Terhitung sudah dua hari ini Nirina tidak terlihat. Rekan-rekan kerjanya mengira Nirina pulang kampung mendadak dan sudah izin pada Raiden. Namun, pagi ini saat Raiden menanyakan keberadaan Nirina pada Cici. Kehebohan terjadi!
“Lohh!? B—bukannya Nirina sudah izin ke Bapak? Kami semua mengira Nirina pulang kampung, Pak!”
“Izin?” Dahi Raiden mengerut. Mencoba mengingat-ingat lagi. Bisa jadi dirinya lupa. Tak sampai disitu saja, Raiden juga langsung membuka room chatnya dengan Nirina.
Tidak ada apa-apa.
Terakhir chat satu minggu yang lalu saat Nirina bertanya tentang belanjaan di pasar.
“Izin apa maksud kamu, Cici? Nirina tidak izin sama sekali pada saya.”
Raiden mulai panik. Dalam hati bertanya-tanya mengenai keberadaan Nirina yang sudah dua hari ini tak terlihat di rumah makan maupun di mes karyawan. Sampai rekan kerjanya mengira Nirina pulang kampung.
“Lalu Nirina dimana, Pak?” tanya Mela yang sejak tadi telah mencuri dengar. Ia turut kepo dengan keberadaan Nirina yang tak diketahui oleh siapapun.
“Mana saya tahu!” sentak Raiden yang sedang kalut.
Bagaimana tidak kalut? Orang-orang yang tinggal di mes karyawan saja tidak tahu keberadaan Nirina, apalagi dirinya yang tidak tinggal di sana!? Aneh sekali bila pertanyaan seperti itu sampai dilayangkan padanya.
Tergesa-gesa, Raiden mengikuti kata hatinya untuk pergi ke mes karyawan. Lebih tepatnya, pergi memeriksa kamar Nirina dan Amaya.
Ah..mengingat nama teman sekamar Nirina, mood Raiden kian bùruk. Raiden telah memecat Amaya secara tidak hormat akibat Amaya kukuh melindungi Respati yang jelas-jelas pelaku tindak kejahatan.
Karena CINTA, orang bisa menjadi bodóh sebòdoh-bodòhnya! Raiden geram mendapati Amaya malah menerima pinangan Respati. Bagi Raiden, meski Respati merupakan kakak kandungnya sendiri. Jika Respati salah, tetap salah, harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya.
Raiden benci pada keduanya! Tidak Amaya, tidak Respati—sama saja! Memusingkan kepala!
“Yang satu ini semoga tidak ikut-ikutan bikin pusing.”
Baru saja bibir Raiden terkatup. Harapannya sudah langsung pupus.
Kamar Nirina dalam keadaan tertutup tapi tidak terkunci. Sehingga Raiden yang semula iseng memutar knop pintu malah membuat pintu terbuka.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Dengan jantung berdebar karena takut terjadi sesuatu dengan Nirina, Raiden menerobos masuk. Hal-hal lain yang akan timbul karena aksinya ini, bisa dipikirkan nanti. Yang terpenting sekarang adalah menemukan sosok Nirina.
Sayangnya, kamar yang Raiden masuki kosong. Keadaan kamar masih rapi walau tak berpenghuni.
“Kemana dia?”
Jika Amaya sudah jelas angkat kaki dari sini sejak insiden baku hantam empat hari yang lalu. Kemudian, satu hari rumah makan tutup. Baru buka kembali dua hari yang lalu sampai hari ini. Lalu, dimana Nirina? Mengapa tidak ada di kamarnya? Kalaupun Nirina pulang kampung, mengapa Nirina tidak izin pada Raiden selaku bosnya?
Saat sedang berpikir keras mengenai keberadaan Nirina, mata Raiden tak sengaja menangkap selembar kertas yang terlipat rapi di atas meja kecil. Raiden langsung meraihnya.
“Surat pengunduran diri..”
Ya, atas nama NIRINA.
Selesai membaca surat tersebut, Raiden langsung meremas kertasnya sampai tak berbentuk lagi, membuangnya di tong sampah terdekat.
Bibirnya kini ngedumel, “Apa-apaan ini? Dimana sopan-santunnya? Seharusnya dia mengatakannya lebih dulu padaku? Bukan langsung pergi-menghilang seperti ini?” Tangan Raiden bergerak lincah di atas layar ponselnya, mencari nomor Nirina dan langsung menghubunginya. Raiden sudah mempersiapkan omelan sepanjang jalan tol untuk salah satu karyawannya itu. Ya, karyawan karena Raiden belum menyetujui pengunduran dirinya.
Berkali-kali Raiden mencoba menghubungi Nirina. Tapi nomor Nirina sudah tidak aktif lagi. Hal itu membuat Raiden semakin murka karena menilai tindakan Nirina seenak jidatnya tanpa memikirkan perasaannya.
Nirina yang tiba-tiba mengundurkan diri dan menghilang seperti ini membuat Raiden merasa tidak dihormati.
Raiden pun kembali masuk ke dalam kamar dan mencari apapun yang bisa digunakan sebagai petunjuk mencari keberadaan Nirina.
Bukan lagi petunjuk yang Raiden dapatkan. Melainkan..sesuatu yang membuat dadánya sesak.
Adalah selembar foto polaroid dirinya. Lebih tepatnya, punggungnya karena foto ini diambil dari belakang. Sudah pasti foto ini diambil secara diam-diam karena Raiden tidak pernah meminta atau mengizinkan Nirina mengambil foto punggungnya.
“Kenapa dia punya fotoku? Ini foto saat di Bali kala itu, kan?”
Ketika Raiden hendak memasukkan foto tersebut ke dalam sakunya, sesuatu yang tertulis di belakang foto membuat pergerakan tangan Raiden terhenti. Raiden membacanya. Berulang kali sampai bisa memahami maksud tulisan tangan tersebut.
“Ini tulisan tangan Nirina. Apa maksudnya? D—dia..menyukaiku?” Raiden menggeleng pelan, masih belum mempercayai tulisan yang sudah berulang kali dibacanya. Padahal, Raiden tidak bodóh untuk sekedar mengerti maksud kalimat yang tertulis di sana.
Kepala Raiden kian pusing. Masalah datang bertubi-tubi. Kemarin-kemarin, masalah kakaknya dan Amaya. Hari ini, masalah Nirina yang mengundurkan diri dan pergi meninggalkan jejak foto plus kata-kata ungkapan perasaan yang pupus.
Apa yang harus Raiden lakukan sekarang? Mencari Nirina? Tapi kemana?
“Pak..”
Raiden terkejut saat merasa bahunya ditepuk. “Eh. Ngapain kamu di sini, Cici?”
“Dari tadi saya memanggil-manggil Bapak, tapi Bapak masih asyik bengong.”
Benarkah itu? Raiden terlalu larut memikirkan ungkapan perasaan Nirina via tulisan tangan Nirina sampai tidak menyadari kehadiran Cici.
Tidak ingin Cici mengetahui apa yang ditinggalkan oleh Nirina, Raiden segera memasukkannya ke dalam saku celana. Kemudian mengontrol ekspresi wajahnya agar tidak dicurigai oleh karyawannya itu.
"Bapak jangan bengong. Meski mes ini tidak berhantu, tapi kemungkinan kesambet tetap ada lhoo, Pak. Hati-hati. Bahaya."
Sekata-kata memang si Cici ini, membuat Raiden ingin menjitak kepalanya! Agar sedikit waras. Tapi Raiden tahan. Tidak akan ada tindak kekerasan yang Raiden lakukan pada karyawatinya. Meski separah apapun perbuatannya.
Ini bagian dari prinsip seorang Raiden Alsaki yang tidak akan pernah melakukan tindak kekerasan apapun terhadap wanita.
"Nirina mana, Pak? Kok kamarnya kosong?" tanya Cici sambil melongok ke dalam kamar.
Raiden yang tak berkenaan menjawabnya langsung mengancam Cici. "Kamu sudah bosan kerja, ya? Kalau IYA, segera tulis surat pengunduran diri."
Sebenarnya, saat ini Raiden sedang marah pada Nirina. Tapi Raiden melampiaskan kemarahannya itu pada Cici.
Salah Cici juga. Masih terus mempertanyakan Nirina.
Diancam begitu, Cici kicep. Lebih baik menyingkir daripada kariernya yang berakhir. "Saya masih semangat bekerja kok, Pak! Ya sudah kalau begitu, saya kembali berkerja. Mari, Pak.." Cici pun melangkah pergi.
Baru beberapa langkah, wanita itu menoleh untuk berbisik, "Bengongnya mohon jangan diteruskan ya, Pak." Sontak, Raiden melotot. Tak senang meski maksud Cici sebenarnya baik yakni, mengingatkannya. Namun saat ini hal tersebut tidak berguna. Pikiran serta hati Raiden terlanjur kacau akibat masalah yang akhir-akhir ini menghampirinya.
"Lebih baik kesambet daripada sadar tapi banyak masalah seperti ini..” lirih Raiden tak bisa menepis rasa sedihnya.
Pria itu masih bergeming di tempatnya berdiri. Di ambang pintu kamar tak berpenghuni ini. Jika dilihat lebih teliti, kamar ini bukan hanya rapi, tapi beberapa barang sudah tak ada di tempatnya lagi. Raiden yakin barang-barang yang masih ada ini merupakan milik Amaya.
Nirina benar-benar pergi..
Yang tak pernah Raiden sangka lagi, Nirina pergi membawa luka hatinya karena terlalu cepat menyimpulkan bahwa perasaannya tak terbalas.
Tidak tahu saja Nirina bahwa saat ini Raiden mulai merasa kehilangan.
Ada ruang hampa yang tiba-tiba tercipta tanpa Raiden tahu bagaimana cara meluluhlantakkannya. Perasaan yang Raiden rasakan saat ini juga aneh dan asing.
Menepikan itu semua, Raiden belum bisa menerima kepergian Nirina.
Raiden bertekad akan mencari gadis itu sampai ketemu!
“Saya akan menuntut penjelasanmu mengenai foto ini, Nirina. Tunggu sampai saya bisa menemukan keberadaanmu.”
Dengan ponsel canggihnya, Raiden mulai mencari keberadaan Nirina dengan mempekerjakan orang-orang suruhannya.
“Cari seseorang untuk saya. Sebentar lagi, akan saya kirimkan identitas lengkapnya. Satu minggu cukup, kan? Ya, lebih cepat lebih baik.”
Panggilan suara itu pun berakhir. Raiden tersenyum miring. Menggampangkan persoalan mencari keberadaan seseorang.
‘Memangnya apa yang tidak bisa kulakukan? Semua bisa..’
Tidak tahu saja Raiden bahwa sosok yang dicarinya menggunakan identitas lengkap itu bukan orang sembarangan.
Bahkan, identitas yang kata Raiden lengkap—hanya berupa IDENTITAS PALSU.
Selama ini, Raiden tidak pernah mencari tahu latar belakang Nirina lebih dalam. Apalagi sampai terpikir meragukan keaslian identitas yang Nirina gunakan saat melamar pekerjaan di rumah makannya. Itu kesalahan Raiden.
Lantas, apa Raiden mampu menemukan Nirina dalam kurun waktu satu minggu?
***