Tatapan Aura berhenti saat ia melihat laki - laki tadi, ia berdiri di lift yang ada di samping laki - laki itu. Jantung Aura berdegup dengan cepat, ia tidak mau telat untuk hari ini, apa lagi ini bukan hari biasa untuknya. Sejak tadi pagi jantung Aura semakin berdegup dengan kencang, ia ingin percaya diri tapi tidak bisa membohongi jika ia juga gugup
"Audisi 'kan?" tanya laki-laki itu.
Aura mengangguk, "iya," sautnya, sebenarnya Aura lebih merasa cemas karena lift di depannya tidak terbuka - buka.
Lift yang ada di depan laki-laki itu lebih dulu terbuka, laki - laki itu masuk sambil memandang Aura yang terlihat semakin gelisa. "Mau barengan?" tanya laki - laki itu menatap Aura.
"Apa bisa?" tanya Aura, karena setahunya satpam itu tadi bilang kalau lift pengunjung adalah lift yang ada dihadapan Aura.
"Ayo, tidak mau ikut?" tanya laki - laki itu memandang Aura, sebelah tangannya menekan tombol untuk menahan pintu agar tidak tertutup.
"Masuk," ucap laki-laki itu yang langsung diikuti oleh Aura, lagi pula ia tidak memiliki pilihan lain karena waktu sedang mengejar - kejarnya saat ini.
Aura bisa merasakan tatapan dari para pegawai lain yang menatapnya heran, tapi Aura tidak ambil pusing walaupun kini ia sendiri merasa bingung. Ia harus mengendalikan dirinya karena audisi yang sudah di depan mata.
"Kerja di sini?" tanya Aura, ia baru ingat jika tidak mengetahui apapun tentang laki - laki yang sudah 2 kali tidak sengaja ia temui ini.
"Iya," jawabnya singkat namun tidak terkesan dingin di telinga Aura.
Mendengar jawaban laki - laki itu Aura mengangguk-angguk mengerti, ia tidak ingin mengambil banyak pertanyaan untuk laki-laki itu. Bahkan, ia berharap untuk tidak bertemu dengan laki-laki itu lagi setelah ini.
"Nama kam---"
Belum selesai laki-laki itu berbicara, pintu lift terbuka tepat di lantai 20. Aura langsung mengucapkan terima kasih, lalu dengan cepat keluar dari dalam lift. Sedangkan laki-laki itu hanya tersenyum kecil melihat Aura yang berjalan dengan cepat seolah menghindarinya.
***
"Memang benar aku jatuh cinta kepadanya. Jika jatuh cinta adalah kejahatan, maka hukum saja aku, tapi jangan menyakitinya. Lebih baik aku yang mati menggantikannya, daripada harus melihatnya terluka seumur hidupku."
Prok.... Prokk... Prok....
Tepukan tangan terdengar memenuhi teater. Aura tersenyum lebar saat ia melihat kepuasan juri pada penampilannya. Kali ini saja, ia ingin percaya diri jika hasilnya pasti akan baik.
"Saya lihat pengalaman kamu sudah cukup banyak, sesuai dengan penampilan kamu ternyata. Tapi, sayangnya vokal kamu kurang memiliki rasa. Mungkin jika kamu lolos kamu bisa lebih dilatih untuk itu," ucap salah satu juri menatap dalam Aura, sebenarnya meskipun ada kritikan di dalam ucapan juri itu ada sedikit kebahagiaan mendengar punjianny.
Setidaknya apa yang Aura pelajari dan coba tunjukan bisa terlihat dan terbukti nyata, Aura juga sudah menunjukan sebisa mungkin apa yang ia bisa. Ia tidak memiliki penyesalan atas penampilannya, sekalipun nanti ia bisa tidak lolos Aura tidak akan menyesal.
"Terima kasih," ucap Aura masih dengan senyumnya.
"Saya setuju dengan juri pertama. Untuk penampilan kamu ini sudah menjual hanya perlu sedikit latihan lagi. Baik, kalau begitu terima kasih dan silakan menunggu hasilnya melalui pesan atau email, ya."
Aura mengangguk lalu berterima kasih sekali lagi sebelum keluar dari ruangan. Hari ini, bebannya terasa sedikit terangkat. Ia cukup percaya diri untuk bisa lolos ke seleksi selanjutnya. Apalagi dengan banyaknya punjian dan sedikit kritikan dari juri membuatnya cukup puas untuk saat ini. Aura berjalan keluar dari gedung Highlight Ent. dan kembali menuju halte.
Entah bagaimana, seakan langit mendukungnya hujan ternyata sudah berhenti. Matahari perlahan mulai terlihat meskipun tertutup awan. Kali ini, Aura berniat untuk pulang ke rumah sebelum nanti malam harus kembali ke cafe untuk pekerjaan part time-nya.
***
"Ra, gimana audisi?" tanya Winda yang merupakan atasan sekaligus teman Aura.
"Baik, aku udah ngelakuin sebisaku. Semoga saja nanti hasilnya benar - benar memiaskan Win," ucap Aura mencoba untuk percaya diri dan menyemangati dirinya.
"Aku selalu mendoakanmu, semoga hasilnya benar - benar bagus. Perjuanganmu harus terbayar," ucap Winda dalam, mendengar itu Aura tentu senang ia bisa mendapatkan dukungan dari satu - satunya teman terdekatnya saat ini.
Aura tersenyum mengangguk. "Ada pelanggan, tuh," ucap Aura sedikit berbisik saat melihat pintu cafe terbuka.
"Saya mau pesan satu mochachino sama dua vanila latte. Semuanya yang large sama low ice."
"Oke, jadinya tujuh puluh lima ribu ruliah." Aura mengambil uang uang yang diberikan oleh pelanggan itu lalu memberikan kembalian beserta struk belanjanya.
"Silakan tunggu sebentar," ucap Aura lalu memberikan pesanan yang di buat kepada barista.
"Saya pesan satu ice americano," ucap pelanggan lainnya.
"Oke, ice americano satu jadi dua puluh ribu rupiah." Aura meraih satu lembar uang 50 ribuan lalu menukarnya dengan kembalian dan struk nota pembelian.
"Tunggu seben--" ucapan Aura sedikit terputus saat melihat wajah pelanggannya kali ini.
Bagaimana tidak, hari ini saja sudah ketiga kalinya ia melihat laki-laki di hadapannya ini. Tidak mengerti bagaimana kebetulan membawanya bertemu dengan laki-laki ini lagi, rasanya Aura ingin tertawa dengan keberulan yang terjadi di antara mereka..
"Aura satu mochachino sama dua vanila latte sudah siap," ucap Winda meletakkan pesanan yang telah di buat ke atas meja.
"Ah, thanks, Winda."
"Silakan ditunggu dulu," ucap Aura pada laki-laki di hadapannya. Seakan mengerti laki-laki itu berjalan mengambil tempat duduk yang tidak jauh dari kasir.
"Pesanan nomor satu tujuh dua satu," ucap Aura lalu pelanggan tadi datang dan mengambil pesanannya.
"Rame banget dari tadi, Ra," ucap Winda yang mengambil napas dalam. Aura tertawa melihat tingkah Winda yang terlihat lucu baginya.
"Aura, Americano sudah ready."
"Oke, Kak," ucap Aura lalu mengambil satu cup americano dari meja barista.
"Pesanan satu tujuh tiga delapan," ucap Aura. Lalu, laki-laki itu berdiri dari duduknya dan mendatangi Aura.
"Dine in atau take away?" tanya Aura.
"Take away," jawab laki-laki itu.
"Wait," sahut Aura.
Aura mengambil pelapis cup agar tidak panas untuk dipegang. Ia berjalan ke samping lalu mengambil sebuah box kecil dan memasukkan matcha cake ke dalam kotak itu.
"Ini americano-nya dan ini untuk pertolongannya," ucap Aura menyerahkan kopi dan satu kotak box mini cake yang tadi sudah ia siapkan.
"Saya bayar aja, lagian saya nolongin bukan berniat minta imbalan."
Aura dengan cepat menolak ketika laki-laki itu mengeluarkan dompetnya, Aura tidak bisa menerima itu karena ia memberikan itu semua tulus sebagai rasa terima kasih dan balas budi terhadap pertolongan yang tidak disengaja oleh laki - laki itu.
"Tidak beneran ini hadiah," ucap Aura dengan tulus, ia mencoba membuat laki - laki itu mengerti.
"Tapi gak perlu," ucap laki - laki itu kembali menolak, entah sudah berapa kali ia menolak namun Aura juga gigih untuk membuat laki - laki itu menerimanya.
"Gak apa-apa, anggap aja ucapan terima kasih. Dan maaf bisa bicara nanti? Itu di bela--" Seakan mengerti ucapan Aura, laki-laki itu bergesar dari tempatnya berdiri, di belakangnya ada pelanggan yang siap mengantre.
"Kalau begitu sampai ketemu lagi, Aura."