Sembilan

1259 Words
Ardan pov Jarum jam menunjukkan pukul 02.00 mataku masih enggan terpejam akhirnya kuputuskan mengambil air wudlu lalu melaksanakan sholat tahajjud, kuluapkan semua resah dalam hatiku bahkan sedikit memasaksakan kehendakku pada Sang Pemilik Hati agar Aisya tetap disisiku, jujur sungguh aku takut kekecewaan yang ia rasakan akan justru menjauhkan ia dariku. Ternyata caraku salah, aku hanya ingin menikmati proses saat ia jatuh cinta padaku. Lima tahun aku menunggu dan mencarinya hingga aku bertemu dan ia tak mengenaliku sama sekali, rasanya sakit tapi aku menganggapnya wajar toh waktu itu dia masih berusia 14 tahun tak mungkin aku memaksakan perasaanku padanya sedang aku mahasiwa semester akhir yang lebih pantas menjadi kakaknya bahkan om-nya. Kupejamkan mata beberapa menit sebelum aku beranjak dari atas sajadahku namun saat aku berbalik, tubuhku membeku degub jantungku berkejaran seperti seorang pidana yang menunggu detik-detik putusan hakim, Aisya berada di ujung ranjang kamarku sedang menatapku, entah apa yang sedang ia pikirkan tiba-tiba otakku yang lulusan cumlaude dari universitas cambridge menjadi linglung seperti ini. Aku tak berani membuka suara ataupun bergerak, yang kulakukan hanya menatap iris hitam pekat itu semakin dalam. "Mas aku boleh tidur di sini, aku nggak bisa tidur," ucapnya lirih masih membalas tatapanku, aku hanya mengangguk menyetujuinya lalu ia berbaring dan menarik selimut sampai dadanya. Dengan ragu aku mengikutinya merebahkan tubuhku disisinya, kami dalam posisi berhadapan saling menatap hanya kebisuan yang tercipta. Aku bisa merasakan kerinduan yang begitu dalam. Kuberanikan diri memecah kebisuan. "Aisya?" panggilku lembut. Melihatnya kacau dengan mata sembab hatiku seakan teriris, semua ini adalah ulahku. "Sssst..!" balasnya tanpa berucap sambil menutup bibirku dengan telunjuknya. Ia bergeser lebih dekat lalu memelukku erat, kubalas pelukannya dan kupejamkan mata menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam, semoga ini tak akan berakhir. *** "Aisya!" panggilku sambil meraba sisi ranjang ternyata Aisya sudah tak ada di sampingku, kukerjabkan mataku saat mentari mengintip jendela kamarku, aku segera bergegas sholat subuh. Setelah sholat kucoba mencari Aisya di kamarnya namun saat kuedarkan pandanganku ke seluruh penjuru kamar ternyata kosong dan ranjang sudah tertata rapi, kuturuni anak tangga menuju dapur aku bahagia ternyata ia di sana sedang asyik memasak lalu menatanya di meja makan sedang aku hanya memperhatikannya dalam diam. Pagi ini suasana menjadi canggung bahkan Aisya sendiri lebih memilih diam dan menghindar dari tatapanku. Sarapan pagi terasa sepi, hanya sesekali terdengar dentingan garpu dan sendok yang memecah keheningan . "Ehem..,"kucoba membuka percakapan, mendengar aku berdehem ia menghentikan kegiatannya menyuapkan nasi goreng ke mulutnya. "Aisya, Mas ada rapat jam 8 kamu gimana mau bareng Mas atau naik taxi?" ucapku berusaha membuka obrolan. sejak menikah Aku tak mengizinkan Aisya naik motor lagi. "Mas Ardan berangkat aja dulu, nanti aku naik taxi aja sekalian ingin ke makam mama, aku kangen mama!" jawabnya pelan dengan suara serak menahan isak. "Ya udah Mas pesenin taxi ya!" tawarku ragu, kugenggam tangannya erat, aku tau dia ingin sendiri, akan kuberikan waktu selama yang dia mau, aku akan menunggu hingga ia sendiri yang memberiku izin untuk menjelaskan semuanya. "Mau ditemenin Layla? Mas akan WA dia agar ke sini nemenin kamu?" tawarku, sungguh aku khawatir bila membiarkannya pergi sendiri, mungkin bersama Layla sahabatnya dia bisa merasa lebih baik, dulu setelah aku bertemu dengan Aisya di kampus aku sering memerhatikan Aisya bersama Layla dan Aisya selalu tampak ceria saat bersamanya. "Nggak usah Mas Ardan aku sendiri aja!" jawabnya singkat. "Ya udah hati-hati nanti klo ada, apa-apa segera telpon Mas!" balasku lalu menyelesaikan sarapanku. *** Aisya pov "Mama aku kangen...Mengapa mama tidak pernah bilang Mas Ardan adalah Bang Faris? Sekarang Aisya tahu mengapa mama menjodohkanku dengannya, Mas Ardan laki-laki baik Ma justru Aisya yang egois mementingkan perasaan Aisya sendiri, sekarang Aisya bingung bagaimana caranya meminta maaf padanya." kuluapkan semua emosiku sambil memeluk batu nisan mama, setelah puas aku menangis kubuka buku tahlil dan membacakan doa untuk mama tak lupa kutaburkan bunga Mawar dan kusematkan sebuket bunga lily di samping batu nisan, bunga kesukaan mama. Drrrrt... Suara hanphone mengagetkanku tak terasa hampir 2 jam aku di sini. Kugeser pola dilayar handphoneku dan mengangkatnya. "Assalamualaikum sayang?" suara lembut dari ujung telpon. "Waalaikumsalam Mama," jawabku sambil mengusap sisa-sisa air mataku. "Kamu bisa ke rumah Mama sebentar? Mama ingin bicara?" tanya mama, aku bisa merasakan mama sepertinya khawatir mungkin Mas Ardan yang menelpon mama. Meskipun hanya menantu Mama Liana sangat menyayangiku, kadang aku menemukan sosok mama dalam diri mama Liana, papa juga demikian beliau sangat baik tidak seperti papa kandungku yang tega meninggalkan mama dan aku demi wanita lain. "Aisya, kamu nggak papa Nak? Kamu di mana biar dijemput supir mama!" panggil mama khawatir karena aku tidak menjawab entah berapa kali mama memanggilku, aku masih terbawa arus kesedihan karena mengingat orangtuaku. "Oh.. Maaf ma, nggak usah ma saya naik taxi saja!" jawabku terbata karena kaget. Setelah mengucap salam kuakhiri telepon mama. *** Sampai di rumah mewah bernuanca coklat dan gold, aku langsung memeluk mama dengan sayang, mungkin karena panik mama menungguku di teras depan rumah, lalu mama mengajakku ke taman belakang rumah, aku sempat terhipnotis saat memasuki taman belakang ini, kata mama ini adalah tempat favoritnya. Pandangan pertama, aku disuguhkan dengan kolam kecil yang dibuat persis sungai dengan bebatuan dan air mancur di sisi kiri, ikan koi warna-warni sebagai penghuninya, di pinggiran kolam terdapat berbagai tanaman hias, di sebelah barat kolam terdapat gazebo kecil untuk tempat santai, terasa asri dan tenang, kulempar pelet yang diberikan mama padaku, aku tersenyum girang saat melihat ikan koi berebut makanan, lucu dan menggemaskan. Banyak kupu-kupu warna-warni beterbangan menghisap madu dari kelopak bunga-bunga yang bermekaran. "Aisya kamu sedang bertengkar dengan Ardan? Maafkan mama klo harus ikut campur!" ucap mama yang membuatku mengalihkan perhatianku padanya. Aku hanya tersenyum sebagai jawaban. Sebenarnya aku yakin Mas Ardan tidak bermaksud merahasiakannya dariku, pasti ada alasan lain. Tiba-tiba mama mengenggam tanganku erat seperti menyalurkan kekuatan untuk menceritakan sesuatu yang besar. Ada banyak pertanyaan bersarang di kepalaku yang ingin kutanyakan tapi lidahku kaku tak bisa berucap. "Nak maaf klo mama akan menyakitimu tolong dengarkan mama cerita sampai selesai, setelah itu kamu boleh bertanya apapun, mama akan menjawabnya!" mama terlihat ragu saat mengatakannya. Akupun menyiapkan hati tentang apapun kebenaran itu meskipun terluka, aku yakin semua menyangkut masa laluku. "Nak, dulu aku dan Mila mama kamu adalah sahabat lama, kami bersahabat sejak SMP hingga SMA, saat kuliah kami berpisah karena Mamamu memilih kuliah di Surabaya sedangkan aku memilih kuliah di Yogyakata. Lama berpisah kami bertemu kembali saat reoni SMA, kami membawa pasangan masing-masing, nah di situlah kami menjadi lebih akrab apalagi ternyata papa kamu dan papa mertuamu juga bersahabat. Kita pernah bertemu sebelumnya waktu itu kamu masih berusia 3 tahun, kamu lucu, cantik dan menggemaskan dengan rambut berkuncir dua. Pasti kamu sudah lupa, nah waktu itu kita sempat berencana menjodohkan kalian." Deg...aku dan Mas Ardan dijodohkan???. “Kami sengaja tidak memberitahu kalian, menunggu kalian dewasa dan cukup umur. Hingga akhirnya persahabatan kami renggang gara-gara skandal papa kamu dengan sekertarisnya bernama Rissa ketahuan papa mertuamu." sejenak mama menarik nafas panjang sebelumnya melanjutkan ceritanya. "Mila adalah pewaris tunggal Arrayan compony, perusahaan yang bergerak dibidang property, setelah menikah mamamu memutuskan menjadi ibu rumah tangga, semua urusan kantor diserahkan kepada papamu dan Rissa adalah orang kepercayaan mamamu sekaligus adik sepupunya." Mama menatapku lama sebelum melanjutkan ceritanya, ia tampak khawatir namun aku berusaha tersenyum untuk menguatkannya dan batinku sendiri. Kuelus tangannya dan mengangguk untuk menyakinkannya. "Aisya, apa kamu tak ingin bertemu papamu?." ucap mama yang seketika membuat duniaku seakan runtuh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD