TUJUH BELAS

1453 Words
Keiyan berteriak sekeras-kerasnya guna melepas rasa sesak yang menghimpit di dalam d**a. "Aaaaaaa." Keiyan terduduk lemas di atas beton nan kukuh. Ya, Kei saat ini berada di atap gedung apartemen. Kei ingin melupakan segala rasa yang bertumpuk di dalam dirinya. Ia kesal, kecewa dan takut. Ia merasa sangat kesal kepada dirinya sendiri. Kenapa semua ini terjadi kepada dirinya. Kei sangat sadar bahwa dirinya kini memang berbeda. Ia pikir, dapat membaca pikiran orang merupakan anugerah sekaligus musibah yang harus ia tanggung seumur hidup. Tapi kenyataannya justru lebih dari apa yang dipikirkan selama ini. Kei kecewa, kenapa dirinya berbeda dari manusia yang lain. Bahkan bertambah lagi kelebihan yang ia miliki. Haruskah Kei merasa senang? Ataukah merasa sedih? Bisa membaca pikiran orang saja begitu banyak orang yang tidak suka dan menganggapnya sebagai monster. Apalagi sekarang? Kei ingin sekali menjadi normal layaknya manusia yang lain. Namun apalah daya, Kei tidak bisa menghalangi ataupun menolak kelebihan tersebut. Kei takut, amat takut. Ia takut suatu saat nanti, kelebihan yang dimilikinya akan melukai orang-orang sekitar yang disayanginya. "Kei, kamu dengar aku?" suara berat seorang lelaki mengejutkan dirinya yang sedang termenung. "Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau selalu memanggil? Tunjukkan wujudmu dan temui aku. Jangan kamu menjadi seorang pengecut?" tantangnya. Kei sudah mulai lelah memikirkan semua ini. "Aku bukanlah pengecut, Kei. Hanya saja untuk saat ini aku tidak bisa menunjukkan wujudku kepadamu. Bukanya aku tak ingin, lebih tepatnya aku tidak bisa. Ini belum waktuku untuk keluar. Aku hanya ingin berpesan kepadamu janganlah kau membenci dirimu sendiri. Suatu saat, kamu akan sangat bersyukur telah memiliki kami. Aku akan segera kembali tertidur di tempat terkecil di hatimu. Aku akan kembali lagi di waktu yang tepat." Tidak ada lagi suara-suara yang beberapa hari ini mengganggunya. Semua ini sungguh membuat Keiyan frustrasi. ia mengacak rambutnya kasar. satu satunya orang yang bisa menjawab semua keanehan ini adalah kedua orang tuanya. “Aku harus bertanya kepada ibu perihal semua ini. Pasti ibu tahu semuanya tentang apa yang terjadi kepadaku. Tapi … apa mungkin yang aku pikirkan ini benar? Aku harus memastikannya sendiri. aku akan bertanya kepada ibu dan bapak. Semoga apa yang aku pikirkan ini salah. Keiyan sudah memantapkan diri untuk bertanya kepada kedua orang tuanya di kampung. Ia sudah menyiapkan hati untuk segala kemungkinan terburuk. Ibu Sri sedari kemarin merasa sangat gelisah. Entah apa yang sedang terjadi. Ibu Sri berjalan mondar-mandir tak menentu. Hatinya risau akan putranya. Beliau takut telah terjadi sesuatu kepada Keiyan. "Sudahlah, kamu jangan terlalu khawatir. Sebentar lagi Kei akan datang bersama seorang temannya." Mbok Lastri menenangkan hati ibu Sri yang gelisah. "Dari mana, Mbok tahu kalau Kei akan datang?" ibu Sri seperti tidak percaya dengan perkataan mbok Lastri. "Percayalah, kita tunggu hingga sore hari nanti." Mbok Lastri menuju kamar tempat pak Nawi di rawat. "Bagaimana keadaanmu, Nak?" tanya Mbok Lastri saat melihat pak Nawi sudah duduk bersandar di kepala ranjang. "Sudah lebih baik, Mbok. Saya berterima kasih karena mbok sudi menampung saya yang penyakitan ini." "Jangan seperti itu, kamu sudah saya anggap seperti anak saya sendiri. Apa kamu masih ingat dengan pesan ku dua puluh tahun yang lalu?" Pak Nawi sangat terkejut dengan pertanyaan mbok Lastri. "Jadi orang yang waktu itu adalah mbok Lastri?" pak Nawi matikan. Mbok Lastri mengangguk. "Saya masih ingat, Mbok. Apakah sekarang sudah waktunya?" Melihat mbok Lastri mengangguk, pak Nawi sudah mengerti apa yang harus dilakukan. Terdengar suara motor vixion berhenti di pelataran rumah mbok Lastri. Mereka tahu siapa yang datang dan mengetuk pintu rumah sederhana mbok Lastri. " Kei… putraku." bu Sri memeluk erat tubuh Keiyan yang dirindukannya. "Nak, kenapa dengan lenganmu? Bagaimana kamu bisa terluka?" Ibu Sri menitikkan air mata sembari mengusap lembut lengan Kei yang tertutup perban. "Ini hanya luka kecil, Ibu tidak perlu khawatir," ucap Kei dengan lembut. "Pak, Bu, sebenarnya Kei kemari untuk menanyakan sesuatu. Apa benar Kei bukan manusia seperti kalian?" tanya Kei tanpa basa-basi. "Dari mana kamu tahu kalau kamu bukan manusia?" tanya ibu yang terkejut dengan pertanyaan Keiyan. Beda halnya dengan bapak yang sudah mengetahui bahwa Kei akan menanyakan hal tersebut. "Kei merasakan ya, Bu. Kalau aku seorang manusia biasa, mana mungkin aku bisa membaca pikiran orang lain, tidak mungkin pula aku bisa mengalahkan kawanan serigala lapar serta menumbuhkan kembali pohon yang kutebas?" jelas Kei. "Kei," ibu langsung memeluk Kei dengan deraian air mata. Beliau takut kalau Kei akan pergi meninggalkannya. Ibu menoleh menatap bapak. Bapak memberi isyarat dengan kedipan mata. Ibu mengerti dengan isyarat yang bapak berikan. "Kei, berjanjilah satu hal kepada ibu. Jangan pernah membenci dan meninggalkan kami." Keiyan mengangguk. Ia sangat sangat mengerti bahwa ibu tidak ingin kehilangannya, pun dengan dirinya yang sangat menyayangi keduanya. Jantung Kei berdebar sangat cepat, Kei akan menerima semua jawaban yang akan diberikan sang ibu walaupun akan menyakitkan. Mau tak mau, Kei harus menerima. "Semua yang kamu katakan benar, Nak. Bahwa dirimu sebenarnya bukanlah manusia." Ibu semakin terisak, ketika mengatakan yang sebenarnya. Kei sudah menduga akan jawaban tersebut. Sakit, kecewa bercampur menjadi satu. Ingin sekali Kei menangis, tapi ia tidak ingin melihat sang ibu semakin sedih. Flashback Malam itu merupakan malam yang memilukan bagi pasangan suami-istri bernama Nawi dan Sri. Sebab, malam itu hari kematian sang buah hati yang masih berumur satu minggu. Di Tengah kesedihan yang melanda keluarga kecil tersebut, datang seorang tamu wanita tua mengetuk pintu tengah malam. "Maaf, Nak. Bisakah kalian menolongnya?" Sambil menyodorkan sebuah keranjang berisi bayi laki-laki. Bayi tersebut terlelap dalam tidurnya tanpa merasa terusik sedikit pun. Kain sutra yang sangat lembut membungkus tubuh mungil itu. Tampak jelas bayi itu merupakan anak dari orang berada. "Maaf, Nek. Ini anak siapa? Kenapa nenek membawanya kemari?" tanya pak Nawi kepada nenek tersebut. "Saya tahu, kalian baru saja kehilangan buah hati. Tidakkah kalian kasihan melihat bayi tak berdosa ini harus mati tanpa ada yang menolong? Kalau saja nenek bisa, nenek sudah membawa bayi ini dan membesarkannya." Ibu Sri tidak tega melihat bayi yang mulai terusik. Tangisnya pecah seketika kala terbayang wajah bayinya yang telah tiada. Ibu langsung menggendong bayi itu dan memberinya ASI ketika bayi itu menangis. Suara tangis bayi mungil itu mampu mengalihkan bu Sri dari kesedihan akan kehilangan seorang anak. "Saya akan merawat bayi ini. Dia akan menjadi anakku mulai saat ini." dengan mantap ibu menerima bayi itu. "Tapi kalian harus mengingat satu hal, suatu saat nanti bayi itu akan pergi mencari orang tua kandungnya serta kebenaran akan dirinya yang bukan golongan dari manusia. Bayi itu di takdirkan untuk mengemban satu tanggung jawab yang sangat besar. Aku harap kalian mendidiknya dengan baik." Nenek tersebut langsung pergi begitu saja sebelum sepasang suami-istri itu mengiyakan nasehat dari nenek tersebut. Flashback end. Mbok Lastri keluar dari kamar sambil membawa sebuah buku usang serta sebuah kotak kecil yang terbuat dari kuningan. "Kei, bawalah ini. Gunakan buku dan ini sebagai petunjuk untuk mencari tahu siapa dirimu sebenarnya." Mbok Lastri memberikan buku beserta kotak tersebut kepada Keiyan. "Apa ini, Nek?" Keiyan sungguh tidak mengerti kenapa mbok Lastri memberikan semua itu kepadanya. "Mbok menemukan ini di dalam keranjang bayimu waktu itu. Mbok yakin, suatu saat pasti akan berguna." Kei membuka kotak tersebut. Da. Mengeluarkan sebuah logam mulia yang melingkar indah di dalam kotak. Kei mengeluarkan cincin emas putih berhiaskan permata hijau sangat indah. "Gunakan ini sebagai petunjuk menemukan jati dirimu yang sebenarnya, Nak." "Mbok, dari mana mbok tahu kalau aku bukanlah bayi manusia?" Kei merasa ada yang aneh dengan cerita masa lalunya. "Ketika seseorang memberikan kamu, aku bisa melihat luka pada wajahmu bisa sembuh dengan sendirinya. Kalau kamu masih saja tidak percaya, maka lihatlah luka pada lenganmu saat ini." menunjuk lengan Kei yang terluka. Keiyan membuka perban pada tangannya. Keiyan sangat terkejut dengan apa yang ia lihat saat ini. Ia masih ingat betul bagaimana lukanya saat itu. Sebagian daging yang berada di dalam rahang serigala bisa dipastikan itu adalah daging pada lengannya. Taring runcing serigala tersebut masuk sangat dalam hingga ke tulang. Hanya dalam waktu dua malam, luka yang menganga lebar itu menyusut. kini menjadi luka sayatan biasa. “Bagaimana ini bisa terjadi?” Kei bergumam. “Itu karena kita makhluk spesial, Kei.” Sontak semua menoleh kepada Endrew yang sedari awal hanya memperhatikan saja. “Semua makhluk penghuni Dunia Immortal dapat meregenerasi sel dengan cepat, sebab itulah kami bisa menyembuhkan luka dengan sendirinya walaupun sangat parah. Sekarang lo yakin dengan semua perkataan gue?” sambil menepuk bahu Kei. Dengan bekal sebuah cincin dan sebuah buku usang tersebut, Kei berniat untuk mencari siapa orang tua kandungnya. dan kenapa mereka tidak merawatnya. Kei hanya ingin tahu alasan kenapa orang tuanya mengirim Keiyan pada Dunia lain. “Kalau lo ingin mencari orang tua lo, gue akan bantu sebisa gue. setidaknya lo nggak sendirian di sana nanti.” “Terima kasih banyak, Kek.” Kei memeluk Endrew dengan lembut. ia sangat berterima kasih karena Endrew membantunya selama ini. Bagi Keiyan, Endrew lebih dari sekada teman, tapi Endrew juga saudara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD