DUA PULUH TUJUH

1059 Words
Author POV Keiyan masih terjaga di tengah malam. Ia masih memikirkan kekuatan yang amat besar. Sebenarnya Keiyan sangat takut jika ia tidak bisa mengendalikan kekuatan tersebut. Dan Kei takut akan melukai orang tidak bersalah. Keiyan ingin sekali memindahkan kekuatannya kepada orang lain. Tapi tak bisa ia lakukan. Gejolak batin yang Kei rasakan membuat jiwa naga didalam diri Keiyan terbangun. Tubuh Kei terasa panas seperti terbakar, sesuatu mendesak keluar melalui kerongkongan. Namun sebisa mungkin Kei menahan gejolak tersebut. Udara disekitar juga semakin panas seiring tubuh Kei ya g berubah warna kemerahan. Gary dan Grace merasa ada sesuatu yang aneh. Udara malam yang biasanya dingin, kinie. Dadak menjadi sangat panas. Gary teringat akan apa yang katakan oleh Kei bahwa ada jiwa seekor naga yang bersemayam dalam tubuhnya. Gary segera keluar menuju kamar yang digunakan oleh Keiyan. Dan benar dugaanya, di dalam kamar mengeluarkan cahaya merah, seluruh kamar Kei berubah suhu menjadi panas seperti bara api. Hanya ada dua cara untuk menghentikan semua, yaitu menenangkan hati Keiyan yang gundah atau memanggil jiwa pohon untuk mendinginkan tubuh Kei yang terbakar. Jack terbangun kala ia merasakan energi yang sangat kuat. Ia segera melangkah ke arah kamar Kei. Jack terkejut mendapati Kei dengan tubuh memerah karena panas yang menyerangnya. Jack melihat keluar ruangan, diluar Jack mendapati salju yang turun dengan lebat. Dengan cepat, Jack mengambil salju dari luar dan disiramkan pada tubuh Keiyan. Berharap rasa panas itu segera reda. Suhu dingin salju di kalahkan oleh panasnya api yang keluar dari dalam tubuh Keiyan. "Tuan, tenanglah. Ingatlah ibu Sri yang selalu mendoakan tuan dimanapun tuan berada. Jangan lupakan Bapak yang selalu ada dan membuka tangan di setiap kepulanganmu." perkataan Jack membuat kesadaran Keiyan kembali dengan perlahan. Udara sekitar yang panas berangsur turun menjadi sejuk seperti sedia kala. Tubuh Keiyan seketika limbung dan terjatuh tak kuasa menahan berat tubuhnya. Nafasnya tersengal disertai keringat dingin di sekujur tubuhnya. Pengaruh ibu Sri sungguh besar pada diri Keiyan. Grace mendekat sambil membawa secawan air dengan madu. "Minumlah, Kei. Kau akan merasa lebih baik." Keiyan menerima cawan tersebut dan meneguknya hingga tandas. Rasa manis dari madu dapat menenangkan hati Kei yang gundah. "Terima kasih, Nek." memberikan cawan kosong kepada Grace. "Sudah lebih baik?" tanya Grace. "Ya, ini jauh lebih baik dari sebelumnya." Grace tersenyum dan bertanya, "Apa yang membuatmu bisa tenang? Aku lihat kamu seketika tenang saat nama ibumu disebut. Tampaknya kamu sangat dekat dengan ibumu." "Ya, nenek benar. Aku sangat dekat kepada ibu asuhku. Bukan hanya beliau, tapi bapak juga. Walau bapak sering kali bertingkah konyol, semata-mata untuk membuat kami tersenyum. Hanya suara lembut dan senyum ibu yang bisa membuat aku lebih tenang." sambil mendongak mengingat hari-harinya di kampung. "Apa kamu merindukannya, Kei?" yang dijawab dengan anggukan. "Aku bisa membantumu melihat keadaan beliau." seketika tawaran itu membuat Keiyan mengulas senyum. "Terima kasih, Nek. Apakah kita akan pergi kesana?" tanya Kei dengan semangat. Grace pun tersenyum melihat semangat Kei yang sudah kembali. "Maafkan aku, kita akan melihat mereka dari sini." Keiyan sedikit kecewa mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Grace. Tapi Kei juga senang bisa melihat sosok ibu yang dirindukan. "Baiklah, Nek." Grace mengambil wadah yang cukup besar yang diisi dengan air serta beberapa bunga. Wadah tersebut dibawanya keluar rumah dan diletakkan di bawah sinar bulan. Grace menaburkan serbuk ke atas air, dalam beberapa saat air tersebut mengeluarkan asap putih. Grace melafalkan sebuah mantra sambil menutup kelopak matanya. Perlahan kabut putih itu menghilang dan diganti dengan gambar seseorang yang sangat dirindukan Keiyan. "Lihatlah, Kei!" perintah Grace setelah menyelesaikan ritualnya. Keiyan bisa melihat, ibu yang sedang memasak pecel jantung pisang kesukaanya. Ibu menyiapkan me kanan itu di meja makan tempat mereka biasa bercanda setelah makan. "Pak,! Ayo sarapan dulu," teriak ibu yang memanggil bapak. "Iya, bu. Bapak dengar. Masak apa ibu hari ini? Pasti enak!" kata bapak menggoda ibu. "Ibu masak jantung pisang kesukaan anakmu, Pak." jawab ibu sambil menunjuk cobek dengan ekor matanya. Ibu memasak jantung pisang yang dibiarkan masih berada di atas cobek. Ibu sengaja karena itu menu kesukaan Kei. Dan Kei sering kali makan menggunakan cobek sebagai wadah. Bukan piring yang tersedia. Ibu masih ingat kata Kei, kalau merasa masakan itu sangat nikmat kalau memakannya langsung di cobek. Bapak tahu kalau saat ini ibu merindukan Keiyan, "Sudah, ayo kita sarapan. Kita makan pakai cobek saja, ndak usah pakai piring." perkataan bapak membubarkan lamunan ibu. "Pak, kok cuma ambil nasi seporsi?" tanya ibu heran. Sebab ibu melihat bapak hanya mengambil nasi di atas cobek saja. Sedangkan semua piring yang disediakan sudah dikembalikan dirak piring. "Kita join aja, bu. Biar romantis, he he," Keiyan tersenyum mendengar ucapan bapak. Memang bapak selalu bisa menghibur ibu dalam keadaan apapun. Keiyan senang meskipun ia tidak bisa berbicara langsung, melihat mereka baik-baik saja sudah cukup untuk mengobati rasa rindunya. "Romantis dari hongkong?" ibu menimpali ucapan bapak. "Yang romantis itu, dinner di tepi pantai sambil melihat deburan ombak. Makanannya steik atau pasta kayak di tipi-tipi itu loh, Pak. Ingat pak umur kita udah tua, jangan aneh-aneh." lanjut ibu. "Ya kan bapak cuma menirukan mereka, biar ibu senang. Walaupun umur kita sudah tua, tapi jiwa kita tetap muda. Aduh!" bapak mendapat hadiah dari ibu. Ibu memukul kepala bapak menggunakan sendok yang ada di tangannya. "Sakit, bu!" rengek bapak sambil mengusap kepala yang mendapat tatapan tajam dari ibu. "Sudah cepat makan! Dari tadi ngomongnya ngelantur. Lama-lama jadi sinting tau rasa," omel ibu kepada bapak. Bapak hanya tersenyum menanggapi ucapan ibu. Begitu juga Kei yang tertawa melihat kekonyolan bapak dan ibu. "Bu, sini bapak suapin. Sudah lama bapak gak manjain ibu." Ibu mendekat dengan wajah yang merona, ibu tersipu malu mendengar penuturan bapak. Bapak mengambil nasi beserta lauk, kemudian menyuapi ibu menggunakan tangan. Sungguh pemandangan yang indah buat Keiyan. Tiba-tiba ibu menangis karena teringat akan Keiyan. "Bu, ndak apa merindukan Kei. Bapak juga sama, rindu sama anak menyebalkan itu. Tapi ya jangan terlalu sedih. Yang penting kita doakan saja semoga Kei baik-baik saja. Dilancarkan segala urusannya di sana dan semoga dia cepat kembali di tengah-tengah kita dalam keadaan sehat. Ingat, Bu. Doa seorang ibu paling mujarab. Kalau Kei tahu ibu sering melamun, Kei juga akan sedih. Jadi tersenyumlah!" ibu tersenyum seperti apa yang dikatakan sang suami. Ya itu benar kalau dirinya disini bahagia, Kei pasti juga akan bahagia disana. "Nah, gitu kan ibu makin cantik. Bapak jadi lope-lope sama ibu." ucapan bapak membuat orang berada di dekat Kei tertawa karena kekonyolan bapak. Ya inilah yang membuat Keiyan sangat merindukan rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD