Bab 9 Satu Juta Dollar Menghilang Misterius

1315 Words
Sekar berdeham canggung dan tampak kesal, tapi dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Memang benar kalau menantunya itu yang mendapatinya terjatuh dari tangga dan segera membawanya ke rumah sakit. Sungguh sial dia harus berhutang nyawa kepadanya! Gara-gara itu, dia tidak bisa leluasa menindasnya seperti di awal-awal pernikahan Angela. Karena tidak ingin mempermalukan diri lebih jauh lagi, maka Sekar mengajak tamu-tamunya berpindah ke taman belakang. Mereka pergi dengan bisik-bisik sangat heboh, tapi sebagian besar diam-diam memuja ketampanan Alan Gu di dalam hati. Kedua menantu pria keluarga Tanoto memang sangatlah tampan, tapi Alan Gu lebih tampan daripada pria kebanyakan yang pernah mereka lihat di TV dan internet. Jika saja keahlian membuat martabak dan donatnya tidak bagus, maka orang-orang akan menuduhnya hanya mengandalkan tampang saja untuk berjualan. “Alan, kenapa kamu tidak langsung naik saja ke kamar kita? Kenapa kamu malah harus menuruti permintaan ibu seperti itu? Kamu bukan pembantu di sini! Kamu adalah menantu mereka!” kata Angela cemas, mengelus lembut sebelah pipi suaminya yang telah ditampar hebat oleh ibunya. Alan Gu merasa sangat terharu dengan sikap perhatian istrinya. Sekalipun dia sendiri ditampar oleh ibunya di hadapan para tamu, dia masih mementingkan suami sendiri. “Terima kasih karena selalu mempercayaiku, Angela. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi selain bersyukur memiliki istri sepertimu yang mau menerimaku apa adanya.” Angela yang tiba-tiba dipeluk lagi seketika tersenyum puas dan membalas pelukannya. “Tentu saja. Kamu pikir bisa mendapatkan wanita yang sama sepertiku di dunia ini? Aku tidak ada duanya, loh!” Arisa terkikik melihat adegan dramatis itu, lalu segera mendekat. “Cukup sudah adegan dramatis kalian ini. Rasanya seperti melihat adegan sinetron siang hari yang penuh air mata. Bagaimana kalau kita sebaiknya segera melanjutkan pemeriksaan uang itu? Membuang waktu hanya akan menunda pekerjaan kita,” saran Arisa cepat. Yang dikatakannya benar. Kalau tidak dilakukan sekarang, maka semua rencana mereka akan berantakan. Mustahil juga membawanya ke Bank untuk diperiksa. Itu hanya akan mengundang kecurigaan orang-orang, dan bisa saja akan melibatkan polisi dengan berbagai macam pertanyaan yang menekan. Mau asli atau tidak, tetap saja akan membuat semua orang bertanya-tanya dan berpikiran negatif. “Maaf karena kalian harus melihat hal buruk tadi,” ucap Angela tidak enak hati, melirik bergantian kepada Arisa dan Mike di depannya. “Sudahlah. Tidak masalah. Aku sudah tahu keluargamu seperti apa, kok. Memangnya aku baru berteman denganmu?” kekeh Arisa dengan raut wajah sengaja melucu agar membuat suasana canggung itu mencair. Mike sendiri hanya tersenyum kecil. “Aku akan tutup mulut. Tidak melihat dan mendengar apa pun di ruang tamu ini. Bagaimana?” Angela berterima kasih kepada kedua orang itu, begitu pula Alan yang benar-benar tidak enak hati membuat istrinya malu. Sambil memungut kantong plastik besar di lantai, Alan Gu berkata sedih dan muram, “Sebenarnya aku membawa donat untuk semua orang, tapi bagian kalian bertiga rusak karena dibanting oleh ibu Angela. Maaf tidak bisa memberikan kalian berdua oleh-oleh layak dari toko kami.” “Alan... Itukah alasanmu pergi ke toko selain memeriksa pekerjaan Faizal?” balas Angela dengan kening bertaut sedih. Alan Gu hanya tersenyum rapuh, lalu mengangguk pelan. “Arisa membawa temannya yang sangat sibuk untuk membantu kita. Bagaimana bisa aku tidak memberinya sedikit ucapan terima kasih?” Angela berkaca-kaca mendengarnya. Dia sama sekali tidak mengerti kenapa keluarganya begitu membenci Alan Gu. Walaupun dia bukan dari keluarga kaya raya dan memiliki latar belakang tidak jelas, dia jauh lebih baik daripada semua pria yang pernah berniat dijodohkan dengannya. Melihat adegan dramatis akan terjadi kembali, Arisa cepat-cepat meraih kantong plastik itu dari tangan Alan. “Ei! Siapa bilang kalau kami akan menolaknya? Ini masih bagus, kan? Kalau hanya bentuknya yang hancur, kami masih bisa memakannya, kok. Iya, kan, Mike?” tanya Arisa seraya menyikut lengan pria di sebelahnya. Mike terkekeh. “Itu benar. Aku juga tidak pilih-pilih makanan.” Angela merasa lega bersama suaminya dan mengucapkan terima kasih. *** Tidak berapa lama kemudian, mereka akhirnya kembali ke lantai atas. “Oh, halo, Kakak ipar? Aku pikir kamu sedang sibuk di toko. Kenapa malah pulang dengan wajah bengkak begitu?” sindir Darius yang tiba-tiba muncul dari arah berlawanan, tampak membawa tas besar di pundaknya yang berisi banyak macam jenis tongkat golf. Angela mengeryitkan kening, merasa sedikit aneh. Sejak kapan Darius suka lalu lalang di lorong ini? Tempat peralatan golf memang satu arah dengan kamar Angela dan Alan. Tapi, pria itu bukanlah pria yang suka bermain golf. Berpanas-panasan bukanlah gayanya. Dia lebih suka berjudi dan berfoya-foya. Tipikal anak kaya raya yang manja. Selain itu, jarang ada yang lewat di lorong ini, karena tahu kalau kamar menantu yang dibenci oleh keluarga Tanoto berada di satu tempat yang sama. Mereka menjauhi kamar suami istri itu bagaikan tempat pembuangan. Para pelayan bahkan dilarang datang untuk bersih-bersih. Sebagai gantinya, Angela dan suaminya membersihkannya secara bergantian. Hati Angela semakin tidak nyaman memikirkan kehadiran Darius. Rasanya ada yang tidak beres! Seolah-olah teringat akan sesuatu, Angela menggigit bibir bawahnya gugup. Jangan-jangan, yang merusak komputer Alan adalah Darius? Apakah dia begitu membenci Alan seperti ibunya? Karena tidak punya bukti atas dugaanya, Angela mengabaikan saja pikiran itu meski firasatnya sangat kuat. “Kebetulan bertemu kalian di sini, apa kalian tidak mau ikut bermain golf denganku sekarang? Aku mau bertemu dengan salah satu rekan bisnis hebat. Dia sangat suka bermain golf, makanya aku meminjam punya ayahmu ini,” terang Darius sok ramah. Biasanya dia hanya bisa mengejak dan merendahkan Angela dan suaminya. Kenapa dia tiba-tiba sok baik begitu? “Terima kasih atas tawarannya, tapi kami sedang sibuk,” tolak Angela tegas. “Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa saat makan malam nanti!” ucap Darius dengan gaya berengsek dan memberikan hormat bendera kepada keempat orang di depannya. “Apa hanya perasaanku saja kalau adik iparmu itu agak aneh hari ini?” bisik Arisa pelan, melirik kepergian Darius yang semakin menjauh. Angela menghela napas berat. “Kamu benar. Dia memang agak aneh. Abaikan saja.” Mereka akhirnya kembali berjalan. Namun, apa yang didapati oleh keempat orang itu di kamar adalah hal yang membuat mereka terkejut bagaikan disambar petir di wajah masing-masing. “Ke-ke mana semua uang itu pergi?” tanya Arisa gugup. Dia bergegas maju ke meja tamu di kamar luas itu sembari menatap keheranan permukaan meja yang hanya terdapat alat pemeriksa keaslian uang. Angela yang mendengar pertanyaan itu seketika tertegun kaget dengan mata terus tertuju pada meja tamu kamarnya. Kenapa uangnya bisa hilang? Bukankah tadi masih ada di sana? Dengan suara gemetar takut, Arisa segera berjalan ke arah Mike dan mengguncang keras kedua bahunya. “Mike! Kamu menyimpan uangnya di mana?!” Mike yang memucat pasi hingga kehilangan kata-kata hanya bisa terbata menjawabnya. “A-aku tidak tahu, Arisa. Bu-bukankah aku mengikutimu keluar dari kamar ini tepat di belakangmu?” Arisa tertegun kaget, mundur beberapa langkah dari hadapan Mike dan berkata dengan wajah pucat, “Kamu tidak mengunci pintu kamarnya? Kenapa kita tadi tidak mengunci pintu kamarnya?” Angela yang tampak seperti kerasukan karena terkena serangan mental, nyaris saja pingsan dan jatuh ke lantai. Untungnya sang suami segera menangkap kedua bahunya. “Angela!” bisiknya cemas. “Da-Darius... Darius pasti yang telah mengambil uang itu.... Tidak heran dia sangat ramah menyapa kita di lorong tadi...” ujar Angela dengan wajah memucat pasi. Suaranya sudah gemetar dan lari masuk ke dalam. *** “Apa yang harus kita lakukan sekarang? Uang itu benar-benar hilang!” ujar Arisa panik dan serba salah. Dia berjalan hilir mudik tidak karuan. Angela yang kini sudah duduk di sofa ruang tamu kamarnya hanya bisa bersandar lesu dalam pelukan suaminya. “Kalau benar pria bernama Darius itu mengambilnya, kita harus segera merancang sebuah rencana untuk mengambilnya kembali. Kalau kita menuduhnya tanpa bukti, maka akan menjadi masalah serius dalam keluarga ini melebihi kejadian sebelumnya,” terang Mike cepat. Angela memucat seperti rohnya sudah keluar dari raganya. Dia mendongak menatap Alan yang sejak tadi diam tanpa kata. Wajahnya dingin, tapi sepertinya menahan amarah yang bisa meledak kapan saja. “Alan? Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Angela takut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD