Gwen terkejut ketika membuka pintu, kakinya hampir menginjak buket bunga yang tergeletak di bawah. "Buket bunga? Dari siapa?"
Gwen lantas mengambilnya, dan urung keluar rumah untuk pergi ke toko. Tadinya dia berniat ingin membeli sesuatu di sana. Kembali masuk dan menutup pintunya lagi, Gwen mengendus kelopak bunga favoritnya itu dengan senyum lebar.
"Harum."
Mawar merah adalah bunga favorit Gwen sejak kecil. Kata ibunya dulu, mawar merah itu melambangkan cinta dan keberanian. Hingga Gwen dewasa pun bunga tersebut masih menjadi favoritnya.
"Bunga dari siapa, Gwen?" tanya Tuan Jimmy yang baru saja keluar dari kamarnya. "Uhuk-uhuk!" Beliau terbatuk-batuk sambil berjalan menuju meja makan, hendak mengambil segelas air yang selalu tersedia di sana.
"Ayah!" Gwen seketika panik, dan gegas menghampiri ayahnya ke meja makan. "Biar Gwen yang ambilkan. Ayah duduk saja."
Tuan Jimmy menuruti perintah puterinya, lalu duduk dan terus terbatuk, sementara Gwen menaruh buket mawar ke meja, lalu menuangkan air dari teko ke gelas.
"Minum dulu, Ayah." Gwen menyodorkan gelas tersebut ke ayahnya yang tak berhenti terbatuk-batuk. "A-ayah, kulit ayah?" Maniknya terbelalak saat dia baru menyadari kulit ayahnya yang menguning, dan kukunya yang kebiruan.
Gwen semakin terkejut ketika telapak tangan ayahnya dipenuhi dengan darah kental, darah yang keluar dari mulut saat terbatuk.
"Ayah!"
Gelas di genggaman seketika terjatuh ke lantai hingga menimbulkan bunyi gaduh, dan lantai menjadi basah karena air yang tumpah. Beling nampak berserakan di bawah sana.
Gwen bergegas mengambil tisu dari wadahnya, lalu membantu Tuan Jimmy membersihkan telapak tangannya. Kepanikan dan ketakutannya semakin mencuat melihat wajah ayahnya yang ternyata sangat pucat.
"A-ayah, i-ini bagaimana? Gwen takut! A-ayah …." Tangan Gwen sampai gemetaran, karena kondisi ayahnya yang sepertinya kambuh. "Ki-kita ke rumah sakit. Sekarang! Ayah tunggu sebentar, Gwen mau ambil ponsel di kamar dulu."
Tuan Jimmy tak merespon, dia hanya mengangguk lemah, lantaran tidak sanggup bicara karena dadanya terasa sangat sesak. Sedangkan Gwen berlarian menuju kamarnya untuk mengambil ponsel dan dompetnya.
Setelah beberapa saat, Gwen kembali tanpa mengganti bajunya lebih dulu. Dia memakaikan jaket ke ayahnya, agar tidak kedinginan. Di musim dingin seperti sekarang memang sangat tidak baik bagi kondisi ayahnya yang memiliki riwayat penyakit kanker paru-paru.
"Sebentar, Ayah. Gwen pesan taksi dulu."
Gwen memesan taksi daring di aplikasi yang sudah menjadi langganannya selama ini. Setelah itu memasukkan ponselnya ke tas selempang yang menggantung di bahunya.
Sembari menunggu taksi datang, Gwen mengambil sepatu di rak yang berada di sudut dapur. Memakainya kilat, lalu menghampiri ayahnya lagi.
"Ayah tahan sebentar, ya? Gwen sudah pesan taksi," ucap Gwen sambil menuang air lagi ke gelas. "Ayah minum dulu." Membantu sang ayah minum dengan hati-hati, lantas setelah itu mengelus-elus punggung Tuan Jimmy.
Menunggu hampir sepuluh menit, taksi yang dipesan pun akhirnya datang, terdengar dari bunyi klakson yang sengaja dibunyikan sang sopir, sebagai penanda.
"Taksinya sudah datang, Ayah. Ayo, Gwen bantu."
Tak perlu susah payah, Gwen membantu ayahnya bangkit dari duduknya. Tubuh yang awalnya kekar dan besar itu makin hari makin menyusut. Selama sakit, berat badan ayahnya terpangkas puluhan kilo. Yang awalnya 90kg, kini menjadi 55kg.
Sepagi ini udara terasa sangat dingin, menusuk sampai ke tulang-tulang dan persendian. "Hati-hati, Yah."
Sebelum pergi, Gwen tak lupa mengunci pintu rumah, karena di daerah tempatnya tinggal ada banyak pencuri.
Sopir taksi gegas keluar dari taksi dan berinisiatif memberikan bantuan. "Saya bantu." Dia memegangi lengan Tuan Jimmy, lalu menuntunnya dengan hati-hati menuju mobil yang terparkir di luar rumah.
"Terima kasih," ucap Gwen yang ikut membantu. "Antar kami ke rumah sakit terdekat."
"Baik." Sang sopir mengangguk, lantas membukakan pintu belakang mobil. Membantu Tuan Jimmy masuk, dan Gwen menyusul masuk.
Setelah memastikan kedua penumpangnya naik dengan aman, sang sopir yang juga mengenakan jaket tebal itu buru-buru masuk ke mobil. Menancap gas dengan kecepatan agak tinggi karena kondisi Tuan Jimmy yang mengkhawatirkan.
"Ayah, Ayah, tahan sebentar, ya? Please ... Tuhan, jangan biarkan terjadi hal buruk pada ayahku." Gwen menangkup kedua tangannya di dagu, memohon dengan isak tangis yang tidak bisa dibendung lagi.
Sedangkan sang ayah yang berada di pangkuannya tidak berhenti terbatuk-batuk. Semakin menambah kecemasan Gwen.
"Tolong lebih cepat sedikit! Ayahku semakin kepayahan," mohon Gwen serak, tangis ketakutan terdengar memilukan. "Please, Dad! Bertahanlah, demi Gwen …."
"Baik." Sang sopir menambah kecepatan mobil yang dikendarainya, dia sendiri cemas dengan kondisi penumpangnya yang terlihat semakin parah.
Taksi berwarna kuning itu melaju kencang, membelah jalanan kota Birmingham yang masih nampak lengang. Selama hampir lima belas menit berkutat di jalan, taksi pun telah tiba di tempat tujuan.
Sang sopir memarkir taksinya tepat di pintu masuk rumah sakit, lalu berlarian meminta tolong pada beberapa perawat yang bertugas di bagian tersebut.
Dua perawat laki-laki gegas menarik brankar, dan mendorongnya menuju keluar. Sementara sang sopir membukakan pintu mobil dan membantu Tuan Jimmy bangun.
***
Gwen berjalan mondar-mandir di depan pintu IGD dengan sisa-sisa isakannya. Menangkup kedua tangannya di bawah dagu sambil memejamkan mata. Dalam hatinya Gwen tak berhenti merapal doa agar ayahnya dapat diselamatkan.
"Kenapa lama sekali?" Gwen menatap pintu yang tak kunjung terbuka itu dengan perasaan takut bukan main. "Ayah pasti selamat. Ayah pasti selamat. Ayah pasti selamat."
Mulutnya tak henti menggumamkan kalimat itu, sembari terus mondar-mandir.
Sudah lama sekali penyakit ayahnya tidak kambuh, dan sekalinya kambuh benar-benar menakutkan.
Telinga Gwen mendengar derit pintu yang terbuka, gegas dia membuka mata, dan secepat kilat mendekat. Dokter laki-laki keluar dengan raut muka serius.
"Bagaimana kondisi Ayah saya, Dok?" tanya Gwen tak sabaran.
Dokter berambut pirang itu menghela panjang. "Ayah Anda harus segera dioperasi, Nona. Penyakitnya sudah menjalar ke seluruh tubuh. Kita tidak boleh menunda lagi," paparnya, mengatakan perkiraan buruk yang bisa terjadi.
"Ta-tapi, Dok. Sa-saya masih belum ada biayanya. Ap-apa bisa tolong lakukan saja, Dokter? Soal biaya, nanti saya akan berusaha mencarinya," pinta Gwen memelas. Dia pun bingung hendak mencari uang sebanyak itu di mana.
"Bisa saja, Nona. Asal Anda membayar paling tidak separuh dari biaya operasi. Bagaimana? Kalau Anda sanggup, silakan konfirmasi di bagian administrasi. Kalau sudah, kami akan segera melaksanakan operasinya. Permisi."
"B-baik, Dok."
Gwen menatap nyalang punggung dokter yang berbalut jas putih itu, meninggalkannya dengan sebuah pilihan yang cukup sulit.
"Semoga tabunganku cukup untuk membayar separuh biaya operasi Ayah. Nanti sisanya akan aku pikirkan."
Tak ingin menunda, Gwen lekas pergi menuju bagian administrasi, guna melakukan p********n di muka. Dengan segenggam harapan yang bergantung pada isi saldo di rekeningnya.
***
bersambung ...