Jantung Aura bedegup dengan sangat kencang, napasnya juga terasa sesak hingga Aura memukul - mukul dadanya dengan kepalan tangannya. Air mata jatuh di sudut mata Aura, ia mengatur napasnya setelah melihat pintu lift sebentar lagi akan di buka. Aura tidak peduli lagi dengan bagaimana orang memandangnya, terlalu sulit untuk mengatur emosinya sendiri.
Dada Aura terasa sesak, ia masih tidak bisa membayangkan bagaimana bisa Brian memperlakukannya seperti itu. Padahal, Aura sudah susah payah untuk menemukan dirinya sendiri tapi kehadiran Brian malah membuat Aura merasa semakin terluka, ia bahkan tidak bisa tidur nyenyak setelah hari itu.
Aura juga menghapus air matanya menggunakan punggung tangannya, pintu lift terbuka beberapa saat kemudian. Langkah kakinya bergerak dengan cepat, ia keluar dari gedung agensi berjalan keluar. Ia berjalan setengah berlari, tidak peduli bagaimana orang - orang menatapnya.
Tidak peduli dengan matahari yang sedang berada suhu yang cukup tinggi, Aura tetap berlari seperti di kejar - kejar oleh sesuatu. Tapi sebenarnya memang benar juga jika di sebut Aura sedang di kejar - kejar sesuatu karena memang masa lalunya kini sedang mengejarnya dan Aura berusaha untuk menghindar.
"Hah ... hah ... hah ...," napas Aura terasa berat, ia bahkan tidak sadar sejauh apa ia berlari tadi.
Keringat mengalir deras di wajahnya bahkan bajunya terasa basah, Aura melihat di depannya ada sebuah cafe. Tanpa banyak berpikir Aura langsung bergerak melangkahkan kakinya menuju ke cafe itu, kebetulan sekali cafe itu tidak terlalu ramai sepertinya.
Tangan Aura mendorong pintu cafe itu, lalu ia melangkahkan kakinya masuk. Aura berjalan terlebih dahulu ke arah kasir untuk memesan minumannya, ia berdiri di depan kasir menunggu orang di depannya menyelesaikan p********n. Dinginnya penyejuk ruangan membuat Aura merasa lebih tenang, keringatnya yang tertiup karena dinginnya penyejuk ruangan membuat Aura merasa lebih dingin dengan cepat.
"Selamat siang mbak ada yang bisa saya bantu?" tanya gadis yang sepertinya berusia tidak jauh darinya berdiri di balik mesin kasir.
Aura tersenyum kecil, ia tidak bisa bersikap dingin jika orang lain menyambutnya dengan ramah. "Saya mau pesan ice caramel machiato satu," ucap Aura setelah melihat daftar menu yang terpajang di dinding tepat di belakang kasir.
Petugas kasir itu segera mencatat pesanan Aura di mesin kasir, "untuk makanannya?" tanya petugas kasir itu ramah.
Aura melirik sekilas ke arah etalase yang ada di sebelah kasir, "puding mangga aja mbak," ucap Aura, ia sengaja tidak memilih makanan lain padahal ini sudah masuk jam siang, apa lagi jika bukan karena Aura yang tidak dalam keadaan mood yang bagus untuk makan.
"Baiklah saya ulangi ya mbak satu ice caramel machiato dan satu puding buah, ada tambahan?" tanya petugas kasih itu masih dengan nada suara yang ramah.
Aura menggelengkan kepalanya, "itu saja," ucap Aura lalu bersiap mengeluarkan kartu debit miliknya dari dalam tasnya.
"Totalnya 42 ribu mbak, pembayarannya mau cash atau apa?" tanya petugas kasir itu lagi, Aura segera memberikan kartu debitnya dan langsung di terima petugas kasir itu.
"Sebentar ya mbak," ucap petugas kasir lalu melanjutkan proses p********n, beberapa saat kemudian petugas kasir itu memberikan Aura struk belanjanya dan juga nomor meja.
"Nanti akan kami antar ya mbak," ucap petugas kasir itu ramah, Aura mengangguk lalu berjalan meninggalkan kasir.
Mata Aura menatap ke sekeliling cafe, ia sedang menentukan tempat mana yang akan ia duduki. Akhirnya Aura memutuskan untuk duduk di kursi yang ada di sudut belakang, ia ingin menyendiri saat ini. Langkah kaki Aura membawanya ke sana, ia duduk di kursi itu lalu memijat keningnya yang terasa pusing.
"Apa lagi maunya!" gumam Aura pelan, ia benar - benar kesal.
Tidak cukup bertemu saat rapat tadi, kemunculan Brian di ruang latihan tadi tentu saja benar - benar mengejutkan untuk Aura. Ia tidak terpikir jika Brian akan mengunjunginya sendiri, tidak pernah sekalipun. Harusnya, jika memang setidaknya kak Shyn pasti akan mengabarinya terlebih dahulu sekalipun Brian adalah CEO di sana.
"Apa belum cukup untuk dia," gumam Aura lagi, ia menambah kekuatannya untuk memijat keningnya yang terasa sakit itu.
Di luar tiba - tiba hujan turun, tidak terdengar sampai dalam memang jika saja Aura tidak mengalihkan pandangannya ke jendela maka Aura tidak akan sadar jika di luar sedang hujan. Aura tersenyum lebar, ia menertawakan dirinya sendiri yang memiliki takdir begitu menyedihkan.
"Permisi mbak," ucap seorang pelayan, ia tersenyum ramah menatap Aura.
Melihat itu Aura dengan cepat menyeka air mata yang turun melewati sudut matanya, entah kapan air mata itu turun dari sana karena Aura sendiri tidak sadar. Pelayan itu meletakkan ice caramel machiato pesanan Aura tadi, ia juga meletakkan puding buah sama seperti yang di tunjuk Aura tadi. Meskipun terlihat enak, sepertinya Aura tidak memiliki mood yang bagus untuk itu.
"Loh saya gak pesan ini mbak," ucap Aura bingung ketika pelayan itu meletakkan sekotak cokelat di atas meja Aura, ia bahkan memandang bingung ke arah pelayan itu.
"Cokelat ini dari mas yang itu," ucap pelayan itu menunjukkan ke arah sebuah meja, ada seorang laki - laki duduk di sana namun Aura tidak bisa mengenalinya karena membelakangi Aura.
"Maaf mbak bisa di kembalikan saja," ucap Aura menolak, jelas saja ia menolak Aura sama sekali tidak mengenal siapa laki - laki itu tetapi ia tiba - tiba ingin memberikan Aura cokelat.
Pelayan itu tampaknya bingung kemudian tiba - tiba ponsel Aura berdering, "sebentar ya mbak," ucap Aura lalu mengangkat panggilan dari Agry.
Aura menarik napasnya dalam terlebih dahulu sebelum berbicara, "halo," ucap Aura dengan suara parau, Aura segera menyesap minumannya karena sadar suaranya terdengar serak.
"Terimalah cokelat itu," ucap Agry dari balik telepon, Aura terkejut bagaimana Agry bisa tahu mengenai cokelat itu.
Aura menggeserkan tubuhnya, ia menatap kembali ke arah yang tadi di tunjuk oleh pelayan, "pak Agry?" ucap Aura terkejut, ia tidak sadar jika laki - laki yang duduk di sana adalah Agry karena tadi saat rapat pakaian Agry berbeda jadi tentu saja Aura tidak bisa mengenalinya.
Aura menatap pelayan yang berdiri, "mbak tinggal aja gak apa - apa, makasih ya mbak."
"Eum mbak sebentar," ucap Aura mencegah pelayan yang hendak pergi.
Pelayan itu menatap Aura ramah, "iya mbak?" tanyanya dengan nada suara lembut.
"Boleh saya minta kertas dan pinjam pulpennya?" tanya Aura meminta izin, pelayan itu langsung memberikan Aura pena dan selembar kertas. Tangan Aura terlihat menari - nari di atas kertas sambil memegang pulpen, ia terlihat menulis sesuatu.
Terima kasih, have a good lunch.
-Aura
Aura menjauhkan ponselnya, "tolong kasihkan kepada pelanggan yang memberi saya cokelat," ucap Aura, kemudian pelayan itu mengangguk mengerti terus pergi, Aura menatap cokelat di hadapannya. Bagaimana bisa kebetulan lagi mereka bertemu di sini, dari sekian banyak tempat kenapa bisa Aura bertemu dengan Agry, sungguh Aura merasa bingung.
"Apa ini kebetulan?" tanya Aura dari balik telepon, mereka saling memandang dari kejauhan.
Agry tertawa kecil, "entahlah, aku melihat seorang wanita berlari di bawah terik matahari. Aku kira ada sesuatu yang terjadi sehingga aku menyusulmu," ucap Agry terdengar mendalam dan tulus bagi Aura.
Tiba - tiba Aura meneteskan kembali air matanya, ia juga merutuki dirinya sendiri karena terlalu lemah dan terlalu cengeng karena mudah menangis padahal sejak kemarin ia sulit sekali mengeluarkan emosi sedih sampai menangis, lalu sekarang ia malah menangis tanpa bisa dikendalikan.
Agry terkejut melihat Aura yang menangis ia bahkan berdiri dari duduknya, "apa yang terjadi, apa aku melakukan kesalahan?" tanya Agry terdengar cemas dari balik telepon.
Wajah Agry terlihat cemas, namun saat Agry hendak berdiri Aura menggelengkan kepalanya seakan memberi tanda agar Agry tidak mendekat ke arahnya. Agry bernapas berat, ia sedang dilema saat ini. Entah mengapa belakangan Aura menunjukkan sikap yang membuat Agry harus membuat pilihan sulit, padahal biasanya dalam memutuskan sesuatu Agry tidak pernah kesulitan.