Nginep

1310 Words
Entah apa yang ada di dalam pikiran Arkana saat ini. Sampai-sampai menaruh kepercayaan kepada adik tirinya untuk menjaga tunangannya selagi dia pergi menemani sang papi berobat di Belanda. Hingga membuat Safira sempat terdiam sesaat. Seakan-akan perkataan Arkana adalah sebuah kabar yang sangat-sangat mencengangkan. 'Kamu gak tau, Mas. Adik kamu ini sangat licik melebihi iblis. Bagaimana bisa kamu memberinya kepercayaan untuk menjagaku? Selama tiga bulan ini hidupku sudah berada di dalam kendalinya. Itu semua juga gara-gara kebodohanku.' Batin Safira menyeru sekencang-kencangnya. Keinginannya untuk mengungkap sifat buruk Kai, nyatanya tidak bisa dia sampaikan secara terang-terangan. "Gimana, Kai? Kamu ... Mau 'kan bantu aku jaga Safira?" Tatapan Safira semakin nyalang. Sambil menelan ludah dia mengalihkan pandangan pada Kai. 'Semoga Kai gak setuju. Semoga. Semoga.' Lagi-lagi dia hanya bisa menjerit dalam hati. Kai mengerjap, dan hanya melirik Safira. "Elu yakin mau nitipin calon istri lu sama gue?" Caranya bertanya sungguh membuat Safira semakin kesal dan jengkel. "Loh, kenapa gak yakin?" Arkana menatap Safira yang tengah menatapnya. "Kamu ... gak masalah 'kan, Fir?" Persetujuan Safira juga begitu penting. Kali ini Safira benar-benar bingung. Akibat tak bisa melampiaskan kekesalan, Safira hanya bisa mengetatkan rahang sambil memejamkan mata. Otaknya dipaksa berpikir keras. Menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Safira membuka mata, lalu dengan ragu dia mengangguk. "I-iya, Mas," jawab Safira enggan. Kedua sudut bibir Arkana spontan tertarik ke samping, tersenyum sambil mengusap belakang kepala sang kekasih. "Makasih." Kai berdeham dengan tatapan tak biasa. Perlakuan Arkana pada Safira sangatlah mengganggu matanya. "Kalo gue setuju apa imbalannya buat gue?" Kesempatan ini tentu tidak akan disia-siakan. "Apa pun yang kamu mau." Arkana tak perlu berpikir untuk mengiyakan pertanyaan adiknya. "Karena cuma kamu yang aku percaya, Kai." Safira tiba-tiba berdeham. 'Ck, apes banget, sih, aku!' batinnya merutuk sambil memicing ke arah Kai. 'Sial!' Senyum miring terukir di bibir Kai, dengan tatapan seakan tengah meneliti Arkana. Bukan karena permintaan abang tirinya yang membuatnya senang, melainkan kebebasannya melakukan apa pun kepada Safira. Dia sudah tidak sabar untuk itu. "Oke. Untuk sekarang gue gak butuh apa pun. Tapi ... Suatu hari nanti gue pasti bakal nagih janji lu itu. Saksinya cewek gue." Kai merengkuh pinggang Eve, lalu mencium singkat bibir wanitanya tanpa merasa malu. Arkana spontan mengalihkan pandangan seraya berdeham sebab apa yang dilakukan Kai sungguh tidak layak untuk dilihat. Hal serupa dilakukan oleh Safira—mengalihkan pandangan ke sembarang arah, lalu mendengkus. Keberangkatan Arkana dan papinya akhirnya tiba. Dengan penerbangan pagi hari mereka akan melakukan perjalanan menuju ke negeri kincir angin. Yang paling membuat Barack bersemangat ialah—kedatangan Kai ke Bandara. Anak keduanya itu tak banyak bicara, hanya menatapnya datar dan dingin. Tak apa. Bagi Barack itu lebih dari sekadar cukup. Asalkan dia bisa menatap Kai serta memeluknya. "Makasih udah mau dateng buat nganter papi," ucap Barack dengan air mata haru. Duduk di kursi roda seperti ini sangat membatasi pergerakannya. Keinginannya untuk merangkul Kai harus dia tahan kuat-kuat. "Jangan bilang makasih sama saya. Karena Anda harusnya bilang itu ke Mami. Berkat bujukannya saya sudi datang ke sini. Kalo Mami gak merengek, saya gak akan ada di sini," sahut Kai terdengar datar dan formal. Lidahnya seolah enggan menyebut pria tak berdaya itu dengan sebutan 'Papi'. Entah kapan terakhir kali Kai memanggil Barack 'Papi'. Memori itu tidak meninggalkan jejak di ingatannya. Kai hanya mengingat hal-hal buruk yang dia terima dari papinya. "Kai." Ruth menegur anaknya. Memberi isyarat dengan gelengan kepala. Sorot matanya begitu memohon. Jika sang ibu sudah angkat bicara, Kai hanya bisa menurut. Karena bagi Kai, Ruth adalah satu-satunya perempuan yang sangat dia hormati. Meski dia sendiri merasa marah sebab maminya memilih bertahan dengan pria yang dulu tak pernah menghargai keberadaannya. Barack tersenyum pada istrinya, lalu mengucapkan terima kasih. "Terima kasih, Ruth. Kamu udah bujuk Kai buat ke sini." "Gak perlu berterima kasih, Mas. Itu sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang istri dan ibu. Kamu adalah papinya. Kamu berhak atas itu." Tangan Ruth mengelus pundak suaminya. Pria yang sangat dia cintai dari dulu hingga detik ini. Arkana dan Safira hanya menjadi penonton dari drama ayah dan anak tersebut. Keduanya tak ingin ikut campur. "Mas, nanti kalo udah sampai jangan lupa kabarin aku, ya?" ucap Safira berbisik. Arkana mengangguk, dan menggenggam tangan Safira. "Pasti, Fir. Aku usahakan untuk hubungin kamu tiap hari." "Jangan lupa juga kasih tau aku perkembangan kesehatan Papi." Sebelah mata Safira mengerling. "Siap, Nona manis." Arkana balas mengerling. Lantas, mengangkat tangan, mengusap rambut Safira sambil berkata, "Kamu jaga diri baik-baik selagi gak ada aku. Jangan sungkan minta tolong sama Kai kalo ada apa-apa. Oke?" "Iya, Mas. Kamu juga, ya. Belanda itu jauh. Iklim di sana juga beda sama di Jakarta. Aku mau kamu kembali ke sini dengan utuh." "Bisa aku minta sesuatu sama kamu, Fir?" Tatapan Arkana nampak teduh. Safira mengangguk. "Tentu, Mas." Sejenak, Arkana menatap lekat-lekat wajah cantik Safira. Meneliti satu persatu yang ada pada calon istrinya itu. Perempuan sempurna yang begitu dia cintai. Safira adalah hidupnya. Waktu sebulan itu memang bukan waktu yang lama. Namun, bagi Arkana sebulan itu terasa sangat lama. Tak pernah dia berpisah jauh dari Safira selama ini. "Mas?" Safira menegur Arkana yang sedari tadi hanya diam dan menatapnya. "Kenapa diem? Katanya mau minta sesuatu?" Arkana mengusap pipi Safira. "Aku diem karena lagi ngerekam wajah kamu di ingatanku. Biar aku bisa simpan rapi wajah cantik ini di memoriku. Karena besok sampai sebulan ke depan aku gak bisa memandangi wajah ini." "Ya ampun, Mas. Aku pikir kenapa." Safira terkekeh. "Foto aku 'kan ada? Kamu bisa pandangin itu setiap hari kalo lagi kangen." "Bedalah, Fir." Jemari Arkana menjumput anak rambut yang terjuntai di depan wajah Safira, menyelipkannya di belakang telinga, dan itu diperhatikan oleh Kai yang duduk berdiri di sampingnya. Menyadari jika Kai memerhatikannya, Safira tak acuh. "Ya udah, kalo gitu tatap aku sepuasnya. Biar Mas lega," ucapnya sambil memasang raut menggemaskan. "Jaga hatimu, ya, Fir. Tunggu aku kembali." Arkana berkata tiba-tiba. Rautnya nampak begitu serius. Safira bahkan dapat merasakan jika ucapan Arkana tak sekadar gurauan. "Tentu, Mas," angguk Safira meyakinkan. "Mas gak usah cemas. Di sini cuma ada kamu. Dari dulu sampai selamanya." Telapak tangan kanan Safira menyentuh d**a. Meyakinkan kekasih hatinya jika hal tersebut tidak akan pernah terjadi. Kecupan mesra menjadi salam perpisahan bagi sepasang kekasih itu. Jarak dan waktu untuk sementara menjadi sekat bagi hubungan keduanya. Safira melepas keberangkatan Arkana dengan perasaan berat sebelah. Di satu sisi dia ingin sekali Arkana selalu bersamanya. Namun di sisi lain, kewajiban sebagai anak juga tidak bisa Safira abaikan. Tanggung jawab Arkana untuk keluarganya begitu besar. Safira tak ingin jadi egois karena keinginannya. Ruth kembali ke kediamannya dengan diantar sopir pribadi, sedangkan Safira mau tak mau harus kembali ke rumah bersama Kai. "Kamu pulangnya dianter Kai, ya, Fir? Mau 'kan?" tanya Ruth ketika berada di tempat parkir. "Iya, Tante." Safira terpaksa mengangguk. Ruth tersenyum dan mengusap bahu Safira. "Tante pulang dulu," ucapnya. Kemudian berpindah mengusap bahu Kai. "Mami pulang dulu. Kamu jangan lupa main ke rumah. Tengokin mami sekali-kali. Jangan lupa juga amanah dari abangmu. Jagain Safira baik-baik. Dia ini calon menantu Barack sekaligus calon kakak iparmu." Tanggapan Kai atas perkataan panjang lebar maminya hanya sebatas mengedikkan bahu. Roda empat milik Kai terus melaju dengan kecepatan sedang. Tak ada pembicaraan di dalam mobil. Safira memilih menatap ke luar jendela, sambil memikirkan permintaan Arkana yang tidak pernah dia duga-duga. 'Mas Arkana kenapa ngomong kayak tadi? Apa dia gak percaya sama aku? Tapi ... Dia sendiri yang minta bantuan Kai buat jagain aku. Dan sebenernya itu pun gak perlu. Yang ada aku malah makin tertekan. Orang itu pasti bakal tambah semena-mena sama aku.' Benak Safira tidak tenang dan merasa gusar. "Fir." Kai memanggil sambil menyetir. "Hmm." Kai berdecak dengan jawaban singkat Safira. "Besok gue pergi ke luar kota." "Terus?" "Kalo bisa elu nginep di apartemen gue aja malam ini." "Apa?" Punggung Safira yang semula bersandar sontak menegak. Kepalanya meneleng ke samping. "Kamu suruh aku nginep? Gak! Aku gak mau!" "Keputusannya ada di tangan gue. Elu gak bisa nolak." "Kai!" "Bodo'!" _ bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD