Gertakan

1258 Words
"Kamu tunggu di sini aja, gak usah ikut masuk." Safira melepas sabuk pengaman ketika mobil Kai terparkir sempurna di halaman rumahnya yang luasnya tak seberapa. Baru saja dia hendak membuka pintu mobil untuk keluar, perkataan Kai mampu menghentikan pergerakan tangannya. "Tapi gue pengen ikut masuk." Kai melepas sabuk pengamannya tanpa memedulikan decakan Safira. "Kamu—" Kalimat protes yang hendak dilontarkan terpaksa Safira telan kembali, karena Kai lebih dulu keluar dari mobil. "Dia emang manusia paling ngeselin!" umpatnya memandang Kai yang lebih dulu melangkah ke pintu masuk. Dengan berat hati serta rasa tidak ikhlas, Safira membuka lebar-lebar pintunya dan mempersilakan Kai masuk. "Tunggu di situ aja. Aku mau ke kamar dulu, mau ambil baju ganti." Dia menunjuk sofa sederhana yang sudah sekian lama berada di ruang tamu rumahnya. "Cepetan! Gak pakek lama." Kai mendengkus, lalu duduk di sofa yang warnanya sudah memudar itu. Memandang punggung Safira yang membuka pintu, kemudian masuk ke sana. Pandangan Kai lantas berpindah ke seluruh isi rumah. Meneliti satu persatu perabot yang ada di ruang tamu. Semuanya sudah terlihat usang. Dari beberapa barang yang ada, Kai tak melihat benda bermerek atau pun benda modern jaman sekarang. Hanya televisi berlayar datar berukuran 21-inch yang terlihat baru bertengger manis di rak kayu minimalis. Kai terus mengamati keadaan rumah Safira yang luasnya tak lebih dari luas apartemennya. Rumah yang sangat sederhana, tetapi terlihat bersih dan nyaman dipandang mata. Hanya saja, Kai merasa miris dengan kondisi tersebut. Yang di mana, Safira adalah calon menantu dari keluarga Barack, yang terkenal kaya dan memiliki beberapa cabang pusat perbelanjaan di beberapa kota. "Jadi gini kehidupan calon menantu keluarga Barack yang punya kerjaan sampingan jadi pemandu karaoke? Menang banyak, donk, dia kalo jadi nikah sama Arkana." Mulut Kai dengan entengnya mencibir kehidupan Safira yang dia pikir sangat-sangat jauh dari ekspektasi. Kai memang belum tahu banyak soal latar belakang keluarga Safira. Kala itu dia tidak tertarik dengan kabar jika kakaknya akan melangsungkan pernikahan dengan seorang gadis sederhana yang berprofesi sebagai Sales Promosion Girl. Bertemu Safira pun hanya beberapa kali. Dan di pertemuan pertama, Kai menilai calon kakak iparnya itu mempunyai penampilan yang biasa saja. Meski dia akui, jika Safira memiliki kecantikan di atas rata-rata. Safira mempunyai daya tarik yang tidak dimiliki perempuan lain. Tak pernah Kai duga sekali pun, bila dirinya akan memanfaatkan Safira untuk membalas sakit hatinya pada Arkana. Mengenai kepeduliannya terhadap Arkana dan keluarganya itu hanyalah kedok semata. Yang jelas, Kai tidak peduli dengan pekerjaan sampingan Safira. Semuanya terjadi secara kebetulan dan tanpa direncanakan sebelumnya. "Fir! Fira!" Januar tiba-tiba muncul dari pintu. Keberadaan Kai di sana belum dia sadari. Pria paruh baya itu meneriaki Safira dengan nada sangat tinggi. Kai berdeham, dan Januar seketika menoleh ke arahnya. "Eh, ada tamu rupanya. Kamu ... Kai 'kan adiknya Nak Arkana?" Januar langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Raut kesalnya berganti dengan keramahtamahan. Kai hanya tersenyum, lalu mengangguk samar. Dia tak sedikit pun merubah posisi duduknya. Sama sekali tak menunjukkan rasa segan mau pun sungkan. Sementara Januar sudah ikut bergabung duduk berseberangan dengan Kai. Tak lama kemudian, Safira keluar dari kamar dengan menjinjing tas ransel warna cokelat. Dia terkejut mendapati ayahnya yang sudah duduk bersama Kai. "Bapak?" Safira menelan ludah, berdiri terpaku di tempatnya. Januar berdiri dan mendekati Safira. "Ada tamu, kok, gak dibikinin minum, sih, Fir? Bikin minum dulu sana!" titahnya seraya menatap Kai dan tersenyum ramah. "Cepetan." Matanya mendelik ke Safira. "Iya, Pak." Dengan tak bersemangat Safira melangkah ke dapur untuk membuatkan minum. Tas ranselnya dia biarkan begitu saja di lantai. Selesai berbasa-basi di ruang tamu yang membuat Safira merasa malu setengah mati dengan sikap Januar—ayahnya. Akhirnya, dia bisa pergi dengan tenang. Walaupun Kai tak mengatakan apa pun perihal Januar, tetapi tetap saja itu membuat Safira merasa tidak nyaman. Sedangkan Kai yang duduk tenang di balik kemudi masih terngiang-ngiang semua perilaku Januar tadi. Baru pertama kali bertemu dengan ayahnya Safira dan dia sudah bisa menebak bagaimana karakter asli Januar. Tidak heran, jika Safira harus menanggung beban utang yang diakibatkan oleh bapaknya. Danis pernah bercerita sekilas soal Januar pada Kai. Tentang apa yang dilakukan ayahnya Safira itu setiap hari di Bar. Yang hobi berjudi sampai mempunyai utang begitu besar. Kai bahkan sampai tak habis pikir—kenapa bisa ada seorang ayah yang tega berbuat demikian pada anak perempuannya. Memeras anaknya untuk bekerja keras demi membayar utang-utangnya. Dulu dia sempat tidak percaya dengan alasan yang dijadikan Safira sebagai bentuk pembelaan. Bekerja menjadi pemandu karaoke. Lalu, Kai mencari tahu sendiri dengan bertanya pada Danis. Lambat laun dia pun mulai iba pada apa yang dijalani Safira selama ini. Calon istri kakaknya itu tak malu bekerja sampingan demi melunasi utang-utang bapaknya. Padahal, Safira bisa saja meminta bantuan Arkana untuk melunasi semua utang-utangnya. Akan tetapi, Safira justru memilih menutupi dan berjuang sendiri. Apa sebenarnya yang ada di dalam pikiran perempuan itu, pikir Kai. "Kenapa lu gak mau Abang gue tau kerjaan sampingan lu?" tanya Arkana setelah terdiam cukup lama. Pertanyaan ini sudah sangat lama ingin dia pertanyakan pada Safira. Tercenung. Safira lalu menoleh ke samping, dan menatap Kai dengan kening mengerut. "Maksudnya?" Dia hanya bingung, kenapa tiba-tiba Kai bertanya demikian. Kai berdecak, "Elu bisa gak, sih, kalo ditanya itu gak usah balik nanya. Tinggal jawab aja apa susahnya, sih? Lemot banget jadi cewek! Gue jadi sangsi sama Abang gue. Bisa-bisanya dia cinta mati sama cewek modelan kayak lu." "Eh, kamu kalo ngomong jangan asal, ya! Pakek ngatain aku segala!" Safira tidak terima dengan ejekan Kai barusan. "Kamu, tuh, yang gak punya perasaan! Tukang maksa! Tukang manfaatin kelemahan orang!" Kai memelankan laju mobilnya, lalu menepi di sekitar pertokoan yang terlihat sepi karena sudah tutup. Jalanan yang dilewati juga tidak terlalu ramai kendaraan yang lalu lalang. Penerangan pun tidak terlalu terang, hanya memanfaatkan cahaya lampu berwarna kuning. Cukup sepi. Kai melepas sabuk pengaman, lalu menatap tajam Safira. Dia bertanya, "Siapa yang kamu bilang tukang maksa?" Sambil mencengkeram roda kemudi kuat-kuat. Kilat amarah di manik Kai tak menggentarkan Safira sedikit pun. Pemuda di hadapannya ini memang perlu diperingatkan supaya tidak terus-terusan berkata seenaknya. "Kamu! Kamu gak sadar kalo selama ini apa yang kamu perbuat ngerugiin orang lain? Kamu gak sadar kalo selama ini kamu udah nyusahin hidup aku? Kamu itu udah terlalu banyak ikut campur urusanku. Ngerti, gak, sih? Dengan kamu kasih uang tadi ke Bapak, itu sama aja kamu ngerendahin harga diriku." Safira menunjuk dadanya yang terasa sesak. Ayahnya terang-terangan meminta uang pada Kai dengan alasan ingin membuka usaha kecil-kecilan. Lalu, tanpa mempertimbangkan, Kai memberikannya begitu saja. Jumlahnya pun tidak sedikit. Kai memberi uang tunai yang ada di dompet berjumlah lima juta kepada Januar, dan berjanji akan memberi sisanya lusa. "Bukannya lu emang udah gak punya harga diri?" Kai berdecih, menyorot Safira dengan tatapan mencela. "Kai!" Telapak tangan Safira berhasil menampar pipi Kai. Dia benar-benar marah dan tersinggung dengan ejekan yang terlontar dari mulut pedas Kai. "Aku mau turun! Aku gak mau nginep di apartemen kamu!" Safira membuka sabuk pengaman dengan tangan gemetar dan pandangan berkabut. Matanya sudah dipenuhi cairan bening yang siap luruh ke pipi dengan sekali mengedip. Akan tetapi Kai tidak membiarkannya pergi begitu saja. Tangan Safira dia tahan ketika hendak membuka pintu mobil. "Elu gak boleh pergi! Gak bisa!" "Aku gak peduli! Aku mau pulang! Kamu udah keterlaluan!" Sekuat tenaga Safira menarik tangannya dari cekalan tangan Kai yang sangat kuat, tetapi tidak berhasil. "Kalo lu masih coba-coba mau pergi, gue gak akan segan-segan laporin semuanya ke Abang gue. Gue juga bakal penjarain bokap lu dengan tuduhan pemerasan," ancam Kai yang sebenarnya hanya ingin menggertak Safira saja, supaya perempuan itu tidak pergi. Air mata seketika itu luruh di pipi Safira. "Kamu memang bener-bener b******k!" _ bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD