BAB 10 : Kesalahan Binar

1922 Words
Setelah aku turun dari mobil, Mas Aiden dengan sigap membuka bagasi dan mengeluarkan barang-barangku, membawanya ke dalam kontrakan berukuran 10×12 meter. Di depan, sudah ada Melly yang menyambut. "Masih ada yang perlu saya bantu?" tanya Mas Aiden, sebentar melirik ke Melly, lalu fokus padaku. "Nggak usah. Makasih, ya. Ngerepotin banget. Mas jadi telat berangkatnya gara-gara aku," ucapku merasa bersalah. "Tidak masalah. Saya berangkat dulu, ya?" Mas Aiden mengulurkan tangan, dan aku menyambutnya. Namun, mendengar suara Melly berdeham keras, aku jadi kaku di tempat. Kami akan berpisah, tapi, apa salahnya jika melakukan ini terakhir kali? Aku menurunkan kepala, menyalami tangan Mas Aiden. Di antara kegiatan lainnya, mungkin bagian ini yang akan paling aku rindukan. "Assalamu'alaikum!" ucap Mas Aiden setelah aku melepaskan tangannya. "Wa-alaikumussalam." Aku masih memandangi Mas Aiden sampai ia masuk mobil, dan meninggalkan halaman kontrakan. "Udah. Jangan terlalu dipikirin. Emang berat awalnya, nanti terbiasa kok. Lo bakalan bisa hidup seperti biasa tanpa suami lo." Melly menyentuh pundakku, memberikan kekuatan. "Gue juga harus berangkat kerja. Ini kunci rumah lo," ucap Melly kemudian memberikan tiga buah anak kunci padaku. "Oke. Makasih banget ya, udah bantuin aku sejauh ini." "Sama-sama. Santai aja. Gue berangkat dulu." Melly menghampiri motor matic hitam miliknya, melambaikan tangan, lalu pergi. Aku masih berdiam di depan rumah selama beberapa saat, memikirkan keputusan ini lagi. Meski terasa berat, tetapi logikaku berkata, ini sudah sangat benar. Memasuki kontrakan, aku disambut ruangan kosong, dengan dua tas pakaian di lantai. Aku terlalu malas untuk melakukan apa-apa, jadi memilih berbaring di lantai dengan berbantalkan tas, semetara satunya lagi aku jadikan guling. Ponsel aku jadikan pelarian, tapi sama saja. Tidak ada yang menarik minatku, karena pikiran berkelana kembali ke rumah Mas Aiden. Seharusnya, jam segini aku mencuci pakaian, atau memotong rumput di halaman. Aku menggeleng kasar. Meninggalkan sosial media dan mengecek bar notifikasi. Di sana ada sebuah email masuk, dari perusahaan tempat Mas Aiden bekerja. Aku langsung bangun dan mengucek mata melihat pesan dari HRD, mempertanyakan alasanku tidak masuk bekerja. Ternyata, aku belum dipecat! Dan ... hari ini hari terakhir kesempatanku untuk masuk. Astaga! Aku langsung berdiri, membuka tas dan membongkar isinya. Mencari pakaian yang pas: kemeja putih, rok span hitam. Sambil berpakaian, aku menelpon Adi, memintanya menjemput. Dia dengan cepat mengiyakan. Setelah berpakaian, aku melipat rambut ke dalam, lalu mencoba memakai make up. Tapi, ini bisa dikenali Mas Aiden. Aku menggunakan micellar water untuk membersihkan semua riasan, kemudian mencoba mencari-cari referensi make up di google. Make up bold. Hanya itu yang bisa aku coba. Maka, aku mulai melapisi wajah dengan foundation tebal. Lalu memberi kontur kentara di wajah, sehingga tulang pipi dan tulang hidung terlihat jelas. Aish, seperti make up nikahan saja. Tapi, tidak masalah. Asal Mas Aiden tidak mengenaliku. Setelah itu, aku menambahkan bedak tabur, kemudian blush on. Karena terburu-buru dan terlalu bersemangat, pipiku terlihat sangat merah. Ingin menambahkan bedak, tapi, kalau dilihat-lihat, aku jadi semakin berbeda sekarang. Lanjut, membuat alis yang tebal dari pangkal hingga ujung. Pun sebelahnya. Eye shadow yang cokelat, dan eye liner, kemudian bulu mata. Terakhir, menambahkan lipstik merah. Aish. Aku langsung mencibir melihat hasil make up-ku. Terlihat khas seperti make up Arab, dan terlalu tebal. Aku mau menghapus lagi, tetapi suara klakson terdengar dari luar. Saat mengintip di jendela, ternyata Adi. Aih, sudahlah. Yang penting berbeda 180° dan Mas Aiden tidak akan bisa mengenaliku. Aku mengambil tas pundak, bersiap pergi. Namun, mengingat tadi pagi belum sempat mandi, aku kembali membongkar tas mencari parfum. Setelah ketemu, aku baru teringat bahwa parfum ini limited edition, Mas Aiden mengenali aromanya. Jadi, dengan kesal, aku kembali meletakkan parfum di dalam tas. Berlari keluar dari kontrakan, mengunci pintu, lalu menghampiri Adi. "Kamu punya parfum?" tanyaku. Adi menatapku terkejut. "A-ada, Mbak. Tapi, parfum murah, Mbak. Cuman pakai diynow, campur air, masukin ke botol parfum." "Nggak papa. Boleh pinjem? Soalnya aku nggak mandi tadi." Adi membuka bagasi motornya, dan mengeluarkan parfum dari sana. Aku langsung menyemprotkannya di seluruh tubuh. "Oke, makasih ya," ucapku saat mengembalikan parfum miliknya. "Bedaknya nggak ketebelan, Mbak? Saya kira bukan Mbak tadi." Aku bangga sendiri karena Adi juga tidak bisa mengenaliku. "Ah, biarin. Ayo berangkat." *** Baru juga turun dari motor, aku disambut pemandangan Mas Aiden yang juga turun dari mobil dengan si Zul bersamanya. Napasku sesak seketika. Mas Aiden merangkul punggung pria dewasa itu, dan mengobrol tentang hal serius. Mungkin mereka bahagia dengan kabar perpisahan kami. Aku mengembuskan napas sehingga paru-paru sedikit longgar. Kemudian menormalkan pikiran. Aku kembali bekerja hanya untuk mencukupi hidup, sehingga tidak perlu menggunakan kartu kredit Mas Aiden lagi. Dengan langkah tegas, aku memasuki pekarangan kantor, melewati kedua pria itu tanpa menoleh sedikitpun. Sementara dalam d**a, ada nyeri yang tak tertahankan. Aku harus membiasakan diri sekarang. Aku memasuki ruang HRD setelah sebelumnya mengetuk pintu, dan ia menyambut dengan tatap dingin. "Maaf, Bu. Kemarin saya kira, saya dipecat ... jadi itu ... saya tidak masuk," ucapku menjelaskan. "Selama belum ada kabar kamu dipecat, seharusnya kamu tidak berasumsi sendiri. Kamu telat kerja, dan itu membuat nama kamu buruk di perusahaan." "Maaf, Bu." "Saya harap, kamu bisa mulai serius bekerja jika ingin benar-benar diterima di sini." "Iya, Bu." Wanita itu kemudian memanggil satpam yang akan mengantarku ke ruang kerja di lantai 4. Dalam ruangan, ada 8 orang yang masing-masing terpisah dalam setiap partisi. "Selamat pagi," sapaku ramah dengan sedikit menundukkan kepala sebentar. Ada 4 orang yang menyambut ramah, dua berbisik-bisik-karena make up, sementara 2 lagi tak acuh. Sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Saat aku duduk di kursi, dua wanita menghampiriku dengan salah satunya mengambil kursi dari partisi lain, dan satu lagi duduk di mejaku. "Nama kamu siapa? Aku Lia," sapa gadis yang duduk di kursi sampingku. Tampak sangat ramah, dengan make up natural dan senyum ringannya. "Binar," jawabku memperkenalkan nama samaran di sini, sembari membalas jawaban tangannya. "Gue Azari," sahut yang duduk di meja. Aku sedikit risi dengan yang satu ini, tampak lebih berani dengan rok span selutut, tetapi robek di samping sampai setengah pahanya. Dadanya yang terlalu bulat hingga membuat kemeja yang ia pakai terlalu ketat. Seharusnya, kalau Mas Aiden selingkuh, sama modelan Azari ini lebih baik. Setidaknya aku sadar diri, kalah menarik dengan dia. Apa itu si Zul? Ah, tidak menarik sama sekali. "Hei!" Azari memukul pundakku sebentar, kemudian menunjukkan tangannya yang terulur. "M-maaf. Kurang fokus." Aku langsung menjabat tangan Azari sembari tersenyum. "Binar." "Kurang fokus atau salah fokus nih?" ucap Lia menggoda. "Apa sih, ya ampun." Aku terkekeh ringan. Aku berhenti tertawa saat Azari ini tiba-tiba saja turun dari meja, membuka kancing kedua kemejanya, lalu berjalan keluar dengan anggun. "Dia kenapa?" tanyaku, setengah peduli. "Biasa, godain Pak Aiden." Aku langsung terkejut. "Godain-Pak-Aiden?" Aku mengeja tiga kata itu. "Hu'um. Kasihan sih lihatnya." Lia terkekeh ringan. "Pak Aiden padahal udah nikah, masih ... aja digodain. Dia mah bukan seleranya Pak Aiden. Masih kalah jauh sama istrinya yang anggun, elegan." Aku menggigit kedua bibir dalam dengan kuat untuk mencegah senyum. Uh, kalau dipuji gini, rasanya udah kayak ngalahin semua bidadari surga. "Kamu bisa aja," ucapku malu. "Bisa apa? Emang fakta kok. Coba aja ketemu sama istrinya Pak Aiden, kalau lemah iman pasti jadi les**." "Eh, jangan gitu." "Ntar, kalau ada acara kantor lagi, kamu ketemu deh sama istrinya. Astaga, aku aja sampai 'wah' banget pas ketemu. Ya ampun, kulitnya udah halus, putih, bening, baik banget lagi. Kalau bicara tuh, uh, meleleh." Lia masih terus melanjutkan pujian. Aku tidak bisa mencegah diri sendiri untuk tersenyum. Dengan kepala menunduk, aku menyelipkan rambut ke belakang telinga. "Udah, jangan ngarep mirip sama istrinya. Kita beda jauh sama kasta istrinya." Lia menepuk pundakku, memudarkan senyumku barusan. "Hehe, iya." Aku kemudian menoleh ke arah pintu, pada Azari yang sudah kembali dengan wajah masam. "Kasihan banget, ya? Nggak bakalan pernah dilirik sama Mas Aiden," gumamku iba. *** Seharusnya, aku tidak peduli dengan kedekatan Mas Aiden dan Zul, tapi entah kenapa, dalam d**a, rasanya benar-benar sesak melihat keduanya. Aku berjalan lamban mengekori keduanya, mencari-cari ide. Karena tidak fokus berjalan, salah satu kakiku menginjak lubang. Tidak bisa menyeimbangkan tubuh, lalu terjatuh dengan keras di lantai. Aku meringis kesakitan. Zul yang paling antusias berbalik, aku mendengkus kesal dalam hati saat ia berjongkok di hadapanku. "Kamu nggak papa?" tanya Zul. Aku fokus pada Mas Aiden yang hanya memasukkan sebelah tangannya dalam saku celana, tampak sangat tidak tertarik membantu. "Kaki aku terkilir," ucapku memberitahu. Zul membantuku berdiri, lalu meletakkan sebelah tanganku di pundaknya. "Pak, kita bisa antar dia pulang, Pak? Kasihan," tanya Zul pada Mas Aiden yang tampak masih diam. Kenapa dia sangat baik? Tau ah, yang penting bisa memisahkan dua orang ini. Siapa tau, perceraian kami bisa batal. "Oke." Mas Aiden menjawab dingin, kemudian berjalan lebih dahulu untuk membukakan pintu mobil belakang. Zul membantuku masuk. "Mau ke rumah sakit?" "Nggak usah, Ma-Pak." Hampir keceplosan. Aku tersenyum risi. Zul masuk ke kursi belakang juga, kemudian menutup pintu. Mobil mulai bergerak. Zul mengangkat kakiku ke atas pangkuannya, meski aku sudah mengelak, ia tetap memaksa. "Sini, saya bantu." Ia dengan kurang ajar mengusap dengan lembut pergelangan kakiku. Aku tidak tahan untuk tidak memukul tangannya itu. Ia hanya terkekeh ringan. "Maaf." Zul menekan kuat kakiku dengan tiba-tiba. Aku berteriak keras dan memukul pundaknya berulangkali. Selain untuk melampiaskan sakit atas perbuatannya, juga untuk melampiaskan kekesalanku karena dia sudah merebut Mas Aidenku. "A-ampun." Pria itu mendorong kakiku hingga terjatuh, barulah aku menghentikan pukulan. "Kamu pukul saya kayak mau b*nuh saya aja," keluh Zul. "Maaf, refleks. Abisnya, sakit banget." "Udah mendingan?" tanya Zul lembut. Aku hanya bergumam untuk mengiyakan. "Nama kamu siapa, btw? Kamu karyawati baru, kan? Yang kemarin bikin bos jatuh?" Aku langsung meringis tanpa suara karena ia mengingat kejadian itu. "B-Binar," jawabku pelan, takut Mas Aiden menyadari penyamaranku. Namun, pria itu tampak tidak acuh. Hanya diam memperhatikan jalanan. "Saya Zul." Pria itu menyodorkan tangan. Aku membalasnya dengan hati dongkol, dan itu pun kurang 3 detik. Aku beralih pada Mas Aiden, tapi Zul mencegah dengan menarik lengan kemejaku. "Jangan. Dia lagi tertekan sekarang. Mau cerai sama istrinya. Mending jangan ganggu," ucap Zul. Aku diam. Merasa sangat bersalah karena sudah menjadi penyebab Mas Aiden murung sepanjang jalan. Mobil kemudian berhenti di depan sebuah apartemen, tempat di mana biasanya Zul turun. "Saya ikut antar Binar aja, Pak?" tawar Zul. "Zul, saya sedang tidak luang sekarang." Mas Aiden membalas dengan dingin. Tumben. Biasanya dia selalu semringah berbicara dengan Zul. Apa benar, efek perceraian kami sampai begitunya ke Mas Aiden? Kenapa aku merasa ada benih-benih harapan di sini? "Rumah kamu di mana?" Mas Aiden melempar pertanyaan dengan dingin, tegas, setelah Zul turun. "Mm ...." Aku seketika kalap. Tidak mungkin membawa Mas Aiden ke kontrakan, karena itu jelas membuat penyamaranku terbongkar. Jadi, aku memberikan alamat Melly saja. "Kenapa tidak bilang dari awal?" Mas Aiden berujar malas. Ia memutar arah, kemudian menuju alamat yang aku maksud. Setelah sampai di depan rumah Melly, aku hendak turun. Mas Aiden ternyata tidak secuek itu pada wanita lain. Ia membukakan pintu, dan menawarkan tangannya membantuku turun. "Kaki kamu sudah mendingan?" tanya Mas Aiden. "Iya, Mas. Tadi, berkat Pak Zul, kaki saya udah lumayan." Mas Aiden mengerutkan dahinya dalam. Aku berdiam diri cukup lama hanya untuk melihat wajah tampannya itu. "Okey. Saya permisi." "Mas. Kenalkan, nama saya Binar." "Aiden." Dia setengah tidak mau tetap membalas uluran tanganku. Aku merundukkan kepala salim. Setelah mencium tangannya, aku baru sadar sikapku ini. "Eh, astaga, Pak. M-maaf. Saya keinget Bapak saya kalau antar saya ke mana-mana. Otomatis aja tadi salimnya," jawabku asal, panik. Semoga dia tidak sadar. "Oke." Mas Aiden menampilkan ekspresi risi, kemudian menyembunyikan kedua tangannya ke dalam saku. "Saya juga kurang suka kalau kamu panggil saya 'Mas'. Ingat posisi kamu!" ucapnya tegas. Aku langsung diam. Kepikiran. Beneran tadi keceplosan panggil dia 'mas'? Aku menutup mulut dengan empat jari kanan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD