BAB 9 : Hidup Sendiri

1185 Words
“Gimana kalau kita pisah aja, Mas?” Aku sudah tidak bagaimana caranya untuk duduk dengan tenang setelah mengatakan permintaan tersebut. Mas Aiden menatapku dalam selama beberapa menit, lalu meluruskan pandangannya ke depan. “Okey, kalau itu mau kamu,” ucap Mas Aiden kemudian, dengan nada lemah yang tidak pernah aku dengar sebelumnya. Kali ini, suaranya berbeda, terdengar pasrah dan itu membuatku merasa iba. Apa keputusan ini sudah benar? Lagi, aku meragukan keinginanku ini, tapi jika teringat ucapan Melly, aku kembali meneguhkan hati. Jika bukan sekarang, aku bisa semakin dalam jatuh dalam pesona Mas Aiden, dan nantinya, aku akan semakin berat jika ingin pisah dengannya. “Kamu atau saya yang urus surat-suratnya?” tanya Mas Aiden, menoleh sejenak padaku. Mungkin, ini akan menjadi salah satu perceraian tanpa adanya pertengkaran. Dan percaya, ini jauh lebih sulit rasanya. Aku menatap lamat Mas Aiden. Hidung mancungnya, rahang tegasnya, bibir manis, serta mata tajamnya. Oh, juga sikapnya yang kelebihan ramah. Aku akan sangat merindukan itu semua setelah ini. Lagi, aku membayangkan hari di mana tidak melihat Mas Aiden dalam sehari saja, dan rasanya sesak dalam d**a. Ini hanya membayangkan, belum menjalaninya langsung. “A-aku aja yang urus,” jawabku dengan suara bergetar. Lalu menunduk dalam untuk menyembunyikan mataku yang berair. “Kamu tahu, Ayya?” Mas Aiden meluruskan wajahnya padaku. “Terlalu terlambat untuk berpisah. Sekarang, semuanya jadi sangat sulit untuk saya.” Aku meneguk ludah dengan kasar, terhipnotis oleh matanya yang juga memancarkan keredupan yang sama. “Aku juga.” *** Sampai jam 12 malam, aku chatting-an dengan Melly untuk menceritakan keadaanku sekarang. Dia ternyata sangat baik, memberikan banyak solusi untukku. Aku menyesal karena saat SMA tidak cukup dekat dengannya. Melly Geordiana Kalau udah bikin keputusan, lo sebaiknya menjauh dari suami lo. Biar, lo bisa ada kesempatan buat move on. Kalau deket suami lo mulu, lo nggak bakalan ada kesempatan buat move on. Dari banyaknya chat Melly, satu pesannya itu langsung aku mulai lakukan hari ini juga. Aku tetap menjalankan tugasku sebagai istri seperti biasanya, menyiapkan air hangat, pakaian Mas Aiden, sarapan, dan membersihkan rumah. Saat waktu bersantai tiba, aku duduk di sofa ruang tengah dengan malas-malasan, mencari kontrakan yang dekat dan dengan harga yang murah, karena aku tidak memiliki pekerjaan. Uh, aku langsung merasa sengsara saat membayangkan sialnya nasib yang aku alami. Belum juga bekerja, sudah dipecat. Kembali ke rumah ayah menurutku bukan pilihan tepat. Aku bisa digantung di pohon pepaya belakang rumah jika Ayah tahu aku mau bercerai dengan Mas Aiden. Beliau sangat akrab dengan Papa Mas Aiden, sehingga akan menentang keras perceraian ini. Namun, jika sudah tiba waktunya kami benar-benar berpisah, Ayah tidak akan bisa apa-apa selain menerimaku secara terpaksa. Melly lagi-lagi membantuku mencarikan kontrakan yang murah. Namun, untuk pekerjaan ia tidak bisa membantu sama sekali. Aku pikir, itu tidak masalah. Aku bisa jualan atau membuka les pribadi nanti.. Selama menghabiskan waktu di rumah untuk terakhir kalinya, aku menatap intens semua perabotan di rumah. Lalu meratapi foto pernikahan kami yang terpajang besar di ruang tengah aku bersandar lesu melihat betapa lebarnya senyumku saat berfoto dengan Mas Aiden hari itu. Mas Aiden juga tersenyum meski tidak selebar diriku, tapi aku tahu, dia juga terlihat bahagia. Huh. Aku merutuk kesal lagi. Seandainya keadaan Mas Aiden bisa diubah, perpisahan ini tidak akan pernah terjadi. Namun, apa daya. Ini sudah hampir setahun berusaha, tidak ada hasil. Dia sendiri tidak mau berusaha. *** Malam ini masih sama seperti sebelumnya. Aku menyambut Mas Aiden, meraih tangannya, dan membawakan jas serta tas kerjanya menuju kamar. “Mas mau aku buatkan kopi?” Seperti biasanya, aku bertanya. Seolah tidak ada yang terjadi di antara kami. “Iya.” Aku terus mengekor hingga sampai di kamar. Meletakkan jasnya di gantungan baju, tasnya di meja. Sembari Mas Aiden mandi, aku menyiapkan pakaiannya. Seperti biasa. Turun ke dapur untuk membuatkan secangkir kopi. Ketika ia datang di ruang makan, aku menyajikan makanan di piringnya. Duduk bersama. Dalam keheningan menyantap makanan. Seperti biasa. Namun, dengan perasaan berbeda. Rasa cinta itu masih ada, bahkan selalu berkembang dalam setiap detik yang aku lalui bersama Mas Aiden. Namun, di balik itu, ada keinginan untuk menekan semua perasaan berlebihan tersebut. Mulai sekarang, aku harus mengosongkan hati dan pikiran dari sosok Mas Aiden. Karena Mas Aiden akan bekerja setelah makan malam, maka aku menggunakan kesempatan ini untuk mengobrol lagi dengannya. Aku pikir, sambil makan juga bisa menekan semua emosi yang ada. “Mas ....” Aku memanggil, seraya memperhatikan perubahan ekspresinya yang amat kentara. Jika awalnya ia dengan tenang menyantap apa pun yang aku sajikan di piringnya, maka setelah aku memanggil, Mas Aiden tiba-tiba tegang. Lalu melirik padaku, memberikan sengatan yang sama sakitnya. Jika saling cinta, kenapa harus berpisah seperti ini? Hatiku bertanya. Namun, jika melihat ke masa lalu, sebenarnya tidak ada alasan pernikahan ini bisa bertahan nyaris satu tahun. “Aku pikir, mulai besok aku bakalan pindah,” ucapku pelan, membuka obrolan. Mas Aiden melanjutkan makan malamnya dengan gerakan yang amat lamban. “Mau saya antar ke rumah Ayah?” tanyanya tanpa melirik. “M ... bukan ke rumah Ayah,” jawabku. Barulah dia mengangkat pandangan. “Aku bakalan tinggal di kontrakan nggak jauh dari sini sampai kita benar-benar pisah. Ayah bakalan cekik aku kalau tahu aku mau pisah sama Mas.” Niatku melucu sehingga di akhir kalimat, aku tertawa ringan. Namun, pria di hadapanku sama sekali tidak bereaksi. “Kamu bisa cerita tentang masalah saya. Itu juga akan mempercepat proses perceraian kita,” ucap Mas Aiden. “Aku pikir itu nggak perlu. Masing-masing kita nggak perlu saling buka rahasia satu sama lain. Mas juga jangan buka rahasia aku, ya?” “Kamu punya rahasia apa? Kamu sempurna.” Mas Aiden berucap malas, tapi sedetik kemudian ia tertawa ringan. Aku langsung merasa aneh dengan tawanya. “Mas kenapa?” Seingatku, aku emang tidak punya rahasia dan masalah seperti Mas Aiden. Ucapan manis ala-ala malaikat tadi hanya untuk menenangkan Mas Aiden. Aku sepenuhnya sempurna tanpa cela dan dosa di mata Mas Aiden. Selama menikah, sebisa mungkin menyembunyikan sisi buruk dan menunjukkan sifat malaikat padanya. “Tidak papa.” 'Tidak papa' Mas Aiden sama sekali tidak sinkron dengan caranya tertawa yang seperti menunjukkan sesuatu yang memalukan. “Kamu sempurna, tidak ada cacat.” Ia tersenyum kemudian. “Mas sembunyiin sesuatu?” tebakku, yang membuatnya tersenyum bangga. “Aku punya rahasia apa?” tanyaku panik, takut Mas Aiden berhasil menemukan keburukanku. “Tidak ada.” Aku menatap curiga padanya. “Kamu tidak memberitahu Ayah kamu? Kenapa tidak tinggal di sini? Kalau seandainya kamu tidak nyaman sama saya, ada banyak kamar tamu di rumah ini.” Topik pembicaraan kembali serius, meski aku masih bingung dengan sikapnya tadi. “Nggak. Aku perlu latihan buat mandiri,” jawabku. “Okey. Kamu pegang saja kartu kredit saya. Pakai sampai kamu benar-benar bisa mandiri.” “Nggak usah, Mas. Aku bisa kok hidup sendiri.” Mas Aiden mengangkat sebelah alisnya, meragukan. “Tanpa pekerjaan? Itu akan sangat menyulitkan kamu. Kamu pakai saja, saya memaksa.” Aku sebenarnya butuh uang, tapi untuk bisa totalitas dalam melupakan Mas Aiden, aku tidak boleh terikat oleh satupun barangnya. “Nggak usah, Mas. Aku bisa kok hidup sendiri.” Ketenangan di wajahnya perlahan kembali meredup.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD