enggak, saya memang dokter kamu sekarang. Dokter Bambang sedang pindah tugas di luar pulau. Jadi, saya yang gantikan posisi Beliau buat pantau kondisi kamu. Kamu tenang saja, saya bukan dokter umum, kok. Saya sama seperti Dokter Bambang. Saya dokter spesialis penyakit dalam, meski usia saya masih terbilang cukup muda untuk menyandang gelar itu, tapi saya akan memberikan yang terbaik untuk pasien-pasien saya.”    “Oh ... masih mudah banget.” Hanya itu jawaban yang terlontar dari mulut Hafiza.    “Ya, begitulah. Ini kelihatannya, udah sehat banget ya, kamu? Bisa keluyuran dari ranjangnya gini, hem ...?” Allan menaikkan alisnya. Langka sekali melihat pasien perempuan yang bisa keluyuran dari ranjang sendirian tanpa bantuan siapa pun. Biasanya, dirinya hanya akan menemukan pasien manja yang akan terus mengeluh, saat dirinya sedang melakukan kunjungan.    Tak kunjung mendapat jawaban dari pasiennya, Allan menanikkan satu alisnya. “Kenapa gak jawab?” tandasnya begitu melihat Hafiza yang tampak salah tingkah.    “Ehehe ... habisnya saya suntuk banget, Pak. Masak rebahan mulu? Kan capek! Gak ada temen, main HP juga bosen, kan jadi pengen nyanyi,” keluh Hafiza. Ia tumpahkan semua gejolak unek-unek yang tertahan di hati pada dokter barunya.    Allan menautkan alisnya. Pasiennya yang satu ini memang beda dari yang lain. “Nyanyi apa?”    Hafiza berdehem, mengetes suaranya. “Kini, sendiri di sini, mencarimu, tak tahu di mana ....” dengan percaya dirinya, ia bernyanyi seolah di depan panggung. “Semoga-” Ia langsung menghentikan aksi bernyanyinya, saat sadar dengan apa yang baru saja dia lakukan. Ekspresinya tampak menggemaskan.    Tanpa sadar, Allan menyunggingkan senyumnya. “Kok berhenti?”    Hafiza tersipu malu. “Sebenarnya, ini lagi bahas apa ya? kok tiba-tiba jadi nyanyi? Ah! Pak Dokter sih, mancing-mancing!” gerutu Hafiza untuk menutupi rasa malunya.    kekehan kecil terdengar dari bibir Allan.    “gak usah ketawa!” tukas Hafiza cepat.    Bukannya berhenti tertawa, Allan malah semakin terbahak. “Hahaha ... kamu tuh ya, masih pagi sudah ngelawak. Memang keluarga kamu ke mana? Kok sendirian? Gak ada yang jaga lagi.”    Hafiza menghembuskan napas kasar. “Ya elah, Pak. Siapa juga yang ngelawak?! Gak punya bakat jadi pelawak hemmm ... lagian, kalau saya ada yang jaga, itu namanya gak sendiri. Soal kenapa saya di sini sendiri, ada dua jawaban, Pak. Pak Dokter mau jawaban yang mana dulu?” Cuman Hafiza yang bisa begini. Ditanya malah balik nanya.    “Terserah kamu saja. Sebahagiamu lah, saya dengarkan apapun jawabannya,” Allan sudah bersiap untuk menyimak. Entah mengapa, dirinya begitu tertarik mendengar kisah gadis ini.    Hafiza terdiam sejenak. “Oke, yang pertama, saya sendiri di sini karena jomblo. Yang kedua, karena keluarga saya pada jauh, Pak,” tutur Hafiza.    “O, gitu? By the way jangan panggil saya ‘Bapak’ dong, memangnya saya sudah terlihat seperti Bapak-Bapak ya? dari tadi panggil gitu mulu. Saya masih muda loh,” protes Allan tak terima. Seorang Allan Mahendra yang tampan bin menawan dipanggil Bapak? Ya wajar lah, Allan protes.    “Lah, emang Pak Dokter mau dipanggil apa?” tanya Hafiza bingung. Ia pun  menggaruk rambutya yang tak gatal.      “Terserah kamu. Panggil sayang juga boleh,” goda Allan jahil.    “Nggak, ah, takut! Entar udah nyaman, terus ngilang lagi. Kan sakit kalau ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. Eakkk.” Terdengar gelak tawa Hafiza yang terlihat begitu asyik, tanpa sadar membuat Allan ikut tersenyum. Senyum yang luar biasa menawan.    “Dasar tukang bucin!” sergah Allan begitu Hafiza menghentikan tawanya.    “Bucin boleh, bodoh jangan! Semboyan masa depan tuh,”dalih Hafiza membela diri.    “Suka-suka kamu lah. Oh iya, orang tua kamu ke mana? Kok gak ada yang jagain kamu sama sekali?” tanya Allan penasaran.    Hafiza terdiam sejenak. “Emmm ... ibu saya sudah meninggal, terus ayah saya merantau jauh. Saya punya dua kakak, namanya Nico dan Tari. Mas Nico kerja di luar kota. Saya tinggal sama Mbak Tari di sini. Hari ini Mbak Tari kerja. Dia gak bisa lama-lama ambil cuti. Mungkin, nanti sore baru ke sini.”    Allan tampak merasa bersalah. “Eh, maaf ya, saya tidak tahu. Saya tidak bermaksud meingatkan kamu sama almarhumah ibu kamu. Sekali lagi, saya minta maaf.”    Hafiza tersenyum. Senyum tulus yang mampu memikat hati siapapun yang memandangnya. “Ya elah, santai aja kali, Mas. Kalau Masnya udah tahu juga, pasti gak bakal nanya ke saya, gimana sih?!” gerutu Hafiza pada Allan. Ia tampak mengerucutkan bibirnya.    Allan menggaruk tengkuknya. “Hehehe ... iya juga sih, ekhem ... saya jadi baper nih, dipanggil ‘Mas’ sama kamu. Kamu orang pertama yang manggil saya dengan sebutan itu. Rasanya candu sekali ya?” terang Allan tanpa dibuat-buat.    Hafiza menautkan alisnya. “Lha, masak?” tanya Hafiza tak percaya. Pasalnya, ini di Jawa Timur. Panggilan akrab untuk laki-laki yang sedikit lebih tua ya ‘Mas.’    “Iya, saya bukan asli sini. Saya pindahan dari Bandung, tapi keluarga saya lumayan lama netap di sini. Kalau di rumah,  panggilan akrab saya ya Abang. Jadi ngerasa beda aja, waktu kamu manggil Mas.”    “O, itu panggilan khas orang jawa timur. Saya asli gadis jawa, mangkanya manis kek gini. Duh, percaya diri sekali diriku. Haha ....”  Inilah salah satu kelebihan Hafiza. Bisa cepat akrab dengan siapa saja, meski baru dikenalnya.    “Duh, emang manis kok. Saya jadi takut kalau deket sama kamu,” terang Allan.    “Lah, kan bukan monster, ngapain takut?!” Hafiza sedikit sewot saat dirinya dibilang menakutkan.    “Bukan begitu maksudnya. Ya, saya takut kena diabetes.”    Hafiza tersipu malu. Semburat merah terpampang jelas di kedua pipinya. “Bisa aja serbuk pop ice.”    “Beneran loh. Ngomong-ngomong, kita belum kenalan nih. Kenalin, aku Allan Mahendra.” Allan mengulurkan tangannya.    “Ecieee ... manggilnya udah aku kamu nih? Hahaha ...,” ledek Hafiza dengan tawa jenaka.    “Ya gak papa, biar makin akrab. Nama kamu siapa?” elak Allan sambil terus menuntut Hafiza menyebutkan nama.    “Oh iya, aku Hafiza Putri. Biasanya dipanggil Hafiza, tapi katanya itu nama terlalu panjang, makanya dipersingkat jadi Fiza, dan lebih singkat lagi dipanggil Za. Salam kenal Mas Dokter Allan.” Hafiza membalas uluran tangan Allan. Mereka berdua saling berjabat tangan.    “Salam kenal juga, Hafiza. Eh, Fiza, eh, Za, hemmm ... kok jadi bingung manggilnya apa ya?” Allan menggaruk tengkuknya yang tak gatal.    “Terserah Mas Allan aja lah, senyamanmu, Mas. Daripada pusing-pusing,” timpal Hafiza setelahnya.    “Kalau aku nyamannya sama kamu, gimana Za?” tandas Allan cepat.    “Oke, senyumin, bikin nyaman, bikin sayang, terus tinggalin.” Hafiza tertawa ringan.    “Kok tega?”    “lah, serius amat sih. Aku bercanda kali, Mas. mana tega aku ninggalin pas sayang-sayangnya? Orang bunuh semut aja aku gak tega, apalagi ninggalin anak orang? Di mainin itu sakit loh, Mas. Apalagi di-ghosting.”    Allan terkekeh, “ Kamu tuh lucu ya Za? Sepertinya, udah sehat banget nih? Siap pulang gak, kamu?” tanya Allan layaknya dokter dan pasien.    Binar kebahagian terpancar di kedua mata Hafiza. Bibirnya pun tergelitik untuk memamerkan aenyumnya yang manis. “Siap banget. Siap 45, eh salah, semangat 45 maksudnya.    “Hemmm ... dasar! Ya sudah, kalau gitu, aku mau visit pasien lain ya? tapi, boleh ‘kan aku kembali ke sini lagi? Kasihan jomblo sendirian.”    Alih-alih marah dikatain jomblo, Hafiza malah terkesan santai. “Oke, Mas Dokter.silahkan. jomblo mah udah biasa sendirian.”    “Sama aku aja yuk, biar gak jomblo,” timpal Allan cepat.    “Eh, Mas dokter juga jomblo? Mantap, dokter setampan ini jomblo? Hahaha ....” ledek Hafiza.    “Gadis semanis kamu juga jomblo? Hahaha ... kita sama,” balas Allan menimpali ledekan Hafiza.    “Kita tos dulu.” Hafiza mengangkat tangan kanannya ke udara.     “Tos!” Allan pun melakukan hal yang serupa   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD