Di rumah sederhana milik Eliza, gadis kecil itu masih terlihat sedih, setelah mendengar sendiri kalau ibu kandungnya tidak menganggap dirinya anak.
"Nek ... kenapa Ibu tidak mau menganggap Putri ini anak lagi, apa Putri nakal, Nek?" tanya Putri dengan nada sedih.
Kedua kelopak matanya sudah berkaca-kaca, meskipun saat ini usia Putri sudah memasuki 6 tahun. Gadis kecil itu mulai mengerti, akan pembicaraan orang dewasa.
Bu Susan yang tidak ingin cucunya sedih, ia berusaha mengalihkan pembicaraan dengan Putri.
"Ssttt ... bukan seperti itu, Sayang. Kamu jangan pernah punya pemikiran begitu, ya."
"Ibu Eliza tetap menjadi Ibu Putri. Tapi, mulai sekarang kamu jangan lagi memanggil nama Ibu di depan orang-orang, ya. Takutnya Ibu kamu marah, kalau di rumah tidak apa-apa."
Putri yang bingung akan panggilan nama ibunya, bertanya panggilan apa untuk memanggil nama Eliza saat di luar rumah.
"Lalu ... Putri harus memanggil nama Ibu apa, Nek?"
"Eemm ... panggil apa, ya, Nenek cari nama yang tepat saat memanggil nama Ibumu," terlihat Bu Susan sedikit berpikir keras, mencari panggilan nama yang tepat saat memanggil Eliza.
Karena melihat penampilan Eliza masih muda, dan cantik. Bu Susan menyarankan Putri untuk memanggil nama Eliza dengan sebutan kakak.
"Karena Ibu kamu masih muda, dan cantik. Panggil saja nama Ibu, dengan sebutan Kakak, ya. Kalau nanti Ibumu ada di rumah, kamu bisa memanggil Ibu lagi, gimana?"
"Apa kamu mengerti, Sayang?" tanya lembut Bu Susan.
"Mengerti, Nek," Putri anak cukup cerdas, meskipun sekali ia diberitahu ia sudah paham.
Sesaat Bu Susan menatap jam dinding, ia melihat sudah waktunya berangkat ke sekolah Putri.
"Ah ... sudah hampir jam tujuh, ayo kita sarapan dulu. Takutnya nanti kita terlambat ke sekolah, Sayang," ajak Bu Susan sedikit panik, karena takut terlambat.
Putri hanya bisa menurut, karena memang gadis kecil itu anak yang baik dan pintar.
Bu Susan menyuapi Putri penuh kasih sayang, sesekali ia menyuapkan makanan ke dalam mulutnya sendiri. Tidak sampai sepuluh menit, mereka berdua sudah selesai sarapan.
Beruntung sekolah Putri tidak jauh dari rumah Bu Susan. Jadi, mereka masih bisa mengejar waktu sampai Putri masuk ke kelasnya.
***
Sementara Bu Susan mengantar Putri ke sekolah, di dalam taksi online terlihat Eliza kembali mencoba menghubungi nomor handphone Adrian.
Namun, sudah berapa kali Eliza mencoba. Nomor yang ia hubungi, ternyata tidak aktif juga.
'Kenapa nomor dia tidak aktif, sih? Jangan-jangan dia sedang asyik bermesraan dengan istrinya, aku tidak suka. Meskipun dia melakukan dengan pasangan hidupnya, memikirkan saja sudah membuatku cemburu, Mas Adrian hanya boleh bermesraan denganku saja,' gumam Eliza lirih, terdengar posesif pada Adrian.
Eliza masih tidak tenang, ia terus saja kepikiran dengan sosok pria yang telah seminggu ini menjalin hubungan terlarang dengannya. Padahal ia tahu, apa yang ia lakukan itu salah. Apalagi, sosok lelaki itu merupakan suami dari sahabat baiknya.
'Apa aku terlihat serakah, kalau mengharapkan Mas Adrian hanya bisa menjadi milikku? Rasanya tidak, karena Mas Adrian juga memiliki perasaan yang sama denganku.'
'Bukankah cinta itu buta. Jadi, aku tidak salah menaruh hati pada Danish Adrian,' batin Eliza.
Eliza telah dibutakan oleh cinta, dan juga keserakahan saat tahu lelaki yang ia dekati merupakan seorang pengusaha sukses, memiliki segalanya. Karena ia tidak bisa menghubungi nomer Adrian, kini ia memilih mendatangi kediaman sahabat, sekaligus kekasih gelapnya.
'Lebih baik aku berpura-pura datang ke rumah Mas Adrian, aku tidak peduli kalau bertemu Malikha. Yang penting, aku ingin menanyakan alasan Mas Adrian, kenapa semalaman mematikan handphone-nya.'
Eliza sudah tidak memikirkan apapun lagi, yang ada dalam benaknya ia harus ketemu langsung dengan Adrian.
Setelah memutuskan itu, Eliza meminta supir taksi untuk memutar mobil yang dikendarai menuju rumah Adrian dan Malikha sebelumnya ia berniat langsung ke kantor, tapi urung. Setelah ia memiliki niat tersembunyi.
"Pak, saya tidak jadi ke kantor. Tolong putar arah, saya mau ke alamat ini,'' ucap Eliza, seraya mengulurkan kartu nama dan alamat Adrian pada supir taksi.
"Baik, Mbak."
Tidak lama supir taksi itu, melakukan yang diminta oleh Eliza. Wajahnya semula muram, kini nampak tersenyum. Dalam benaknya, ia merasa yakin kalau Adrian pasti menyambutnya.
'Tunggu aku, Sayang. Aku akan datang kepadamu,' monolog Eliza, dengan tatapan ke luar jendela taksi, sungguh ia tidak sabar ingin melihat reaksi Malikha, yang diam-diam datang ke rumah sahabatnya.
***
Di kediaman Malikha dan Adrian.
Terlihat Malikha sedang berusaha mengajak suaminya berbicara, setelah perdebatannya di ruang makan tadi.
"Mass ... sini, aku bantuin mengenakan dasi," ucap Malikha, sembari mengulurkan tangannya tepat di dadanya Adrian.
Namun, Adrian langsung melengos seolah tidak butuh bantuan istrinya.
"Tidak perlu, aku bisa sendiri!'' dingin Adrian, seketika membuat Malikha sedih.
"Kamu kenapa, sih, Mas? Kok, tiba-tiba marah dan bersikap dingin sama aku. Memangnya aku salah apa, apa karena aku tanya tentang Eliza, ya?'' Malikha tidak bisa membendung rasa ingin tahunya, sekaligus ia ingin memastikan sesuatu yang tiba-tiba membuat ia curiga dengan suaminya.
Adrian mendengar nama Eliza disebut, lagi-lagi ia marah. Entah mengapa, ia tidak suka kalau dalam percakapannya dengan Malikha, Eliza disebut. Bukan karena ia membenci wanita itu, tetapi, ia berusaha menjaga dirinya agar tidak sampai keceplosan sama Malikha soal perasaannya pada Eliza.
"Malikha! Kamu bicara apa, sih?! Dari semalam cara bicaramu terdengar aneh, dan itu membuatku kesal!"
"Aku sama sekali tidak marah sama kamu, apalagi saat kamu membahas Eliza, sama sekali aku tidak marah! Cuma, aku tidak suka saja kalau dalam pembicaraan kita, ada orang lain kamu sebut," elak Adrian mengalihkan pembicaraan.
Malikha masih ragu, dengan jawaban suaminya.
"Lalu kamu mesti marah, Mas? Padahal aku cuma tanya saja, tidak menuduhmu 'kan? Atau, kamu tiba-tiba marah sama aku, karena kamu memang memiliki hubungan khusus, ya?'' Malikha masih ragu.
Adrian melihat keraguan di mata Malikha, maka ia pun berusaha keras mengendalikan dirinya dan juga emosinya.
'Sabar, Adrian. Kendalikan dirimu, kamu ini sudah membuat kesalahan. Jadi, jangan membuat kesalahan itu terlihat apalagi sampai membuat Malikha curiga.'
'Lebih baik, kamu yakinkan Malikha kalau kamu dan Eliza tidak ada hubungan apapun. Meskipun, pada kenyataannya sekarang Eliza telah menjadi kekasih gelapnya,' batin Adrian sembari menghela nafas panjang, sesaat ia mengusap wajahnya kasar kemudian ia menghampiri Malikha.
Adrian memegang kedua lengan Malikha, lelaki itu mencoba menatap teduh agar Malikha percaya padanya.
"Sayang ... ini masih pagi, aku tidak mau kita bertengkar denganmu. Sudah cukup tadi malam aku membuatmu menangis, dan aku tidak mau lagi membuatmu sedih.''
"Soal Eliza ... iya, aku memang memiliki hubungan ---"
"Tuh 'kan ... apa aku bilang, kamu sama dia ada hubungan?! Jahat kamu, Mas, hiks," tangis Malikha salah paham, karena Adrian belum selesai bicara ia sudah memotongnya.
Ketika kedua tangan Malikha terus memukuli dadanya Adrian, lelaki itu seketika menahan kedua tangan Malikha.
"Sayang ... Sayang ... ssstt, diam dulu. Dengarkan kataku dulu, jangan salah paham begitu," Adrian mencoba menarik perhatian Malikha, agar istrinya tidak marah.
"Aku sama Eliza hanya memiliki hubungan antara pegawai, dan Bos saja. Tidak lebih, aku hanya menganggap Eliza karyawan, sungguh. Kamu harus percaya padaku, kamu dengar 'kan kata-kataku tadi, kalau aku tidak ada hubungan apapun. Sumpah, aku jujur sama kamu," bohong Adrian, dengan sumpah palsu.
Malikha mendengar itu mencoba mencari kejujuran di dalam mata Adrian, tetapi ia tetap merasa ragu.
'Benarkah apa yang dikatakan Mas Adrian, kalau dia dan Eliza tidak ada hubungan apa-apa?'
'Syukurlah ... entah mengapa, sejak aku melihat noda lipstik itu aku jadi penuh curiga pada suamiku sendiri,' batin Malikha.
Melihat Malikha hanya diam, Adrian membingkai wajah istrinya penuh kelembutan. Sungguh, ia tidak suka bertengkar dengan Malikha.
"Sayang ... kenapa kamu diam saja, apa kamu masih belum percaya padaku, ya? Harus dengan cara apa, biar kamu mempercayai ucapanku?'' Adrian terlihat bingung.
"Iya, aku sebelumnya tidak percaya padamu. Tapi, mendengar penjelasanmu barusan saja aku akan mencoba memberikan kepercayaan penuh padamu. Aku harap, kamu mau menjaga kesetiaan, dan kepercayaanku.''
"Kalau kamu mengkhianati cinta dan kepercayaanku, mungkin saat itulah akhir dari aku mencintaimu," peringat Malikha dengan nada tegasnya.
Adrian merasa tidak yakin dengan kalimat yang akan ia ucapkan, bisa ia jalankan dengan baik atau tidak. Tapi, di hadapan Malikha ia ingin membuktikan kalau ia mampu menjaga kepercayaan istrinya.
"Baiklah, aku berjanji akan selalu setia padamu, dan aku berjanji tidak akan mengkhianatimu,'' janji Adrian ragu, sebab kini hatinya telah terbagi dengan Eliza sahabat baik istrinya.
Setelah mengatakan janji itu, Adrian memeluk tubuh mungil Malikha. Entah apa yang lelaki itu pikirkan, yang jelas saat ini ia tidak memikirkan Malikha melainkan Eliza.
'Semoga saja Eliza juga bisa menjaga hubungan terlarang kami, kalau sampai dia bocor dan mengatakan pada Malikha, bisa habis aku,' harap Adrian dalam doanya, ia berharap hubungan terlarangnya akan selalu terjaga dari Malikha.