Author
"Mbaaa!" Suara ibunya mengagetkan Rani. Ia tengah membaca sebuah buku, yang ditulis seorang motivator terkenal.
Rani mendekati ranjang tempat ibunya berbaring. Digenggam lembut jemari ibunya.
"sudah waktunya dzuhur belum?" Tanya Bu Lina dengan suara lirih.
Rani menggelengkan kepala, dan mengatakan belum tanpa bersuara.
"Mbak sama Bang Raja ya datang ke sini?" Tanya Bu Lina.
Rani menganggukkan kepala, dan mengukir senyum di bibir, seakan ingin mengatakan kepada ibunya, kalau ia merasa bahagia dengan pernikahannya.
"Bang Rajanya mana, Mbak?"
Rani mengambil notes, dan pulpen, lalu menuliskan.
'Ke kantor'
"Mbak harus belajar jadi istri yang baik, jadi ibu yang baik, biar ayah juga senang di sana, biar ayah merasa bangga dengan Mbak, biar ayah merasa didikannya selama ini tidak sia-sia, Mbak." Bu Lina membawa jemari Rani ke bibirnya.
"Ibu minta maaf, karena sudah memintamu menuruti keinginan kakekmu, Ibu tahu hal ini tidak adil bagimu, Ibu yang sudah berbuat menyakiti hati kakekmu, tapi kamu yang harus menanggung akibatnya. Tapi Ibu punya keyakinan, kalau Bang Raja akan bisa membuatmu bahagia, Mbak, seperti ayah yang selalu membuat kita semua bahagia. Andai ayahmu masih ada ...."
Rani langsung memeluk ibunya, ingin sekali ia menghibur ibunya dengan ucapan, tapi yang bisa ia lakukan hanyalah memeluk erat ibunya.
Di saat dalam keadaan sadar sepenuhnya begini, ibunya selalu memberikan nasehat, dan pesan kepada Rani.
Tapi bila sudah berbicara tentang ayah Rani, selalu saja mereka berdua tidak bisa menahan air mata.
Rani memang berusaha untuk ikhlas menerima semuanya, tapi kenangan akan sang ayah membuatnya sulit untuk tidak meneteskan air mata
--
Rani baru saja selesai salat dzuhur bersama ibunya, dan Bu Manda.
Ibunya kembali tidur setelah makan siang, dan minum obat.
Bu Manda juga minta ijin beristirahat di kamarnya, sedang Rani memilih berbaring di ayunan yang ada di gazebo halaman belakang rumah kakeknya.
Di kampungnya dulu, di belakang rumah mereka yang banyak tumbuh berbagai macam pohon buah, ada ayunan seperti ini juga yang dipasang ayahnya di antara dua batang pohon.
Biasanya adik-adiknyalah yang suka bermain-main di atas ayunan. Sedang Rani beserta kedua orang tuanya, lebih memilih menggelar tikar untuk duduk-duduk santai.
Suasana halaman belakang rumah kakeknya yang tenang, dan ditumbuhi banyak pepohonan membuat Rani tertidur di atas ayunan.
Rani terbangun, saat merasakan ada sesuatu yang menjalari wajahnya.
Mata Rani terbuka lebar saat melihat Robby, keponakan kakeknya, berdiri di sebelah ayunan.
Wajah tampannya menyeringai penuh nafsu, membuat tubuh Rani bergidik ngeri.
Cepat Rani turun dari ayunan, ia berusaha membebaskan lengannya dari cengkeraman tangan Robby. Robby berusaha memeluknya, tapi Rani memberikan perlawanan sekuat yang ia bisa.
Rani memukul, dan menendang asal saja, yang penting ia bisa terbebas dari Robby yang seperti sudah gelap mata.
Rani menggigit lengan Robby yang mencengkeram bahunya, sementara lututnya naik untuk menyerang s**********n Robby yang berdiri tepat di hadapannya.
Robby meringis, dan melepaskan Rani, Rani langsung berlari menuju pintu masuk ke dalam rumah.
Robby mengejarnya, Rani lari sambil menengok ke belakang, takut Robby bisa mengejarnya.
Bukkk!
Rani terjengkang, karena tubuhnya menabrak sesuatu, tepatnya seseorang.
Robby berhenti mengejar Rani, ia menyeringai menatap Rani, lalu menatap kepada orang yang ditabrak Rani.
"Sorry!" Katanya, sambil berlalu meninggalkan Rani, dan Raja, orang yang ditabrak Rani.
Rani bangkit dari jatuhnya, tatapannya bertemu dengan tatapan penuh tanya dari mata Raja.
Rani membuang pandangan.
"Kita pulang sekarang. Sebelum pulang kita berpamitan dulu pada ibu, dan kakekmu." Raja memutar tubuh, lalu melangkah mendahului Rani yang meringis, karena sakit pada lengan, dan bahunya yang kena cengkeraman Robby tadi.
'Siapkan jawabanmu, Rani! dia pasti akan bertanya apa yang sudah terjadi antara dirimu dan Robby. Belum tentu dia akan bertanya, apa pedulinya dia dengan apa yang terjadi pada diriku, toh dia sudah mendapatkan apa yang dia inginkan dengan menikahiku!' batin Rani.
*
Raja dan Rani sudah berada di dalam mobil, menuju pulang ke rumah Raja.
Raja ingin bertanya tentang Robby, tapi ia merasa gengsi.
'Jangan mulai memberi perhatian, dan ikut camour urusan orang lain. Satu kali kamu melakukannya, maka selanjutnya kamu pasti akan melakukannya lagi,' batin Raja, mengingatkan agar Raja jangan masuk terlalu dalam, ke dalam hidup Rani.
Rani seperti saat mereka berangkat pagi tadi, ia kembali asik mengamati belantara ibu kota.
Mobil berhenti di depan sebuah toko pakaian. Rani menoleh ke arah Raja, ia menatap bingung, dan penuh tanya pada Raja.
"Ke luar dari mobil!" Perintah Raja, Rani ke luar dari mobil, dan berdiri diam menunggu Raja, dia masih bingung, kenapa mereka berhenti di tempat ini.
"Ikuti aku!" Perintah Raja lagi, dan Rani hanya mengikuti apa yang dikatakan Raja.
'Dia tidak bertanya apapun soal kejadian tadi, hhhhh ... mungkin dia memang orang yang tingkat kepeduliannya rendah,' batin Rani.
Mereka masuk ke dalam toko pakaian, yang tempatnya terlihat sangat bagus dalam pandangan Rani. Mereka di sambut hangat oleh seorang wanita cantik berumur sekitar empat puluh tahun, wanita itu terlihat segan pada Raja.
"Tante Merry, Pilihkan lima pakaian tidur, sepuluh pakaian santai untuk di rumah, sepuluh pakaian santai untuk ke luar rumah, sepuluh set pakaian dalam, tiga sepatu tanpa hak, tiga sendal, dan dua tas selempang. Suruh dia mencoba semuanya, aku ingin melihat dia memakai satu persatu semuanya, kecuali pakaian dalamnya ya!" Perintah Raja, pada wanita cantik yang ia panggil Tante Merry. Wanita itu menganggukkan kepala.
"Siap, Tuan Raja," sahutnya.
"Oh ya, dia bisu, jadi tidak perlu mengajaknya bicara!"
"Oh iya, Tuan Raja." Wanita itu kembali menganggukan kepala.
Raja meninggalkan mereka dengan masuk lebih dalam ke 'toko pakaian' itu. Wanita yang dipanggil Raja, dengan sebutan Tante Merry, memberi perintah kepada bawahannya, untuk menyiapkan apa yang diinginkan Raja.
'Uuh untuk apa dia membelikan aku pakaian, bukankah dia tidak peduli dengan diriku, apa maksud dari semua ini sebenarnya, pasti ada sesuatu yang membuatnya melakukan ini,' batin Rani.
Tante Merry membawa Rani masuk ke sebuah ruangan, ia diminta mengganti pakaian dengan pakaian yang diberikan Tante Merry.
Rani menggelengkan kepala, ia tidak mau memakai pakaian tanpa lengan, dan sangat pendek seperti itu.
Tante Merry mengambil kertas, dan lulpen, lalu menuliskan.
'Tolong pakailah, Nona, bantu kami agar Tuan Raja tidak marah pada kami.'
Tulisan itu diperlihatkan pada Rani, Rani yakin kalau Tante Merry pasti berpikir, kalau ia juga tidak bisa mendengar.
Melihat tatap penuh permohonan dari mata Tante Merry, akhirnya Rani menganggukan kepalanya.
'Ya Allah
Seumur hidup, baru kali ini aku memakai pakaian seperti ini' batin Rani.
Ia menatap diri di cermin besar di depannya. Kulit telapak tangan, dan wajahnya memang berwarna coklat, karena sering terkena matahari, saat membantu ayahnya bekerja di sawah, dan kebun mereka, tapi kulit lengan, tubuh, dan kakinya putih, karena selalu terlindung pakaian.
Rani benar-benar merasa malu menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Rani memutar tubuh, saat melihat Tante Merry berdiri di sebelahnya.
'Tuan Raja menunggu Nona untuk melihat, apakah pakaian itu cocok untuk Nona kenakan' tulis Tante Merry di kertas yang diperlihatkannya pada Rani.
Rani mengernyitkan kening, lalu mengambil kertas, dan polpen dari tangan Tante Merry.
'Aku harus pakai ini di depannya?' Tulis Rani.
Tante Merry mengangguk, lalu merapatkan kedua telapak tangan di depan d**a, seakan memohon agar Rani mau melakukan itu demi dirinya.
*