Menyakiti Diri Sendiri

1223 Words
“Aku tidak bermaksud menghindar seperti apa yang Bunda, kira ….” “Lalu? Ah sudahlah, bunda sedang malas berdebat denganmu, Niel. Hati Bunda sedang merasa bahagia karena bisa bertemu kembali dengan Nara.” “Sejak dulu, Bunda ingin sekali memiliki seorang anak atau menantu yang seperti, Nara. Tapi tak apalah tak bisa menjadi menantu, toh Nara masih bisa menjadi anak Bunda.” “Bunda juga kan bisa menganggap Mira sebagai anak, Bun.” “Oh iya? Bukankah istrimu itu yang enggan dianggap anak? Dia selalu menghindar dari Bunda, dengan segala macam alasan kesibukannya itu.” “Nara kan memang sibuk, Bun. Tahu sendiri, kalau dia itu model.” “Bunda tahu, kok. Maka dari itu, karena dia saat ini profesinya sebagai model, maka merasa tidak ingin memiliki seorang anak. Sebab, dia tak ingin tubuhnya berubah, iya kan? Bunda tau, kok ….” “Bun–” “Sudahlah. Ingat ya, Niel … kau tidak boleh merasa terpesona dengan kecantikannya alami dari wajah Nara. Ingat, kamu sudah punya Mira yang katanya begitu sangat segalanya untukmu, bukan?” Daniel menghela nafas panjang, rasanya sesak sekali disindir seperti itu oleh Bundanya, tapi ia tak bisa menjawab dan hanya menganggukkan kepanjangan saja. Namun, entah mengapa hatinya itu merasa bergetar hebat saat mendengar nama Mira. Pria itu merasa begitu sangat merindukan momen-momen indah bersama dengan wanita itu, tetapi di saat yang sama dengan segala macam kesibukan dari wanita itu, membuatnya merasa terjebak di dalam situasi yang begitu sangat sulit sekali. Pria itu merasa ingin sekali memberikan kebahagiaan pada kedua orang tuanya, tetapi ia juga tidak ingin kehilangan cintanya yang telah lama dibangun bersama dengan Mira. Banyak sekali momen-momen indah yang mereka ukir berdua dan tak bisa dilupakan begitu saja, meskipun sikap wanita itu benar-benar seringkali membuatnya menggelengkan kepala. Diperjalanan pulang ke rumah, suasana pun kembali terasa hening. Saras sendiri merasa ketegangan di antara mereka berdua, namun tidak ingin membahas hal-hal yang menyedihkan. “Daniel, jangan pulang dulu. Bunda sudah memasak makanan kesukaanmu. Kamu pasti belum makan, kan? Dan, istrimu itu pasti tidak memikirkan urusan perutmu itu. Jadi, lebih baik kamu makan dulu nanti sebelum pulang.” Daniel tersenyum senang, ia merasakan kebahagiaan karena bundanya masih begitu sangat peduli padanya. Meskipun seringkali merasa kecewa dengan sikapnya dan juga istrinya. “Baik, Bun. Sudah lama juga aku tidak makan masakan, Bunda.” Setelah sampai di rumah, mereka segera masuk ke dalam dan duduk di kursi meja makan. Asisten rumah tangga menghidangkan semua masakan yang sudah dibuat di atas meja. Dan, mereka berdua langsung menyantap makanan itu dengan lahap. Makanan yang sederhana, tapi penuh dengan cinta dan mampu membuat Daniel merasa tenang. Dalam setiap suapan yang masuk ke dalam mulutnya itu, ia bisa merasakan dengan jelas kasih sayang dan cinta yang tulus dari bundanya. “Niel, kenapa sih sampai saat ini Mira masih menolak untuk memiliki anak?” tanya Saras, mencoba untuk membuka percakapan yang lebih dalam dan juga penasaran sekali. “Hah … entahlah, Bun. Aku juga merasa tidak paham dengan jalan pikiran istriku itu,” keluh Daniel menghembuskan nafas kasar. “Mira selalu mengatakan bahwa impiannya adalah menjadi model terkenal, bukan menjadi seorang ibu.” “Bahkan, terakhir saat aku meminta permintaan yang sama. Jawabannya masih sama, justru dia memberikan ide yang konyol.” “Ide konyol?” tanya Saras menaikkan satu alisnya. “Iya, Bunda. Mira memintaku untuk mencari wanita lain yang mau dijadikan istri kedua, agar mau mengandung dan melahirkan anak untukku. Dan, Bunda juga Ayah bisa mendapatkan keturunan untuk keluarga Mananta.” “Hah? Jadi, Mira benar-benar memberikan ide konyol seperti itu?” “Iya, tadi juga aku sudah mengatakannya pada Bunda bukan?” “Iya, tapi … Bunda pikir itu hanya akal-akalanmu saja, Daniel.” “Mana ada seperti itu, Bun. Aku saja sampai merasa frustasi menghadapi, Mira.” “Kalau begitu, kenapa tidak kamu wujudkan saja permintaannya itu, Daniel?” “Maksudnya, Bunda … menikah lagi?” “Ya, tentu saja! Bukankah itu yang disarankan olehnya? Bahkan, secara terang-terangan memintamu untuk menikah lagi, bukan? Yang terpenting adalah izin darinya. Karena, kamu juga mendapatkan izin langsung darinya.” Daniel terdiam sejenak, benar-benar lidahnya terasa kelu. Tak bisa menjawab ucapan bunda dan kembali menimbang, kata-kata yang pas yang harus diucapkan olehnya. Tak ingin ada kesalahpahaman nantinya dan juga ingin jujur pada bundanya. Tetapi, ia juga tidak ingin menyakiti hati dan perasaan wanita yang telah begitu tulus membesarkannya dengan penuh cinta. “Bun … aku … aku hanya ingin membangun sebuah masa depan yang baik dan penuh kebahagiaan. Tapi … aku juga tak ingin menyakiti, Mira,” jawab Daniel suaranya pelan. “Aku memang begitu sangat menginginkan keturunan, tapi Mira selalu menolak.” “Aku bingung, jika aku menerima tawarannya untuk menikah lagi … apa hal itu tidak akan menyakiti hatinya, Bun?” “Loh … bukankah dia sendiri yang sudah menyakiti hatinya dengan cara mengizinkan kamu menikah lagi? Bahkan, dia yang memberikan saran tersebut padamu, bukan?” Hening. Tak ada jawaban dari Daniel, membuat wanita paruh baya itu merasa greget sendiri. Saras menghela nafas panjang, wanita paruh baya itu begitu sangat memahami betul dilema yang saat ini sedang dihadapi oleh putranya itu. “Nak, Bunda mengerti dan tahu betul dengan semua yang sedang kamu hadapi saat ini. Tapi … kau harus ingat satu hal, hidup itu terus berjalan. Terkadang … kita memang harus mengambil sebuah keputusan yang sulit, Nak.” “Bunda tahu, keputusan ini sangat sulit untukmu. Tapi, sesekali memang harus sedikit memberikan pelajaran pada Mira yang memiliki sikap egois.” “Maaf, jika Bunda harus mengatakan hal ini. Tapi, Mira terlalu menyepelekan perasaanmu, Nak. Dia sama sekali tak bisa menghargai cinta dan kasih sayangmu yang tulus untuknya. Dia merasa begitu sangat bangga karena bisa dicintai sedemikian rupa olehmu tanpa memikirkan perasaanmu seperti apa dan bagaimana, Nak ….” “Apakah Bunda tidak menyukai, Mira?” “Kata siapa? Kamu tahu betul, Bunda adalah orang pertama yang menyambut baik rencana kalian menikah. Tapi maaf, kasih sayang dan cinta Bunda, seakan perlahan-lahan mulai berkurang karena sikapnya yang seenaknya itu, Nak.” “Bunda paling tak suka, jika Mira sudah menaikkan nada bicaranya padamu. Bahkan dengan lantang, dia enggan memberikan keturunan padamu. Sungguh, hati Bunda merasa begitu sangat sakit dan juga terluka, Nak ….” “Maaf, Bun. Maafkan Daniel yang tak bisa mendidik Mira dengan baik.” “Nak, Bunda ini bisa melihat dan menilai semuanya. Bukan kamu yang tak bisa mendidiknya dengan baik, tapi Mira sendiri yang enggan untuk dididik olehmu, Nak.” “Bunda tidak pernah bukan memaksa kalinya untuk segera memilki keturunan? Tapi, semenjak bunda mengetahui semuanya sebabnya apa … jujur … bunda merasa sangat kecewa sekali.” Daniel menundukkan kepalanya, merasa begitu sangat bersalah pada wanita lembut yang ada di hadapannya itu. Rasanya tak tega hanya untuk menatap matanya saja, karena banyak sekali kekecewaan yang terpendam di sana …. “Maaf, Bunda. Daniel akan berusaha untuk lebih baik lagi dalam mendidik Mira agar lebih bisa menghargai dan menghormati Bunda juga Ayah.” Setelah makan malam selesai, Daniel pun membantu Bundanya menyiapkan segala macam keperluan untuk arisan. Pria itu dalam merasakan dengan jelas sekali, sebuah kebersamaan yang terasa sangat hangat, tetapi di dalam hatinya pun ada rasa cemas yang terus saja menghantuinya. Ia memang tak bisa untuk menahan dirinya sendiri, untuk Tidka memikirkan segala macam hal tentang sebuah masa depan yang penuh dengan kebahagiaan dan juga harapan-harapan kecil yang diinginkan oleh keluarganya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD