Seharian mencurahkan tenaga, pikiran, serta kesabaran ekstra, akhirnya Nirvana diperbolehkan pulang. Nirvana lelah sekali. Padahal baru hari pertama belajar bersama sang om.
Ketika Nirvana tak sengaja mengamati gerak-gerik omnya dari kejauhan. Disitulah akhirnya Nirvana paham mengapa baru hari pertama Nirvana sudah diajak kerja rodi.
'Om Hamlan sengaja ngerjain aku. Bikin aku enggak betah dan akhirnya nyerah buat belajar bisnis. Oke kalau itu memang mau Om Hamlan, aku enggak akan nyerah! Justru aku tertantang dan semakin semangat! Biar Om Hamlan yang capek-capek sendiri.'
Mengembuskan napas lelah, Nirvana membenahi rambutnya yang sempat diacaknya kasar. Kemudian dengan senyum lebar gadis cantik itu menghampiri sang om yang tampak sibuk membereskan beberapa berkas. Jelas omnya itu juga hendak pulang.
"Om? Beneran enggak ada yang perlu Vana bantu lagi? Ini masih banyak, loh. Apa Vana lembur saja?"
Mendapati Nirvana mengajukan diri untuk lembur, tentu saja Hamlan syok. Tapi Hamlan pandai mengatur mimik wajahnya.
Pria itu merasa telah memberi banyak beban pekerjaan di hari pertama sang keponakan belajar. Tapi ternyata itu semua tidak berefek apa-apa. Buktinya Nirvana masih semangat meski hari telah petang.
'Anak ingusan ini tidak bisa diremehkan. Dia bukan manusia, tapi robot! Tidak punya rasa lelah. Kalau begitu, selanjutnya aku harus mengganti strategi. Agar dia menyerah dan kabur untuk kedua kalinya.'
"Tidak perlu sampai lembur. Masih ada hari esok. Sudah, sana pulang," usir Hamlan dengan dingin.
Seharian ini memang tidak ada sikap ramah yang Hamlan tunjukkan. Hamlan menganggap Nirvana selayaknya karyawan magang. Bukan keponakan sendiri.
"Beneran, Om? Padahal Vana enggak capek karena terlalu semangat buat belajar bareng Om."
Dusta!
Yang sebenarnya adalah tulang-tulang Nirvana rasanya mau copot. Saking lelahnya. Bagaimana tidak lelah? Selain bergelut dengan berkas-berkas, Nirvana juga diminta untuk bersih-bersih beberapa titik di pusat perbelanjaan yang sangat besar ini.
Kata Hamlan, agar Nirvana tahu titik mana saja yang mesti diperhatikan kebersihannya.
Apa masuk akal? Tentu tidak! Memangnya Nirvana sedang belajar menjadi petugas kebersihan? Hah..yang benar saja! Posisi Nirvana merupakan Putri Tunggal Nirwan plus Cucu Pertama Tuan Besar Hasyiem. Hanya Hamlan yang berani memerintah Nirvana bersih-bersih beberapa titik H-Mall.
Nirvana tahu ini bagian dari rencana omnya untuk membuatnya tidak betah, lalu menyerah. Tapi bukan Nirvana jika menyerah secepat ini! Nirvana akan terus maju sampai omnya benar-benar percaya bahwa dirinya bisa!
Bisa dipercaya mengelola pusat perbelanjaan yang dulunya dikelola almarhum papanya.
Berhasil dengan akting semangat delapan-delapannya, Nirvana pun pamit, "Ya sudah, Vana pulang. Mari Om~"
"Hm."
'Nilai keramahan Om Hamlan itu bintang setengah! Untung papanya Widya, bukan papaku.'
"Terima kasih untuk segala pembelajarannya hari ini," ucap Nirvana yang tiba-tiba berhenti di ambang pintu ruangan besar ini. Gadis itu hampir lupa. Mau seburuk apapun perlakuan omnya, Nirvana akan tetap mengucapkan 'terima kasih'.
"Ya."
Begitu balas Hamlan singkat, padat, dan tidak ikhlas.
"Om juga segera pulang. Ditunggu Tante Santi sama Widya di rumah." Tatapan tajam Hamlan seketika menghunus sepasang mata bening Nirvana.
Sadar terlalu banyak bicara dan itu sangat mengganggu, Nirvana tersenyum kikuk. "Ehe..i--iya-iya, Vana pulang. Maaf kalau Vana cerewet. Wajah Om mirip almarhum Papa. Setiap melihat Om, Vana seperti melihat Papa."
Hamlan mengulas senyum miring. "Jadi, papamu juga mirip sipir penjara?"
'Kena kamu, Anak Ingusan!'
"Eh." Nirvana kehabisan kata-kata. Terkejut omnya masih mengingat bahkan menjadikan kejadian kemarin sebagai senjata untuk melumpuhkannya.
"Lupa? Kemarin kamu sendiri yang bilang seperti itu."
Kalau sudah begini, ampun..Nirvana menyesal. Nirvana kalah. Maka melarikan diri merupakan jalan ninjanya. Tak ketinggalan ngedumel dalam hati. 'Om Hamlan pinter ngomong juga. Lain kali aku harus lebih hati-hati lagi kalau enggak mau dibungkam kayak barusan.'
Nirvana pulang dengan diantar sopir baru yang dipekerjakan secara khusus oleh eyangnya untuk mengantarnya kemana pun pergi. Jujur saja Nirvana belum terbiasa dibukakan pintu mobil dan dipersilahkan masuk dengan ramah. Maklum, sudah bertahun-tahun Nirvana kabur dari istana dan menjalani hari-harinya sebagai orang biasa. Sangat biasa bahkan! Ia hanyalah pelayan rumah makan yang tinggal gratis di mes yang telah disediakan.
Ah, mengingat pekerjaan dan tempat tinggalnya, Nirvana rindu. Tapi tak ada alasan baginya untuk kembali.
Saat lampu merah, Nirvana menoleh ke samping. Entah mengapa bisa sekebetulan ini? Di sana, terdapat sebuah rumah makan yang ramai pembeli. Kerinduan Nirvana tak terbendung lagi. Padahal baru dua hari ia meninggalkan perannya sebagai Nirina.
Nirvana menangis dalam diam. Dádanya sesak sekali. Andai..ia tak terlalu sakit hati. Mungkin saat ini ia masih bertahan menjadi Nirina.
Setibanya di rumah, Nirvana disambut oleh Meriana yang ternyata menunggu di halaman besar kediamanya. "Baru pulang? Bagaimana hari ini?"
Pertanyaan Meriana barusan berhasil menghibur hati Nirvana yang sedang bersedih karena teringat Raiden.
"Lancar, Eyang Putri.." jawab Nirvana kemudian. Tak lupa dengan senyum terbaik walau sedikit memaksa.
"Kenapa matamu sembab? Apa yang Hamlan lakukan padamu, Vana?"
Ternyata mata tua eyang putrinya masih berfungsi dengan baik. Terbukti dari keanehan yang langsung bisa beliau temukan di wajah cantik Nirvana yang tadi habis menangis.
"I--ini bukan apa-apa, Eyang Putri." Nirvana mengusap matanya, meski tidak akan merubah apapun. "Om Hamlan memperlakukan Vana dengan baik. Vana senang belajar bersama Om Hamlan," ungkap Nirvana lengkap dengan bumbu dusta di dalamnya.
Bagaimana Nirvana bisa jujur? Jika Nirvana jujur, Hamlan akan terkena masalah lagi. Nirvana tidak menginginkan hal itu terjadi pada omnya. Karena yang Nirvana ingin adalah memperbaiki hubungannya dengan sang om. Sesimple itu, tapi jalannya seberat memindahkan letak gunung!
"Kamu tega membohongi Eyang?"
Merasa tidak punya pilihan lain, Nirvana pun jujur tentang keadaannya. "Vana tidak akan berbohong bahwa tadi di jalan pulang Vana memang menangis, Eyang Putri. Itu karena Vana teringat sesuatu, tapi tidak ada kaitannya dengan Om Hamlan."
"Sungguh begitu?"
"Sungguh, Eyang Putri," tegas Nirvana.
"Lalu, sesuatu seperti apa yang membuatmu teringat sampai menangis? Air mata itu berharga. Hanya jatuh saat hati benar-benar bahagia atau terluka. Jadi, kamu sedang bahagia? Atau terluka?"
Rasanya mau menangis lagi. Tapi sekuat tenaga Nirvana menahannya. Tidak mungkin Nirvana mencurahkan isi hatinya pada eyang putrinya. Belum saatnya. Nirvana pun belum siap.
"Maaf, Eyang Putri. Vana belum bersedia mengatakannya," ujar Nirvana sambil menggigit bibir bawahnya. Berharap sang eyang putri mengerti dan tidak mengorek lebih dalam lagi.
Meriana menghela napas. Kali ini cukup. Meriana paham dan berusaha mengenyahkan segala rasa penasaran serta khawatirnya.
"Ya sudah, sana masuk. Ada yang sejak tadi menunggumu di ruang tamu."
Dahi Nirvana mengerut heran. Kemudian, bertanya-tanya, "Menunggu Vana? Siapa, Eyang Putri?"
"Lihat saja sendiri." Meriana pun berjalan lebih dulu di depan. Disusul Nirvana yang sudah tidak sabar lagi mengetahui Siapa yang menunggunya di ruang tamu?
"Sore, Nirvana.." sapa seorang pria begitu Nirvana tiba di ruang tamu.
Dengan mata membulat sempurna, Nirvana memekik, "Izhar!?"
"Iya, ini saya. Izhar Athariq."
Selanjutnya, dengan masih terheran-heran Nirvana mengoceh panjang kali lebar kali tinggi. "Apa kabar, Zhar? Isshh..formal banget pakai saya-sayaan. Gegayaan. Ini juga pakai baju siapa? Baju Om Cakra, ya? Rapi banget kayak mau nyalonin diri jadi DPR! Padahal dulu kamu benci pakai jas, celana kain, apalagi sepatu pantofel begini. Ini bukan style kamu. Style kamu tuh kaos oblong dan celana jeans sobek-sobek. Terus sekarang semua itu berubah seratus delapan puluh derajat, gimana aku enggak pangling, Zhar?"
"Vana? Sudahi pidatomu. Beri Izhar kesempatan untuk berbicara. Kamu ini.." sela Meriana yang gemas sendiri dengan kekuatan ocehan bibir sang cucu. Memalukan. "Maafkan Vana ya, Nak Izhar. Perubahan ke arah yang lebih baik itu mungkin hanya terjadi padamu. Sementara pada Vana, belum ada perubahan."
Mendengar pernyataan Meriana barusan, Izhar hanya terkekeh kecil. Memang benar adanya bahwa Nirvana tidak pernah berubah. Itu..cukup melegakan sekaligus membahagiakan bagi Izhar.
"Eyang Putri kok begitu, sih? Vana sedang proses berubah ini. Berubah menjadi Wonder Woman!" cetus Nirvana seraya menepuk-nepuk dádanya sendiri.
"Terserahmu saja." Meriana tak mau ambil pusing. Cuek saja.
"Mengenai penampilan saya, sudah dua tahun ini saya membiasakan diri dengan style seperti ini. Awalnya berat. Tapi ternyata tidak seburuk yang saya bayangkan. Pekerjaan saya kerap membuat saya bertemu dengan orang-orang penting. Jadi tidak mungkin, kan, tetap mempertahankan style lama? Gaya bicara pun karena terbiasa seperti ini, jadi terbawa ke kehidupan sehari-hari. Ya, Nirvana. Apa yang ada di kepalamu benar adanya. Saya bekerja di perusahaan papa saya. Sebagai anak tunggal, bukankah sudah semestinya saya membantu beliau?"
Begitulah penjelasan yang keluar langsung dari bibir Izhar. Membuat Nirvana ternganga. Tidak menyangka teman nakalnya bisa menjadi orang seperti ini. "Ini kejutan apalagi, Zhar? Beberapa tahun aku enggak ketemu kamu, sekarang kamu sudah jadi orang penting saja. Selamat! Kamu hebat, Zhar. Om Cakra pasti bangga banget sama kamu."
Izhar mendengkus kecil. "Tapi kesayangan papa tetap kamu, Nirvana."
"Hehehhe..kalau itu sih, yaa harus kamu terima dengan lapang dáda. Om Cakra juga kesayanganku. Mirip papaku, dikit." Nirvana sampai memberitahukan takaran 'sedikit' itu melalui jari jempol dan telunjuknya.
"Itu papa saya, Nirvana. Jika kamu terpikir untuk merebutnya, rebut sekalian putranya ini. Kebetulan masih sendiri."
"A--apa sih, Zhar?" gugup Nirvana sampai sekujur badannya merinding. Kedua pipinya pun terasa panas. Padahal dulu gombalan putra Om Cakra ini tidak berarti apa-apa.
Malah menggelikan.
Tapi sekarang..mengapa begini? Nirvana merasa ada yang salah dengan dirinya. Ya, ada yang salah!
"Biasa saja, dong. Izhar hanya bercanda. Pipimu jangan buru-buru merah. Harga diri, Vana," bisik Meriana tepat di telinga kanan Nirvana. Hal itu sukses menyadarkan Nirvana kembali.
"Nak Izhar, diminum teh manisnya. Eyang tinggal dulu, ya. Silahkan dilanjut mengobrolnya."
"Iya, Eyang Meriana. Terima kasih."
Meriana pun melenggang pergi, meninggalkan ruang tamu serta dua orang yang sekian lama akhirnya bisa bertemu kembali.
"Duduk sini, ada banyak hal yang ingin saya tanyakan padamu." Izhar menepuk-nepuk space sofa kosong di sampingnya. Membuat Nirvana kian gugup. Seolah tahu isi pikiran Nirvana, Izhar memperingatkan, "Jangan menghindar dengan menggunakan alasan lelah. Karena saya juga lelah pulang bekerja langsung kemari demi bertemu kamu."
'Ya Tuhan..ini bukan seperti Izhar yang kukenal!'
Pasrah, Nirvana pun berjalan mendekat sampai mendudukkan tubuhnya tepat di samping Izhar. Tenang, Nirvana tetap menjaga jarak. Dua jengkal!
Duduk di samping Izhar yang sekarang tidak sesantai dulu. Seolah, Nirvana hendak diajak membahas perihal tata surya.
"Kenapa enggak pulang dulu, sih? Kan, ketemunya bisa besok-besok," dumel Nirvana guna menyembunyikan kegugupannya.
"Belum tentu. Kali saja besok kamu kabur lagi."
"Eh. Enggak ya! Aku sudah enggak punya niat buat kabur. Jangan bahas-bahas itu, deh! Sensitif," bantah Nirvana dengan kesal. Bibirnya maju beberapa senti saat seperti ini.
Tapi itulah yang sejak tadi Izhar nantikan. Izhar tersenyum manis lalu berkata, "Kamu masih orang yang sama, Nirvana."
"Iya lah! Siapa lagi kalau bukan Nirvana Irenia yang cantik jelita putri tercinta Pak Nirwan dan Bu Dea?"
Mumpung sedang membahas itu, Izhar menanyakan sekaligus mengingatkan Nirvana agar segera mengunjungi makam kedua orang tuanya. Izhar yakin selama dalam pelarian Nirvana tak pernah mengunjungi makam tersebut. "Kapan kamu akan mengunjungi makam kedua orang tuamu?"
"Hmm..besok. Aku usahakan pulang lebih cepat daripada hari ini."
Izhar mengajukan diri. "Saya temani."
"Enggak usah. Aku sendiri berani, kok," tolak Nirvana tanpa babibu.
Hal itu membuat Izhar kecewa sekaligus kesal. Tapi Izhar mempunyai seribu satu cara untuk bisa menghabiskan waktu bersama Nirvana. "Saya ingin menemanimu. Lagipula, sudah lama juga saya tidak mengunjungi Om Nirwan dan Tante Dea."
"Iya deh, iya. Yang 'ingin menemani'," sindir Nirvana yang mulai gerah mendengar setiap bahasa formal yang terlontar dari bibir Izhar. "Duhh..apa enggak pegel itu leher dibuat ngomong formal mulu, hm? Kalau lagi berduaan sama aku, boleh kok pakai lo-gue, kayak dulu."
"Bagi saya itu sudah terasa aneh, Nirvana. Maaf."
Tiba-tiba, secara mengejutkan Nirvana mendekatkan wajahnya pada wajah Izhar. Sontak hal tersebut membuat Izhar gugup. Apa yang akan Nirvana lakukan? Pikiran Izhar mulai kemana-mana. Membayangkan manisnya apabila bibir mereka bertemu. Sampai pikiran itu pecah saat Nirvana melontarkan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya. "Ini beneran kamu, kan, Zhar?"
"Iya, masih tampan, kan?" tanya Izhar balik dengan tersenyum manis.
"Yeee..PD banget!" sentak Nirvana menjauhkan wajahnya. "Tapi percuma, sih.."
"Percuma apa?"
"Percuma tampan, tapi enggak punya pasangan. Upss!"
"Daripada kamu. Percuma kabur, kalau akhirnya pulang ke rumah lagi." Upss, Izhar pandai membalikkan keadaan. Sampai Nirvana tidak bisa berkata-kata. Tapi belum selesai, rupanya masih ada serangan lanjutan. "Seperti anak kecil yang sedang ngambek. Kemudian kabur menyeret tas barbie yang di bawahnya terdapat roda. Tak ketinggalan juga membawa bekal berupa nasi, mie instan goreng plus telur ceplok kesukaannya. Apa-apaan itu?"
Nirvana malu sekali! Mau menangis karena kesal sekali pada pria ini.
Ternyata, sisi menyebalkan serta gemar mengganggunya masih sama.
Dulu, Izhar tidak akan berhenti mengganggu Nirvana sampai Nirvana menangis kejer. Tapi sekarang Nirvana akan melawannya. "Isshh..enggak usah ngejèk! Nyebelin banget, sih!" Nirvana memukul lengan berotot Izhar. 'Sejak kapan tubuhnya yang cungkring menjadi sekekar ini? Benar-benar perubahan yang luar biasa!' batinnya mengomentari tubuh Izhar.
Izhar menerima saja setiap pukulan Nirvana sampai akhirnya pukulan itu berhenti dengan sendirinya. Saat itulah Izhar baru membawa Nirvana masuk dalam pelukan hangatnya.
Berpelukan seperti ini..dulu terasa menggelikan. Tapi sekarang, jantung keduanya sama-sama berdebar. Pertanda apa ini?
"Ekhmm! Ruang tamu bukan tempat berpacaran."
Yap, pertanda ketahuan seseorang!
Hamlan yang baru memasuki rumah tentu syok mendapati pemandangan tersebut. Ada perasaan tak rela dalam hatinya, karena setahu Hamlan, Nirwan sosok yang posesif pada Nirvana. Nirwan selalu menjaga Nirvana. Setelah melalui seleksi ketat, akhirnya dulu Nirvana diperbolehkan berteman dengan laki-laki. Itupun karena Izhar merupakan anak sahabat Nirwan, anak Cakra.
Pelukan pun terlepas dengan kasar. Lebih tepatnya Nirvana mendorong tubuh Izhar dengan sekuat tenaga. "Siapa yang pacaran sih, Om!? Ogahhhhh banget Vana pacaran sama dia! Nyebelin! Yang ada berantem teruss!"
"Kalian berdua cocok. Yang satu beban keluarga, yang satu lagi harapan keluarga. Definisi saling melengkapi, bukan?" terang Hamlan memandangi Nirvana dan Izhar secara bergantian. Tak ketinggalan dengan senyum sinis yang menghiasi wajahnya. Seusai berterus terang pun, Hamlan melenggang pergi begitu saja.
"Om Hamlan pas bilang 'beban keluarga' kenapa lihat ke Vana, sih?! Vana juga harapan keluarga lohh, Om. Lihat saja nanti!"
Protes Nirvana tak diindahkan sama sekali. Hamlan merasa benar dengan apa yang dinyatakannya. Nirvana memang beban keluarga. Titik.
"Nirvana?" panggil Izhar.
"Apa panggil-panggil!? Senang, kan, kamu dengar aku dikatain 'beban keluarga' sama omku sendiri?"
Izhar tertawa kecil. Puas rasanya. Tapi dalam konteks candaan karena menurut Izhar, Nirvana bukanlah beban keluarga. Nirvana pun sama sepertinya. Adalah harapan keluarga.
Guna menghibur hati Nirvana, tangan Izhar bergerak menepuk-nepuk pelan kepala Nirvana seperti saat menepuk-nepuk kepala kucing.
"Meski kamu beban keluarga, saya pasti tetap cinta. Jadi menurutmu, kapan hari yang baik atau tanggal yang cantik untuk melangsungkan pertunangan?"
***