BAB 4

997 Words
Kertas gabus berwarna putih turun seperti salju di atas panggung, membuat kesan musim dingin seolah berada di tengah-tengah penonton. Aura melangkahkan kakinya dengan air mata dan tangis yang tidak tertahan. Seorang laki-laki menarik tangannya lalu memeluknya dalam. Aura mencoba melepaskannya, tetap lelaki itu seolah menahan tak membiarkan Aura pergi dari peluknya. "Jangan pergi, semua hanyalah sebuah kesalahpahaman," ucap laki - laki itu menatap dalam mata Aura. Kepala Aura menggeleng, ia kemudian mendorong keras tubuh laki-laki yang menjadi pasangannya dalam drama teater kali ini. Laki - laki itu mundur beberapa langkah dari Aura, mata Aura langsung menatapnya dalam, ada air mata yang siap turun di sudut pipi Aura. "Tidak, apa cinta namanya jika penuh dengan kebohongan? Itu bukan cinta, kamu selama ini tidak pernah cinta kepadaku. Jadi, jangan melihatku seakan kamu mencintaiku. Kamu terlalu penuh kebohongan," ucap Aura menunjukkan senyumnya yang terlihat penuh luka. Pemeran laki-laki itu memegang pergelangan tangan Aura, menahannya lagi untuk melangkah menjauh. Sekali lagi Aura melepas pegangan tangan laki - laki itu, Aura menarik napasnya dalam tentu saja ia tetap merasa sangat sedih. "Tidak, jangan." "Lebih baik untuk tidak bertemu lagi. Silakan saja bersama dengan egomu itu." Aura melepaskan tangan pemeran pasangannya itu, lalu berjalan pergi menuju belakang panggung. Meninggalkan laki-laki itu yang kini menangis penuh penyesalan. Tepuk tangan dari penonton memenuhi ruangan ketika adegan berakhir. Para pemain naik ke atas panggung mengucapkan terima kasih kepada penonton. Setelah itu para pemeran kembali masuk, memberikan ruang kepada penonton untuk meninggalkan teater. "Eh, Aura sama Tama mana? " "Iya Kak?" tanya Aura yang datang bersamaan dengan Tama. "Nah, ini dia pemeran utama kita. Ini Aura dan ini Tama." Aura dan Tama bergantian menyalami pasangan yang diperkenalkan oleh pimpinan teater mereka. "Mereka mau foto bareng kalian, buat kenang-kenangan katanya." "Boleh, ayo kalo gitu. Di atas panggung aja kalau gitu. Gimana?" sahut Tama yang dibalas anggukan setuju oleh pasangan tersebut. Mereka bersama-sama menuju ke atas panggung, Aura memegang buket bunga yang diberikan oleh pasangan itu sedangkan pimpinan teater meminta salah seorang staff untuk mengambil gambar. Mereka berpose beberapa kali, untuk Aura sendiri hal sederhana seperti foto bersama dan mendapat buket bunga sudah seperti pengakuan orang terhadap penampilannya. Ia sangat menyukai hal-hal kecil seperti ini, tapi terasa besar jika dirasakan. "Kalau begitu, kita pamit duluan, ya." "Terima kasih. Silakan datang lagi." Pasangan tersebut berpamitan lalu berjalan keluar teater. "Udah gak heran kalo kalian yang jadi pemerannya. Ya sudah sekarang kalian ganti pakaian, ya. Setelah ini kita makan bersama," ucap pimpinan teater. "Yey ... makan-makan hehe," ucap Aura dengan nada bercanda. "Makan terus, Ra," balas Tama menertawakan Aura. "Ya sudah, cepat kalian beres-beres nanti perginya sama saya aja. Biar staff lain nyusul," lanjut pimpinan teater. Sedangkan kini, Aura sudah kembali ke ruang ganti untuk pemeran. Mengganti pakaiannya dan membersihkan sisa make up tebal yang masih menempel pada wajahnya. *** "Terima kasih untuk kerja keras kalian, selamat makan." Pimpinan teater memerikan sedikit ucapan terima kasih, sebelum akhirnya mempersilakan para pemain dan staff untuk makan malam. Kebersamaan seperti inilah yang mampu membuat Aura betah bertahan di dunia teater. Sudah banyak perjuangan bagi para pemain dan staff hingga bisa ke titik di mana cukup banyak penonton setiap penampilan. Padahal, jika ditelik dari saat pertama, lebih banyak keringat dan air mata yang keluar daripada senyuman. Memang benar, usaha tidak pernah mengkhianati hasil. Pada akhirnya, mereka sampai juga di titik dimana mereka bisa menikmati sedikit hasil dari kerja keras mereka. Meskipun sedikit sulit, jika dibandingkan dengan teater-teater besar lainnya, tapi mereka sudah sampai di titik yang tidak membuat mereka cemas. "Semuanya, terima kasih lagi untuk hari ini. Karena sudah malam, mari kita semua pulang dan beristirahat. Jaga kesehatan kalian," ucap pimpinan setelah ia melihat jam sudah menunjukan pukul 10 malam. Setelah berpisah dengan pemain dan staff lain, Aura berjalan menuju rumahnya yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat mereka tadi makan bersama. Setiap angin yang lewat dan mencoba menerbangkan rambutnya tidak membuatnya kesal, ia cukup menikmati suasana malam. Bahkan, biasanya Aura akan berjalan di sekitar rumahnya saat malam hari untuk sekadar menikmati suasana malam atau sekadar menjernikan pikirannya. Aura berjalan melewati beberapa toko yang berada di sepanjang pinggiran jalan. Untungnya, banyak toko yang buka hingga tengah malam membuat daerah ini cukup aman karena ramai. Untuk perempuan sepertinya, ini membantunya memiliki sedikit rasa aman saat ia harus pulang malam setelah berkerja. Aura terus saja berjalan hingga kakinya berhenti melangkah tanpa ia sadari. Di depan sana ia melihat sosok yang selama 5 tahun ini tidak ingin ia temui lagi. Ia terus melihat sosok itu memegang satu cup minuman ditangannya, entah mengapa tiba-tiba air mata turun di pipinya. Aura segera menutupi dirinya dengan pohon yang kebetulan berada beberapa langkah darinya, membiarkan laki-laki itu pergi dengan mobil yang melaju melewatinya. "Kapan dia kembali?" gumam Aura. Aura masih terdiam selama beberapa saat, ia merasa seakan kenangan - kenangan yang selama ini ia simpan kembali terungkap kembali bagaikan film yang secara otomatis terputar di kepala Aura. Kaki Aura seakan lemas, ia bahkan terduduk tanpa bisa ia tahan. Kepala Aura tertunduk, air matanya masih turun melewati pipinya meskipun ia sudah sekuat tenaga menahannya. "Kenapa harus bertemu dia," gumam Aura dalam hatinya, ia sebenarnya sangat terkejut mana pernah Aura terbayangkan akan bertemu dengannya lagi setelah sekian lama. Aura menarik napasnya dalam, ia segera menghapus air mata yang turun di pipinya. Aura berusaha sekuat tenaga berdiri, lalu berjalan. Saat ini, Aura hanya ingin segera kembali ke rumah. Ia mempercepat langkah kakinya, sebelum dirinya benar - benar merasa lemah. Beberapa orang memandang Aura dengan tatapan bingung dan aneh, Aura terus saja menundukkan kepalanya sambil melangkahkan kakinya. Langkah Aura semakin cepat, bahkan tanpa sadar ia bahkan bukan berjalan lagi namun langkahnya kini berubah menjadi lari yang semakin lama semakin cepat. "Aku harus pulang," gumam Aura dalam hatinya, ia berlari sambil terus menghapus air matanya. Napas Aura semakin memburu, ia memegang pintu pagar rumahnya. Mengatur napasnya lalu membuka pintu itu, ia dengan cepat masuk ke dalam rumahnya dan menguncinya. Dengan kasar Aur membuka pintu kamarnya dan membantingnya keras saat akan menutupnya, Aura kembali jatuh dengan memeluk lututnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD