Ada yang bersikap seperti tidak punya hati, karena sudah terlalu lelah sakit hati.
- Fiersa Besari
07 Juli 2014
"Eh Lif, lo ada nomor hapenya Ara ga?" tanya Elang mendekatkan wajahnya ke Olif.
"Lo bisa ga, ngomongnya jauh dikit?" sungut Olif.
"Yaelah. Iya iya." Elang lalu duduk di meja guru. Olif hanya memandang dengan tatapan 'ga lucu Lang' lalu kembali sibuk memainkan kalkulatornya.
"Hehehe... Serius deh Lif, elo ada gak?" kata Elang berbisik. Entah sejak kapan Elang sudah berpindah tempat duduk lagi kedekat Olif.
"Kaga ada. Dia ga punya hape," jawab Olif dengan entengnya, masih terlihat sibuk dengan kalkulatornya.
"Eh?! Serius lo?"
"Iyalah! Dia kan anak kasta tiga, mana punya hape!" ucap Olif sambil mendengus kasar. Tapi seketika, Olif langsung menutup mulutnya. Untung tidak ada yang mendengar karena kelas sedang sepi di jam istirahat.
Inilah SMA Nusantara. Yang isinya berhamburan anak-anak orang kaya dan merupakan sebuah sekolah elite nan bergengsi di Kota Bandung. Namun, SMA Nusantara juga memberi kesempatan kepada anak-anak beasiswa yang terbagi menjadi dua kategori; satu karena dia memang memiliki otak brilian, kedua memang karena anak itu miskin semiskin-miskinnya orang, namun untuk menduduki kategori ini juga sangat sulit, harus ada rekomendasi dari orang yang juga cukup berpengaruh di sekolah itu sendiri, salah satunya Ara.
Juga, hanya sedikit saja kursi untuk beasiswa kategori kedua ini, sekitar satu sampai dua persen, bahkan ada angkatan yang tidak punya kursi ini sehingga keberadaannya sangat langka. Tapi sekolah juga punya kebijakan untuk tidak memberitahu para siswa, siapa saja yang berada di kasta tiga (itulah kira-kira sebutannya), karena ditakutkan akan adanya pembully-an.
Lantas, Elang yang mendengar perkataan Olif langsung terkejut.
"Nggak Lang! Maaf gue salah ngomong. Bukan, Ara bukan kasta tiga kok beneran," ujar Olif cepat sambil mengecilkan suaranya takut didengar Edgar.
Namun, Edgar yang sedari tadi sibuk dengan game COC-nya bahkan tidak mendengar perkataan Elang dan Olif, dan tetap sibuk menatap layar handphone-nya.
Tapi, satu kalimat yang bisa membuat Edgar berpaling dari COC-nya.
'Gar, cepetan ke kantin, gue traktir.' -__-
...
'Mana tuh cewek?' Elang membatin sambil menyapu pandangannya ke setiap sudut kantin. Namun hasilnya nihil, Ara tak ada.
"Gar, elo gabung sama anak-anak aja. Gue ada kerjaan bentar. Nih dompet gue." Elang melemparkan dompetnya pada Edgar, dengan refleks Edgar menangkapnya.
"Ben.." belum sempat Edgar melanjutkan perkataannya, "Ada kok isinya," ujar Elang dan langsung melangkah keluar dari kantin. Elang memutuskan untuk kekelas Ara. Tentunya di koridor D yang dibenci Elang.
Sesampainya di depan kelas Ara, Elang hanya melongokkan kepalanya mencari keberadaan cewek itu tanpa berkata apa-apa.
Seperti yan diekspektasikan, 'Kyaa!! Kak Elang, ngapain kesini? Kak makan. Kak nyariin kita ya? Kak.. Kakk...'
'Najis, ribut amat elah.' Elang membatin kesal, lalu sekilas ia menoleh kearah papan kehadiran. Disana tertulis 'Adea Anara (Izin)'.
Kemana dia?
Elang akhirnya memutuskan kembali ke kantin menemui Edgar.
...
Setelah bel masuk, Elang langsung mendekati Olif lagi.
"Lif kok Ara ga masuk? Elu tau ga dia kemana?"
"Gatau," jawab Olif datar.
"Kok gatau sih. Elo tau dia kasta tiga darimana?" tanya Elang lagi mengecilkan suaranya. Namun entah setan apa yang sedang berada di telinga Edgar, cowok itu menjadi 'tumben kedengaran'.
"EH! Bentar bentar! Apaan tadi yang kasta tiga?! Siapa?!" suara Edgar mendominasi seisi kelas layaknya toa masjid, sehingga semua menoleh mendengar kata-kata langka itu.
"Gue gaprok juga ni anak! Diem kaga lu!" marah Elang, sambil menyumpal mulut Edgar dengan penghapus di mejanya.
"Kalian juga, ngapain liat-liat!" bentak Elang galak. Terpaksa mereka mengalihkan perhatiannya lagi ke buku pelajaran, walaupun mereka masih benar-benar sangat penasaran.
"Minta nomor elo deh Lif." Elang melanjutkan obrolannya dengan Olif.
"Buat apaan sih?" jawab Olif masih tak acuh.
"Buat nomor lotre!" sungut Elang.
"Assalamualaikum."
"Asem, pelajaran si Babon!" ucap Elang dan Edgar bersamaan.
"Ck! Nih Lif hape gue. Cepet lu tulis nomor elo disitu," bisik Elang. Terpaksa Olif memberikannya.
...
07 Juli 2014, malam.
Elang: Malem Lif.
Olif: Mlm
Elang: Pelit amat lu ngetik. Lagi ngapain?
Olif: Srh. Mkn.
Elang: Ohh.. Gue ganggu kaga?
Olif : Y
'Sabar Lang, sabaarrr,' batin Elang. Lalu menunggu sekitar dua puluh menit, lalu meng-smsnya lagi.
Elang: Udah makannya?
Olif: Y
Elang : Jadi gue boleh nanya nih?
Olif: Y
'Bujubuset ni anak, ga ada huruf lain apa selain huruf y di keyboard-nya.'
Elang : Lu tau darimana Ara kasta tiga?
Olif : G sgj dgr ps d ktr.
"Najong banget ya lord. Sakit mata gue bacanya. Masih ada ya orang nyingkat-nyingkat gini kalo nulis. Untung gue yang butuh, kalo kaga gue gibeng juga ni cewe!" sungut Elang kemudian memutuskan untuk meneleponnya saja.
"Hallo Lif." Elang membuka suara lebih dulu.
"Ngapa?"
"Kok bisa dia minjem buku ke elo. Terus elo sampe kekelasnya gitu kemaren pas gue ngepel koridor D? Terus juga kok elu ga nyebarin ke anak-anak lain dia kasta tiga?" tanya Elang langsung to the point.
"Dia pernah deket sama gue pas MOS kemaren. Dan gue masih punya hati."
Gila ae ni anak, jawabannya singkat padat dan jelas. Bingung gue mau jawab pa'an.'
"Ohh gitu." Akhirnya hanya itu yang keluar dari mulut Elang.
"Udah gue mau belajar," seru Olif ketus.
"Yaudah, selamat belajar qa--"
Tut...
'Gahar banget ni anak, a***y!' Elang mengelus dadanya lalu memilih berguling di kasurnya.