Diusir dari Rumah

1928 Words
Tiga Tahun kemudian. Azie, Zara, Biru dan juga Nita dinyatakan lulus ujian nasional, Azie Nita dan Zara masuk ke dalam peringkat 3 besar. Siapa sangka mereka kembali dipertemukan di SMA yang sama, dan di kelas yang sama. Sementara Saiqa kini berada di kelas satu SMA yang sama juga dengan sang kakak. Saiqa semakin tumbuh menjadi gadis yang cantik dan periang, ditambah lagi kepintarannya yang luar biasa membuat para guru kagum dengannya. Banyak hal yang para remaja SMA itu lalui dengan suka cita, banyak pembelajaran hidup yang mereka sudah dapatkan dari persahabatan mereka. Nita dan Azie masih sama selama 6 tahun mereka lalui besama, tapi akhir-akhir ini selepas ujian nasional kemarin, Nita dan Azie sudah jarang bersitegang entah mungkin mereka berpikir sudah akan lulus sekolah. Mereka berempat sudah memiliki rencana masing-masing untuk masa depan mereka. Biru, Azie dan juga Zara akan masuk mendaftarkan diri sebagai abdi negara. Ternyata kegiatan mereka yang selalu mencari kebenaran untuk para korban ketidak adilan dunia membuat ketiganya ingin menjadi anggota pelindung masyarakat. Hanya saja Azie yang masih kurang yakin apakah ia bisa mendaftarkan diri nantinya, mengingat keadaan perekonomian orang tuanya yang masih sama. Azie sendiri juga sampai saat ini masih bekerja serabutan untuk mencari tambahan biaya sekolah dan juga biaya hidupnya. Berbeda dengan Saiqa yang selalu menjadi anak kesayangan inaq dan amaq. Nita tidak tahu dan tidak ingin tahu jika Azie akan mendaftarkan diri sebagai anggota TNI. Begitupun Azie, ia tidak tahu juga jika Nita sudah diterima di universitas negeri jurusan Psikologi. Sementara Biru akan masuk ke akademi pendidikan kepolisian. Zara sudah di terima di universitas swasta jurusan kedokteran. Sampai akhirnya waktu wisuda dan perpisahan sekolah tiba, semua teman-teman Azie sedang berkumpul mereka akan melakukan sesi foto bersama, semua merasa bahagia tidak terkecuali Nita, Zara, Biru dan Azie. "Kayanya aku bakal kangen deh sama suasana kelas, apalagi sama tom and Jerry nya kelas kita hahaha." celoteh Biru yang disusul gelak tawa dari teman-teman yang lain. Saat Biru berkata seperti itu entah mengapa tidak ada sedikit pun perasaan kesal dalam hati Nita justru ia ikut tertawa bahagia begitupun Azie. Hanya saja Zara yang diam sendiri dengan sorot mata sedikit tak suka. Meskipun mereka kini telah menjadi teman baik, tetap saja rasa tak suka melihat Azie di sandingkan dengan Nita itu ada. Mereka menikmati masa-masa bersama mereka yang terakhir sebelum mereka nantinya akan sulit untuk bertemu, karena mereka ada yang melanjutkan kuliah keluar kota, keluar negeri, bahkan ada yang sudah diterima bekerja. Nita dan Zara sedang foto selfie bersama, tiba-tiba Azie datang mengacaukan hasil fotonya. "Azie ihh, kita kan lagi foto-foto " Nita beringsut meninggikan suaranya "Hahaha sorry, lagian orang-orang pada foto bareng ini malah berdua aja " balas Azie. "Nazief Zaahi coba deh ini hari wisuda kita please ya jangan usilin aku, okey." "Justru karena ini hari wisuda kita, jadi, aku bakal susah jailin kamu lagi." "Mmmhh..mhhh..mmhh.. kaya nya aku minggir dulu deh yaa.. silahkan kalian ngobrol-ngobrol dulu deh " Ucap Zara meninggalkan Azie dan Nita dengan hati kesal yang disembunyikannya. "Ra mau kemana ihh jangan tinggalin aku!" "Tenang aja, tenang, santai yaa." Zara tertawa kecil, tapi jauh di lubuk hatinya terdalam ia tengah merasakan rasa cemburu. "Zara ihhh."Nita ngedumel ia memasang wajah jutek andalannya. "Kenapa? Kamu benci banget ya sama aku?" tanya Azie. "Hmm... enggak benci juga sih" "Terus?" "Sebel aja, kami tuh ngeselin tau!" Nita masih dengan wajah juteknya. "Oh ya, aku minta maaf ya selama enam tahun ini, aku banyak jailin kamu." Azie memulai pembicaraan. "Lah, ngapain minta maaf, lebaran masih jauh." Nita masih jutek. "Ya, nggak apa-apa dong, kan apa salahnya kita meminta maaf atas apa kesalahan kita baik yang disengaja atau pun yang gak disengaja, dimaafin nggak nih?" tanya Azie. "Ya, aku juga minta maaf ya! Nggak nyangka juga ya kita bisa samaan sampai SMA dan sebentar lagi kita akan mencari jalan masa depan kita masing-masing." Hati Nita luluh. "Oke, thank you ya. Ya begitulah perjalanan hidup. Jika ada pertemuan pasti akan ada perpisahan. Semoga saja disetiap perjalanan kita nanti selalu bertemu dengan akhir yang bahagia." Azie tersenyum. Tidak lama Biru menghampiri Azie dan Nita. "Suitsiwww, ehem ehem " "Aku ganggu gak nih ?" tanya Biru. "Apaan sih kamu Bi?" Nita ke Biru. "Hmm, enggak kok, yok kita ke sana lagi." Azie mengajak Biru kembali berkumpul dengan teman-teman yang lain. "Nit, ayo ke sana " ajak Azie. "Oh ya, duluan aja aku harus cari Zara dulu." Nita merasa bingung dengan sikap Azie kali ini. Biru yang tahu keberadaan Zara hanya diam saja, ia lebih memilih untuk tidak menanyakan Zara karena sesungguhnya ia juga merasakan sama seperti yang di rasakan gadis itu. "Ada apa sama Azie ya, kok aneh selama enam tahun aku kenal Azie, dia gak pernah minta maaf Setulus itu, biasanya sorry sorry selengean..hmmm..." batin Nita seraya tertawa kecil. "Woyy..." Pundak Nita ditepuk oleh Zara. Zara yang melihat Nita dari tadi diam di tempatnya langsung menghampiri. "Astagfirullah." Nita sedikit kaget. "Kenapa kamu ? malah ngelamun ?" tanya Zara. "Kamu ngapain ngagetin pake nepok bahu segala udah kaya yang mau ngehipnotis tau nggak." "Hahahaha ada-ada aja, ke sana lagi yok kumpul sama yang lain!" ajak Zara yang masih berpura-pura baik-baik saja. "Yok." Mereka berdua berjalan menuju teman-teman nya yang lain. Tidak lama acara wisuda sekolah sudah selesai, mereka semua berpamitan untuk pulang ke rumah masing-masing, kemungkinan mereka sudah jarang untuk bertemu kembali karena kegiatan ke sekolah nantinya hanya pengurusan ijazah saja. Sementara itu Zara masih duduk ditempatnya menunggu keadaan sedikit sepi. Saiqa yang hari itu menjadi pembawa acara wisuda kakak kelasnya, datang menghampiri Zara. Saiqa dengan lembut memegang bahu kanan Zara. "Maafkan kakakku yang tidak peka!" Ucap Saiqa dengan senyum di wajahnya. Zara mendongak, "eh kamu dek. Kirain siapa, nggak perlu minta maaf juga kan. Sudah ah kakak baik-baik saja kok. Eh kamu belum pulang?" tanya Zara, "mau barengan nggak?" Lanjutnya itu lagi. "Ayo kita barengan aja, nunggu kak Azie dan kak Biru ya. Terus kita pulang sama-sama. Eh sebagai acara perpisahan, kalian harus mentraktir Saiqa." "Dasar bocah, ya ya nanti kakak traktir." Zara dan Saiqa pun tertawa. Gadis seusia Saiqa seharusnya masih duduk di bangku SMP tapi di usianya yang kini menginjak empat belas tahun, tapi ia malah sudah berada di bangku kelas satu SMA. ***** "Dasar anak tidak berguna! Pergi kamu dari sini, menyesal saya udah melahirkan kamu ke dunia ini!" Kata-kata yang keluar dari mulut Inaq itu berhasil menghantam hati Azie yang selama ini diam. "Bukannya pergi kerja cari uang, malah minta yang aneh-aneh. Mau dapat uang dari mana buat biaya pendidikan kamu nanti. Kamu kira daftar jadi anggota TNI itu gratis." Lanjut Hasna membentak putranya, hampir saja ia akan menyobek lembaran persetujuan orang tua yang Azie serahkan padanya untuk di tandatangani. Beruntungnya Inaq hanya melempar kertas yang sudah ia remas itu. Azie pun untuk pertama kalinya menangis, ia menghapus air matanya dengan kasar dan kemudian bangkit dari duduknya. Perjuangannya baru saja di mulai. "Azie memang tidak berguna, Azie juga tidak minta di lahir kan oleh Inaq. Jadi tolong berhenti bersikap kasar seperti pada Azie kayak gini, Azie hanya butuh tandatangani inaq dan Amaq saja. Azie tidak akan meminta uang kalian satu rupiah pun untuk membiayai Azie." ujar Azie sambil menatap dalam mata Hasna. "Kalau kamu gak mau di siksa, ya udah, pergi aja kamu dari sini. Gampang kan! Siapa juga yang mau mengeluarkan uang untukmu. Dari pada kamu menyia-nyiakan uang hanya untuk hal yang mustahil lebih baik kamu berikan untuk masa depan adikmu. Sekali lagi saya ingatkan jangan bermimpi terlalu tinggi." "Baik, kalau emang itu yang memang inaq mau. Azie bakal pergi dari sini sekarang juga, Azie juga ingin meraih masa depan Azie sendiri. Dan Azie juga yakin tanpa uang Azie, masa depan Saiqa sudah terjamin." Balas remaja itu yang berdiri dengan penuh air mata di hadapan Hasna. Bukannya ia cemburu pada adiknya hanya saja ia juga benar-benar ingin memiliki masa depan yang ia impikan. Pertengkarannya kali ini tak diketahui oleh Saiqa, karena sang adik tengah berada di sekolahnya. Hasna memang sungguh keterlaluan, bahkan saat ini mereka sudah hidup sedikit lebih baik dan itu juga berkat Azie. Mereka akhirnya bisa tinggal di rumah mereka sendiri walaupun kecil tetap saja rumah itu adalah hasil dari kerja keras Azie yang selama ini menjadi guru les pribadi sahabatnya, Biru. Siapa sangka Biru selalu memberikannya upah yang di hitungnya perdetik Azie mengajarinya. Karena Biru tau satu detik saja waktu Azie sangatlah berharga, tidak akan dilewatkannya hanya dengan bersantai dan bermain. "Ya sudah, kalau mau pergi ya pergi aja sana. Nggak usah balik lagi kamu kesini, biar jadi gembel kamu di luaran sana!" Ucapan Hasna terdengar begitu tajam, membuat Azie sekuat tenaga menahan rasa sakit di dadanya. Bukan karena ucapan inaqnya, hanya saja dari dulu wanita itu tak pernah menghargai sedikitpun usahanya dan itu benar-benar menyakitkan. "Azie akan buktikan sama inaq, kalau Azie bisa hidup dan sukses tanpa. Azie akan buktikan itu. Bukankah selama ini juga Azie hidup bagai gembel." "Oh berani ngelawan kamu sekarang ya. Kita lihat saja, sampai dimana kamu bisa hidup tanpa kami! Dan saya peringatkan sama kamu, jangan pernah kamu balik lagi ke rumah ini, apa pun keadaan kamu!" Setelah mengucapkan itu, Hasna pun langsung pergi meninggalkan Azie. Sepeninggalan Hasna, Azie mengusap air matanya. Air mata yang tak pernah ia teteskan sebelumnya, ia tidak menangisi cacian sang ibu. Ia hanya menangisi perjuangannya yang tak di hargai. "Tenang Azie, kamu pasti bisa. Kamu pasti bisa sukses tanpa orang-orang yang selalu menyakiti kamu, bukankah dari dulu kamu bisa melewati ini semua dengan hasil yang memuaskan." ujar Azie menguatkan dirinya. "Mungkin sudah saatnya aku pergi, maafkan kakak Saiqa. Kakak nggak ninggalin kamu, hanya saja kakak akan berada di tempat berbeda. Mengawasi dan menjagamu dari sana." ujar Azie dalam hati. Azie membawa barang-barang penting dan yang diperlukannya dalam tas ransel pemberian Zara menuju sebuah rumah kontrakan yang lokasinya jauh dari kota dimana keluarganya berada. Sebelum ia pergi, Azie menemui Husaen untuk meminta tanda tangan pada kertas yang sudah ia rapikan walaupun tidak kembali seperti bentuk aslinya. Husain sang ayah tak banyak bertanya mengenai kertas yang ditandatanganinya, karena ia juga tidak bisa membaca dan juga tidak mau terlalu ikut campur urusan putranya. Sementara Azie juga pamit ke luar kota untuk bekerja pada sang ayah. Azie sudah membulatkan tekadnya untuk pergi. Dengan bermodalkan tabungannya selama ini, Azie memutuskan untuk tinggal di kontrakan. Azie benar-benar ingin menghilang dari kehidupan lama nya. "Itu dek kontrakan nya, dan ini kuncinya ya," ujar ibu pemilik kontrakan tersebut. "Iya, makasih ya, Bu," balas Azie dan menerima kunci yang di berikan oleh pemilik kontrakan tersebut. "Iya sama-sama, dek. Kalau gitu ibu permisi dulu ya." Azie pun mengangguk kan kepalanya.Azie kemudian masuk ke dalam rumah tersebut dan membereskan barang-barangnya yang tak seberapa. Kemudian dia mengeluarkan sebuah buku untuk persiapan tesnya nanti. "Bismillah, semoga semuanya bisa berjalan lancar," ujar Azie. Setelah itu, Azie pun memutuskan untuk istirahat. Keesokan harinya, setelah melaksanakan shalat Subuh, Azie membuka laptop pemberian Biru yang awalnya tak mau dia terima tapi Biru memaksa Azie untuk mengambilnya sebagai kenang-kenangan, tak hanya laptop tapi Biru juga memberikannya sebuah ponsel android dan juga sejumlah uang. Setelah menemui Amaq, Azie juga berpamitan pada kedua sahabatnya, Biru dan Zara. Ia juga pergi menemui Saiqa tepat ketika senja, kakak beradik itu pun menghabiskan sore hari waktu itu di tepi pantai, menikmati senja mereka yang indah. Azie mengingat kembali bagaimana adik satu-satunya itu menangis dalam pelukannya. Tapi Azie berjanji ia akan kembali dan selalu menemui Saiqa di saat ia ada waktu luang. Ia tidak akan pergi begitu saja, walau bagaimanapun ia adalah anak pertama di keluarga itu. Ia hanya ingin merubah sedikit jalan hidup dan takdirnya menjadi yang lebih baik. Ia tak pernah membenci Hasna, Hasna tetaplah seorang ibu yang akan selalu Azie hormati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD