Jangan Lemah Malikha

1408 Words
Setelah puas menangis dalam diam, Malikha mencoba menenangkan dirinya sendiri sembari menatap pantulannya di dalam cermin. Ia mencoba tegar, agar ia bisa mencaritahu seberapa jauh pengkhianatan suaminya, bersama wanita yang belum ia ketahui saat ini. 'Jangan lemah, Malikha. Bukankah kamu ingin tahu, seberapa jahatnya suamimu itu 'kan? Sekarang hapus air matamu, tetaplah tersenyum.' 'Tutupi luka hatimu dengan senyuman, sampai Mas Adrian tidak tahu kalau saat ini hatimu benar-benar hancur oleh pengkhianatannya,' gumam Malikha, menyemangati dirinya sendiri, sembari tersenyum meskipun hatinya saat ini benar-benar terluka. Malikha yang telah bangkit dari duduknya di lantai tadi, kini ia mulai membasuh wajahnya dengan air dingin. Lalu mengelapnya, dengan handuk yang kebetulan ada di dalam kamar mandi. Sesaat ia melihat pantulan wajahnya di dalam cermin, terlihat kedua matanya sembab karena ia terlalu lama dan banyak menangis. 'Matamu benar-benar sembab, Malikha. Apakah luka yang diberikan Mas Adrian begitu dalam, hingga kamu rapuh seperti ini, hem?' tanya Malikha, pada pantulan dirinya di dalam cermin. Sesaat Malikha merapikan rambut, lalu ia melangkah ke arah pintu kemudian membuka pintu kamar mandi. Dengan langkah pelan ia keluar kamar mandi, tatapannya langsung ke arah ranjang di mana Adrian terlihat tertidur pulas. 'Apakah aku harus tidur di ranjang bersama pria yang telah mengkhianatiku, berpura-pura tidak tahu rasanya sangat menyiksa diri sendiri,' monolog Malikha, seperti enggan menghampiri Adrian yang telah tidur lebih dulu. Merasa langkah kakinya begitu berat, saat ingin melangkah ke arah ranjang. Akhirnya, Malikha lebih memilih keluar kamarnya. Selain ia merasa tidak sanggup menatap wajah suaminya, ia juga tidak mengantuk. 'Lebih baik aku keluar kamar saja, mungkin dengan sedikit menjauh dari Mas Adrian aku bisa mengendalikan emosiku,' batin Malikha. Malikha membuka pintu kamar, lalu kembali menutupnya. Setelah itu, ia mulai menuruni anak tangga, setiap langkah menuju lantai bawah ia melihat beberapa bingkai foto yang berjejer rapi di dinding. Dalam bingkai foto itu, terdapat foto Malikha dengan Adrian. Saat mereka berbulan madu, dan juga saat mereka jalan-jalan. Ada juga foto mereka saat menikah, hal itu membuat hati Malikha semakin sakit. Sejenak langkah Malikha terhenti, ia menatap penuh arti bingkai foto yang ada di depan matanya. 'Di dalam foto itu ... kita terlihat bahagia, Mas. Kamu seperti suami paling sempurna, dan paling setia di dunia ini. Tapi pada kenyataannya, kamu tidak ubahnya sama seperti p****************g di luar sana,' marah Malikha di dalam hati, sesaat ia menyentuh foto dirinya dengan Adrian. Sekali lagi, air mata Malikha kembali lolos membasahi kedua pipi tembemnya. Tapi, tidak lama karena ia buru-buru menghapus air mata itu dengan kasar. Lalu ia bergegas melanjutkan langkahnya turun ke bawah, tepatnya ke arah dapur entah apa yang akan ia lakukan. Yang pasti, ia hanya ingin menyendiri. Meskipun tubuh Malikha kecil, dan ramping. Tapi, ia memiliki kedua pipi chubby. Hingga siapapun yang melihat kedua pipinya, pasti akan gemas sendiri. *** Waktu saat ini menunjukkan pukul 02:00 dini hari, Malikha yang tidak bisa tidur memilih untuk memasak. Ia sengaja masak, karena ia ingin sedikit melupakan rasa sakit dalam hatinya. Mungkin cara ini tidak efisien, bagi hatinya. Tapi, ia tidak memiliki cara lain selain itu. Suara yang ditimbulkan oleh pisau, dan telenan saat memotong sayur. Membuat Mbok Sum, semula tidur pulas seketika terbangun. 'Suara apa itu? Sepertinya dari arah dapur, jangan-jangan ada pencuri lagi?' gumam Mbok Sum, mulai bangun dan langsung turun dari ranjang. Kamar Mbok Sum yang tidak jauh dari dapur, membuat pendengarnya sangat peka. Sebelum ia keluar kamar, ia mengambil sapu lidi, lalu membawanya keluar. Dengan langkah mengendap-endap Mbok Sum melangkah ke dapur, tatapannya langsung pada tubuh Malikha yang membelakangi dirinya. ''Siapa kamu, apa kamu pencuri?'' tanya Mbok Sum, seraya mengayunkan sapu lidi ke udara dan berniat memukulkan ke tubuh Malikha. Mendengar suara asistennya, Malikha yang semula fokus memotong sayuran langsung berbalik. Tangan kanannya masih memegang pisau, tidak lama ia menyalakan lampu dapur. Beberapa detik kemudian, lampu di dapur menyala dengan terangnya. Saat itu juga Malikha merasa bersalah, karena telah mengganggu Mbok Sum tidur. "Mbok Sum, ini saya, Mbok," ucap Malikha cepat. Mbok Sum seketika menurunkan tangannya, lalu menaruh sapu lidi di sandaran dinding. "Non Malikha ngapain malam-malam ada di dapur, dan lagi ini masih larut malam? Harusnya Non Malikha tidur, tidak baik begadang buat kesehatan," tanya Mbok Sum, seraya mendekat dan melihat apa yang dilakukan oleh nyonya di rumah ini. "Saya tidak bisa tidur, Mbok. Makanya saya ke mari, dan ingin memasak saja." "Maafkan saya, ya, Mbok. Sudah membuat tidur Mbok Sum jadi terganggu," sesal Malikha, dengan suara bergetar. Mbok Sum yang peka, dan sedikit mengenal Malikha. Mulai mengerti, kenapa nyonya-nya berada di dapur malam-malam seperti ini. Malikha memang sangat dekat dengan Mbok Sum, sejak awal pernikahan dan Mbok Sum mulai bekerja di rumahnya. Malikha sama sekali tidak menjaga jarak, dengan asisten rumah tangganya. Apalagi Mbok Sum yang umurnya lebih tua, sudah Malikha anggap sebagai putrinya sendiri. Meskipun ada batasannya, karena di rumah ini saat ini ia berstatus sebagai pembantu. "Mata Non Malikha sembab, apa Non ada masalah? Kalau memang Non mau berbagi, saya siap mendengarnya. Anggap saja, saat ini saya ibu Non Malikha. Jadi, jangan sungkan karena saya berjanji akan menjaga rahasia apapun yang Non katakan pada saya," tanya lembut Mbok Sum, seraya memegang lengan Malikha. Gadis mungil, dan cantik itu hanya bisa menangis dalam diam. Tidak lama, ia menghambur dalam pelukan wanita paruh baya itu. Mbok Sum membelai punggung Malikha, ia tahu pasti wanita dalam pelukannya saat ini benar-benar rapuh. "Mbok, hati saya sakit sekali." "Kenapa, Nak? Katakan sama, Mbok Sum. Apa yang membuat hatimu terluka, hingga membuatmu menangis seperti ini?'' tanya Mbok Sum ingin tahu. "Mas Adrian, Mbok. Mas Adrian, saya pikir adalah suami yang setia, ternyata saya salah. Mas Adrian menduakan saya, dengan wanita lain di luar sana," terang Malikha jujur. Mbok Sum sungguh tidak mempercayai ucapan nyonya rumahnya, sebab selama ini yang ia tahu kalau Adrian adalah pria penuh kasih dan sangat mencintai Malikha. 'Apa benar yang dikatakan Non Malikha, kalau Den Adrian bermain api bersama wanita di luar sana? Sungguh sangat disayangkan, kalau Den Adrian melakukan itu. Karena dia telah mengkhianati wanita sebaik Non Malikha,' batin Mbok Sum, merasa tidak percaya. Sebagai seseorang yang telah lama bekerja di rumah ini, Mbok Sum tidak ingin keharmonisan keluarga kecil Malikha dan Adrian rusak oleh orang ketiga. Ia mau, keluarga kecil Malikha dengan Adrian baik-baik saja. "Non duduk di sini dulu, sebentar saya buatkan s**u hangat buat Non Malikha." Malikha duduk di kursi, masih dengan meneteskan air mata. Sungguh ia tidak bisa membendung kesedihannya, setiap kali ia mengingat pesan dan noda lipstik di kemeja suaminya. "Ini s**u hangatnya, Non Malikha minum dulu. Tidak panas, kok, mungkin ini akan membuat Non Malikha sedikit lebih baik," ucap Mbok Sum, seraya mengulurkan s**u hangat pada Malikha. Malikha menerima dengan senang hati, ia menyesap s**u hangat itu sedikit. Lalu menaruhnya, di atas meja pantry. Mbok Sum mengambil tempat duduk di samping Malikha, dengan lembut ia meraih telapak tangan kanan nyonya-nya. "Sekarang katakan ... sebenarnya apa yang terjadi, Nak? Mbok Sum masih tidak percaya, dengan yang Non Malikha katakan soal Den Adrian yang memiliki wanita lain di luaran sana," tanya Mbok Sum lembut, seperti seorang ibu. Di saat Malikha ingin menjawab pertanyaan Mbok Sum, di dalam kamar terlihat Adrian terbangun dari tidurnya. Ia mulai mencari Malikha di sampingnya, tapi, ia tidak menemukannya. 'Sayang, kamu di mana? Apa kamu ada di kamar mandi, cepat kemarilah,' panggil Adrian, dengan suara serak khas bangun tidur. Karena Malikha tidak menjawab panggilannya, Adrian yang penasaran mulai mencari keberadaan istrinya. 'Di mana Malikha, kenapa dia tidak ada di kamar?' gumam Adrian, dan berniat keluar kamar. Namun, langkah Adrian terhenti ketika ia mendengar suara telepon dari handphone-nya. Drrrt Nomor tidak dikenal 'Huft ... siapa yang menelepon, malam-malam begini?' gumam Adrian, lalu berjalan ke arah nakas dekat ranjang. Seketika Adrian terkejut, ketika melihat nomor yang sudah ia hafal di luar kepala. 'Kenapa dia meneleponku, kalau sampai Malikha tahu bisa gawat. Lebih baik, aku non aktifkan nomor ini saja, biar dia tidak bisa terus menghubungiku,' monolog Adrian, lalu dengan cepat mematikan handphone-nya. Di lain tempat, tampak seorang wanita dengan rambut tergerai, dan pakaian seksi terlihat marah-marah sendiri, karena sambungan telponnya yang sengaja ia lakukan ditolak. Kini malah nomor handphone sang pria tidak aktif. 'Iihh ... kenapa malah dimatikan, sih, handphone-nya, Mas?!' Wanita itu marah-marah sendiri, karena merasa diabaikan. Dalam benak wanita cantik itu pun berjanji, kalau ia akan membuat sang pria semakin jatuh bertekuk lutut pada cinta dan pesonanya. 'Oh ... rupanya kamu mau bermain-main denganku, Mas. Lihat saja nanti, aku pasti akan membuatmu selalu mengingatku bahkan mengejar-ngejar aku, hingga istrimu itu marah besar padamu, dan kamu akan memilihku.'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD