Sherina mengambil tissu, mengelap mulut pelan. Sedangkan Vasco berdiri, merogoh dompet disaku celana. Membayar tagihan yang disebutkan oleh ibuk yang ngantar pesanan tadi. Kembali mendekati gadisnya yang masih menghabiskan minuman. Sherina yang merasa diperhatikan segera beranjak. Menatap Vasco dengan kesal, lalu melangkah kearah parkiran.
“Yaang, punya uang kecil nggak?” tanyanya saat si tukang parkir meminta uang.
“Ada kok.” Merogoh saku jaket, ngambil selembar uang dan menyerahkan pada si mas tukang parkir. Setelahnya, menatap Vasco yang udah nyalain mesin motor.
“Kok malah diem, ayo naik.” Suruhnya.
Sherina tetap diam menatapnya. Yang ditatap tersenyum kecil, balas menatap Sherina dengan tangan yang dilipat didepan. Hanya saling diam, saling tatap.
Hingga Sherina memukul lengan Vasco pelan. “Kamu, iih. Aku kan nungguin penjelasan. Katanya tadi mau jelasin kalo udah selesai makan. Gimana sih!” kesalnya, mulutnya manyun.
Vasco terkekeh, gemas melihat wajah kesal Sherina. “Masa’ jelasinnya sambil berdiri gini sih, yaang. Ayo naik, kita nyari tempat ngobrol yang nyaman. Jan sambil berdiri. Aku nggak mau kaki kamu pegel.”
Masih setia dengan mulut manyun, Sherina naik ke boncengan dengan berpegangan di kedua bahu Vasco. Seperti tadi, Vasco menarik tangan Sherina untuk dilingkarkan keperutnya.
“Peluk, yaang.” Ucapnya, lalu mulai menjalankan motor.
Sherina memukul punggung Vasco pelan dengan penuh kekesalan. Tapi tetap nurut, memeluk tubuh pria didepannya dengan erat, karna Vasco membawa motor jauh dari kata pelan.
Binar kebahagiaan yang hampir satu tahun hilang itu kini mulai sedikit terlihat. Cowok yang memang sedang mengalami frustasi berat itu mulai bangkit pelan. Mengulas senyum manis selama perjalanan, sesekali mengelus tangan yang melingkar erat diperutnya.
“Turun, yaang.” Suruhnya. Mematikan mesin motor.
Sherina melepaskan pelukan, celikukan menatap ke sekitar. Sebuah basemen yang lumayan luas. Ada beberapa mobil dan motor yang tentu milik orang-orang kaya.
Berpegangan bahu Vasco, lalu melangkah turun dari motor. “Vasco, kita dimana?” tanyanya masih dengan mata yang sibuk menatap setiap sudut basemen.
Vasco menggandeng tangan Sherina, menyeret tangan itu menuju lobby. Mata Sherina terbelalak, karna ternyata mereka masuk ke gedung sebuah apartemen.
Menarik tangan Vasco hingga cowok tinggi itu menghentikan langkah. “Kamu kenapa ajak aku ke apartemen?”
Cowok itu tersenyum, mengelus pipi Sherina. “Aku tinggal disini.”
Kening Sherina berkerut. “Ya, lalu?”
Vasco menaikkan kedua bahunya. “Lalu, aku ajak kamu ke apartemenku. Tempat tinggalku, kan kamu minta penjelasan. Aku akan jelasin semuanya didalam.”
“Vasco, kita ini cowok cewek, lho.” Kembali menarik tangan yang hampir melanjutkan langkah untuk menuju pintu lift.
Kembali Vasco terkekek. “Aku tau, makanya aku suka sama kamu, karna kamu itu cewek. Bukan cowok. Aku normal kan, yaang?”
Sherina memberengut. “Bukan itu maksud aku.”
Cup!
Dengan tanpa ijin bibir yang sedikit tebal itu mendarat dipipi Sherina. Lalu kembali mengelus wajah yang terkejut itu. “Aku nggak bakalan jahatin kamu. Ayo masuk.” Menarik kembali tangan itu masuk kedalam lift.
Ada perasaan takut yang sedikit mengganggu hati Sherina. Untuk pertama kalinya ia pergi malam-malam dengan seorang pria. Takut jika akan terjadi sesuatu padanya. Begitu pintu lift terbuka, Vasco menarik tangan itu melangkah keluar, lalu berdiri di depan pintu bertuliskan HK117. Vasco memencet beberapa nomor, lalu mendorong pintu itu. Kembali menarik tangan Sherina untuk masuk kedalam.
“Ayo, duduk.” Menyuruh Sherina duduk disofa ruang tamu. “Aku ambilin minuman hangat ya.”
Tanpa menunggu jawaban sang kekasih, Vasco nyelonong pergi meninggalkan Sherina. Gadis itu duduk disofa, matanya menatap kesetiap barang yang ada disana. Semua mewah, cukup menunjukkan jika Vasco bukan orang sembarangan.
Klunting!
Ponsel dalam saku jaketnya berbunyi. Menandakan jika ada sebuah pesan masuk. Sherina merogoh saku jaket, membuka kunci pola, lalu membuka pesan wa yang masuk.
From Leon
[besok pagi gue hampiri, kita berangkat bareng. Sepeda lo masih rusak, kan?]
Srrtt ....
Sherina terlonjak saat sebuah tangan merebut ponselnya. Vasco mengetik pesan balasan dan langsung mengirimkan ke nomor Leon.
“Vas, kamu apaan sih!” berusaha merebut ponselnya, tapi tak berhasil.
Vasco menyimpan ponsel itu kesaku jaketnya. Meletakkan minum yang tadi ia bawa, lalu duduk disamping Sherina. “Aku nggak suka kamu berbalasan pesan sama cowok lain selain aku. Apa lagi mau apa tadi ....” terkekeh mengingat rentetan pesan yang tadi sempat ia baca juga. “Hampiri katanya. Enggak! Nggak boleh. Besok aku anter kamu kerja.”
“Hah?!” kembali kebingungan yang bercampur rasa kesal itu Sherina rasakan. “Aku sama Leon udah lama dekat. Kita satu partner di kerjaan. Kamu nggak boleh larang-larang aku gitu dong.”
“Bukannya tadi udah janji buat nurut ya? Kenapa sekarang nggak mau nurut?” menatap wajah kesal Sherina dengan sangat santai.
Sherina terlihat kebingungan untuk menjawab. Karna tak mungkin jika akan menjawabnya jujur. Bisa jadi cowok sinting ini kembali melakukan aksi gantung diri. Memilih menunduk dengan mengeratkan giginya. Membuang nafas panjang melalui mulut, berharap ia bisa lebih sabar lagi.
“Yaang, aku nggak mau kamu selingkuhin. Pokoknya, kamu Cuma boleh pergi sama aku. Nggak boleh sama cowok lain.” Menggeser pantatnya hingga mepet Sherina, lalu melingkarkan tangan kepundak, merangkul gadisnya sambil mengelus bahu itu. “Aku ... sudah beberapa kali di khianati. Aku nggak mau dikhianati lagi. Apa lagi dibohongi. Aku nggak mau.”
Sherina masih diam, memejamkan mata, berusaha meredam emosi yang hampir saja meledak. Pelan, tangan Vasco meraih tangannya, mengelusnya, lalu mencium punggung tangan lembut. “Jangan bohongi aku ya, yaang. Jangan pernah khianati aku.” Pintanya sedikit memohon.
Sherina menoleh, menatap wajah sang kekasih yang menatapnya penuh harapan. Mata mereka bertemu, saling tatap untuk beberapa menit.
“Kenapa malam itu kamu mau bunuh diri?” tanya Sherina yang mulai penasaran dengan masalah yang Vasco hadapi.
Vasco menarik tangan yang tadi melingkar dipundak Sherina, lalu menatap kearah lain dengan wajah yang salah tingkah. Terlihat jika enggan menjawab pertanyaan.
“Vasco, kamu nggak mau kasih tau aku?” Sherina menarik lengan Vasco agar cowok sinting ini menatapnya.
“Aku ... aku nggak apa-apa.” Jawabnya dengan menunduk. Terlihat sekali jika ia enggan membagi masalahnya.
“Well, you don’t believe me. And i have no meaning here.” Sherina beranjak.
Vasco menarik tangannya saat hampir melangkah. “Bukan, bukan begitu maksudku. Kamu penting, makanya aku tetap bertahan hidup. Semua karna kamu. Karna Cuma kamu yang anggap aku penting.” Mata cowok berambut pirang ini berair.
Sherina kembali duduk disamping kekasihnya. Menatap kekasihnya lekat. Ia semakin yakin jika Vasco sedang menghadapi sebuah masalah yang tak mudah.
“Aku ... aku nggak punya siapa-siapa lagi. Papi nikah lagi sama wanita yang udah bunuh mami. Lebih parahnya, ternyata mereka berdua sudah lama berselingkuh sejak mami sakit.” Bahu Vasco bergetar, cowok sinting ini menangis tertunduk.
“Satu tahun lalu, mami dilarikan ke rumah sakit, mami keracunan. Aku melihat dengan mataku sendiri, wanita itu yang udah masukin sesuatu dimakanan mami. Tapi saat itu, aku nggak berfikiran buruk. Hiks ... hiks ... aku nyesel, aku nyesel udah percaya sama Papi. Ternyata dia dan wanita itu sudah mempunyai hubungan sejak lama.”
Sherina mengelus punggung Vasco, menarik tubuh bergetar itu kedalam pelukannya. “Maaf, maafin aku karna harus ngingetin kamu tentang masa sulit. Maaf ....”
Vasco terisak kecil dalam pelukan Sherina, balas memeluk Sherina erat. “Ppliis, jangan pernah tinggalin aku. Jangan pergi, jangan ... aku butuh kamu. Cuma kamu yang peduli sama aku.”
Entah magnet dari mana, kepala Sherina ngangguk cepat. Memeluk tubuh tinggi itu, ia bisa merasakan kepedihan yang Vasco alami. Karna ia juga pernah ada diposisi seperti Vasco.
Setelah tenang, Sherina mengendurkan pelukannya. Menyandarkan kepala dibahu kekasihnya. Tangan kanannya digenggam erat oleh Vasco. Saling diam dengan rasa masing-masing.
“Besok aku antar kerja ya.”
Tak menjawab, Sherina hanya ngangguk pelan. Tak begitu lama, ia merem.