'Lima tahun yang lalu? Itu saat Ayah bangkrut dan kami memutuskan pindah ke sini.' Batin Gwen yang termangu.
Dia tidak pernah menyangka jika Nich mencarinya. Atau itu hanya sebuah omong kosong Nich, pikir Gwen.
'Tidak mungkin dia mencariku.'
Logika dan hati Gwen saat ini bertolak belakang. Inginnya dia mempercayai Nich, akan tetapi rasa sakit akibat ditinggalkan belum sepenuhnya sembuh. Hari-hari yang dijalani Gwen sangat sulit kala itu.
"Gwen," panggil Nich.
Terkesiap, Gwen lantas menatap Nich.
"Kenapa kau diam?" Mata Nich menyipit, mencoba membaca raut muka Gwen yang tidak berekspresi.
"Lalu, aku harus bersikap bagaimana? Kau mengharapkan apa?" Raut datar itu berubah menjadi dingin. Gwen tersenyum mengejek. "Kau tiba-tiba menghilang, Nich. Aku berusaha menunggumu. Tetapi, kau tidak pernah datang lagi."
"Aku pergi karena suatu alasan," sahut Nich membela diri, supaya Gwen tidak berpikir jika Nich adalah pria yang kejam.
Di dalam ruangan temaram yang diiringi alunan musik merdu, suasana berubah menjadi sedikit melow. Kedua insan itu saling menatap di bawah cahaya lampu kelap-kelip. Nich nampak menyesali perbuatannya, sementara Gwen nampak memendam luka yang dalam.
"Aku tak peduli alasanmu." Gwen memutus tatapan lebih dulu, memilih menggulirkan matanya ke sisi kanan—menatap sebuah bangku kosong di sudut ruangan itu.
Sejenak, Gwen memejam, berusaha tetap tenang, menyingkirkan sisi emosional-nya. Membuang jauh-jauh kenangan yang sudah lama sekali terkubur. Dia tidak mau terlalu larut dalam percakapan yang terus mengarah pada masa lalu tersebut.
Tenang, Gwen.Tenang.
Tangan Nich terjulur, memegang punggung tangan Gwen. "Aku benar-benar mencarimu. Bisnisku berhasil, dan saat itu yang ada di pikiranku hanya kau, Gwen. Percayalah," ucapnya meyakinkan.
"Sudahlah, Nich. Hubungan kita sudah lama berlalu. lebih baik kita jalani hidup kita masing-masing. Sekarang, kau dan aku sangat berbeda. Aku hanya seorang penari dan kau ..." Gwen menjeda ucapan, menoleh pada Nich, dan memindai penampilan lelaki itu sekejap. "Kau sudah sukses sekarang, Nich. Masa depanmu terjamin. Jangan berharap apa pun dari perempuan sepertiku."
Setelah mengatakan fakta yang terpampang jelas di depan mata, Gwen menarik tangannya, dan Nich seketika merasa kehilangan kehangatan menggenggam tangan Gwen. Telapak tangan Nich mengepal di atas meja, menatap nanar Gwen yang turun dari stoolbar.
"Gwen, dengarkan aku," kata Nich menginterupsi langkah Gwen yang terhenti di depan pintu.
Lelaki berkemeja putih itu lantas berdiri, menyambar buket bunga mawar yang sempat dia bawa dari sisi meja. Nich melupakan niatnya yang ingin memberikan bunga itu untuk Gwen.
Sementara Gwen enggan berbalik, dia memunggungi Nich, menyembunyikan matanya yang sudah berair. Jas Nich yang melekat di tubuhnya, dia genggam kuat-kuat bagian atasnya. Gwen tidak sadar akan hal itu. Saat ini dia hanya ingin segera pergi dari hadapan lelaki itu.
Nich melangkah menghampiri, dengan sebuket bunga mawar di tangan. Dengan lembut dia menawarkan diri. "Boleh aku mengantarmu pulang?"
Terkejut tawaran Nich, Gwen sampai menajamkan pendengarannya.
'Apa? Apa katanya tadi? Mengantarku pulang?' benak Gwen menyeru.
"Ayo, aku akan mengantarmu pulang," ulang Nich, karena tidak mendapatkan respon dari Gwen. Kakinya melangkah semakin dekat, tepat di belakang punggung Gwen yang membeku di tempatnya.
"Kenapa Gwen diam saja," batin Nich resah sendiri, mengeratkan rahangnya memindai Gwen yang bergeming.
"Gwen?" tegur Nich sekali lagi. "Berbaliklah, aku membawakan sesuatu yang kau sukai." Buket mawar di tangan Nich endus sesaat, baru kemudian dia menyentuh lengan Gwen.
"Kau tidak perlu repot-repot, Nich. Aku bisa pulang sendiri, dan maaf aku tidak tertarik dengan apa yang kau bawa," sahut Gwen dingin, sembari menyingkirkan tangan Nich yang memegang lengannya.
Keinginan untuk berbalik sebenarnya ada, begitu pun tawaran Nich pun yang menyentuh hatinya. Akan tetapi, Gwen harus menahan diri supaya tidak terjatuh lagi ke dalam lobang yang sama.
"Ayolah, Gwen. Biarkan aku mengantarmu." Nich memaksa, tak mau mengalah dan pantang menyerah. "Aku bawa mawar merah untukmu," imbuh Nich tersenyum, menatap buket bunga di tangan.
"Mawar merah? Nich masih ingat bunga kesukaanku?" batin Gwen, sejenak pendiriannya goyah. "Tidak! Itu pasti hanya akal-akalannya. Kau tidak boleh tertipu lagi, Gwen."
"Tidak perlu. Aku bisa sendiri," ketus Gwen yang pada akhirnya tetap kukuh pada pendiriannya.
Sambil menahan kesal, Gwen lantas meraih gagang pintu dan membukanya. Dia keluar dan benar-benar pergi dari ruangan tersebut tanpa menoleh ke belakang lagi, meninggalkan Nich yang mematung.
"Aku pasti bisa mendapatkanmu lagi, Gwen," gumam Nich percaya diri, mengeraskan rahang, sambil menghirup kelopak mawar.
***
Malam ini Gwen lebih awal tiba di rumah, daripada malam-malam sebelumnya. Begitu masuk, dia melihat sang ayah tengah duduk di depan perapian sambil menikmati secangkir teh. Kelihatannya teh itu baru saja dibuat, karena masih mengepulkan asap di atasnya.
"Selamat malam Ayah." Gwen langsung menghambur ke pelukan Tuan Jimmy, setelah menutup lalu mengunci pintunya lagi.
Tuan Jimmy mengerutkan alis, sambil membalas pelukan puterinya. "Kau sudah pulang? Tidak biasanya kau pulang di jam segini?" tanyanya heran, lalu mengarahkan pandangan pada jam klasik yang menggantung tepat di atas tembok perapian. "Masih pukul sepuluh."
Bibir Gwen melengkung, mengurai pelukan lalu menarik diri. "Gwen tidak enak badan, Ayah. Jadinya Gwen minta izin pulang lebih dulu pada Daniel," jawab Gwen beralasan, berpura-pura mengusap tengkuk sambil memasang raut lelah.
"Kau sakit?" Raut Tuan Jimmy berubah cemas, hendak berdiri tetapi dicegah oleh Gwen.
"Mungkin karena cuacanya, Ayah." Gwen beralasan lagi.
"Lalu itu? Apa yang kau bawa, Gwen?" Pandangan Tuan Jimmy tertuju pada jas yang tersampir di lengan Gwen.
Gwen seketika gugup, serta kebingungan. "Ah, ini jas-nya Daniel. Tadi Gwen meminjamnya dan lupa mengembalikan."
'Gara-gara Nich, aku jadi harus berbohong pada Ayah. Ck!' Gwen menggerutu dirinya sendiri.
Tuan Jimmy mengangguk percaya. "Ya sudah, kau mau makan malam? Ayah akan membuatkanmu sesuatu," ucapnya sambil beranjak menuju dapur.
"Tidak-tidak. Ayah tidak perlu repot-repot memasak. Gwen tidak berselera makan. Gwen hanya butuh tidur." Gwen mengikuti sang ayah ke dapur yang sudah membuka lemari pendingin.
"Kau tidak lapar?" Kepala Tuan Jimmy meneleng ke samping.
Gwen menggeleng.
"Kalau berani ayah akan buatkan teh jahe madu supaya badanmu kembali segar."
Seulas senyuman terbit di bibir Gwen. "Thank, Dad. Ayah yang terbaik. Love you, Dad. So much!" Gwen langsung memeluk ayahnya dari belakang, sementara tangan Tuan Jimmy sedang mencari-cari sesuatu di dalam lemari pendingin.
"Love you, My Princess. Tuhan selalu melindungi dan memberkatimu." Tuan Jimmy menutup pintu kulkas setelah mengambil jeruk lemon dan jahe, lalu berbalik dan mencium pipi Gwen.
Ayah dan anak itu tertawa, larut dalam suasana hangat yang jarang sekali terjadi. Biasanya saat Gwen tiba di rumah, sang ayah pasti sudah tertidur dan baru bisa bertemu keesokan paginya. Mereka juga jarang makan malam bersama semenjak Gwen bekerja di Fight's Club.
"Masuklah ke kamarmu. Nanti kalau tehnya sudah jadi, ayah akan mengantarnya ke kamarmu," kata Tuan Jimmy, mulai mencuci lemon dan jahe di wastafel.
"Oke." Gwen meninggalkan dapur, lalu berjalan menuju kamarnya.
Setibanya di kamar, Gwen langsung menutup pintunya dan melempar jas Nich ke sembarang tempat. "Nich sialan!" umpatnya, membuang kasar napasnya, lalu melepas jaket bulu dan menggantungnya di belakang pintu.
"Gara-gara dia aku jadi harus berbohong pada Ayah. Kenapa juga aku lupa mengembalikannya. Dasar aku!" Mulut Gwen terus menggerutu.
Sementara di luar rumah Gwen kini terlihat sebuah mobil Ford Fiesta terparkir di pinggir jalan. Mobil tersebut mengikuti taksi yang ditumpangi Gwen, dan berhenti tepat di sini.
"Jadi sekarang dia tinggal di sini? Di rumah ini?" Nich sempat tidak percaya jika Gwen tinggal di rumah yang ukurannya sangat jauh berbeda dengan ukuran rumahnya yang dulu.
Rumah sederhana yang mungkin hanya muat ditinggali dua atau tiga orang saja, yang pagarnya dari besi yang sudah karatan. Halaman rumah pun tidak terlalu besar, dan tidak akan muat untuk memarkir satu unit mobil. Bukan di kawasan elite tentunya. Melainkan pemukiman yang terbilang agak kumuh.
"Ayahnya bangkrut lima tahun yang lalu, dan yang saya dengar dia juga sedang sakit." Dean bersuara setelah selesai membaca informasi dari layar pipih di tangannya. Info mengenai Gwen telah dia dapatkan dari sumber yang selama ini sangat akurat.
"Sakit? Sakit apa?" Alis Nich terangkat tinggi. Pandangannya masih tertuju pada pintu kayu bercat cokelat yang warnanya sudah memudar dan usang.
"Sakit Kanker Paru-paru, Tuan." Dean menoleh ke Nich yang tidak menatapnya, dan malah menatap rumah Gwen.
"Kanker?" Barulah Nich menggulirkan bola matanya ke arah Dean, dengan sepasang alisnya yang tertaut satu sama lain.
"Iya, Tuan." Dean mengangguk.
Mulut Nich membentuk sebuah seringai. Tiba-tiba di otaknya muncul sebuah ide. "Mungkin, aku akan mengambil kesempatan ini. Dengan begitu, aku bisa mendapatkan Gwen kembali," ucapnya sembari mengusap dagu dengan arah pandang lurus ke depan.
"Maksud Anda?" Kini sepasang alis Dean yang menaut.
"Dua hari lagi kita akan kembali ke London bersama Gwen," sahut Nich dengan seulas senyum.
***
bersambung ...