"Jawab, Niar ...," ujar Aksa, lebih terdengar seperti rintihan daripada sebuah pertanyaan. Niar tak tega merusak hati pria itu. Seketika ia teringat oleh duka mendalam yang pernah diceritakan Aksa padanya tentang keluarganya yang minus kasih sayang. Ia takut akan menyakiti hatinya kembali dengan pernyataan jujurnya. "Abaikan saja ucapanku seperti biasanya. Kamu memang nggak pernah mau dengerin kata orang, kan?" Niar berdalih untuk mengalihkan pembicaraan. Tak sukses. Aksa tetap mengejar jawaban darinya. "Katakan, apa benar hadirku hanya sebuah kesialan saja bagimu?" ulang Aksa kini memegang kedua lengan Niar agar gadis itu tak dapat berlalu sebelum menjawab tanyanya. Niar menguatkan hatinya sebelum memutuskan untuk berkata, "Ya ... semenjak bertemu kamu memang hidupku selalu sial dar