DUA

1209 Words
    Malam ini aku akan memberanikan diri untuk meminta izin kepada bapak dan ibu untuk menempuh pendidikan di kota. Setelah makan malam nanti, aku akan coba berbicara dengan bapak. Sekarang ibu masih berada di dapur untuk menyiapkan makan malam. “Bu apakah bapak sudah pulang? Tanyaku kepada ibu yang sedang memasak. “Sudah, baru saja bapak masuk kamar mandi.”jawab ibu. “Memangnya ada apa Kei? Apa ada masalah? Kamu bisa cerita kepada ibu.” Ibu seakan merasakan kegundahanku. “Tidak bu,, aku hanya bertanya saja.” Ucapku, sepertinya ibu sudah menduga akan ada yang aku bicarakan. Mungkin ini yang namanya ikatan bathin.     Aku lihat bapak sudah selesai dan keluar dari kamar mandi. Kemudian bapak duduk di kursi ruang tengah sambil merokok. Selagi menunggu ibu yang masih memasak. Aku mengikuti bapak dan duduk di depan bapak. “Bapak tadi siang kok tidak langsung pulang pak?” tanyaku kepada bapak. Sebab tadi siang pekerjaan memanen cabai sudah selesai siang hari. “Bapak tadi mampir ke rumah mbok ijah. Bapak bantu benerin kabel lampu. Kasihan mbok ijah, sudah hidup sendirian. Anak anaknya mengunjungi cuma dua bulan sekali. Bapak jadi ingat ibu kamu, bagaimana kalo ibu dalam posisi kayak mbok ijah.” Bapak menjelaskan kepadaku. “Uang hasil penjualan cabai dapat berapa Kei?” bapak kembali bertanya kepadaku. “Dapat banyak pak. Dapat empat juta lebih.” Kata ibu yang menjawab pertanyaan bapak. “oh ... sudah di kasih ke ibu toh!” bapak memastikan. “Iya pak, sudah dari tadi siang. Langsung aku kasih ibu,” kataku menjelaskan. Ibu kembali ke dapur untuk menyajikan makan malam untuk kami. “Kok kamu langsung berikan Kei ... Kalau gini, bapak gak jadi beli rokok enak.” Bapak protes sambil berbisik bisik. Takut kalau ibu mendengarkan ucapannya. Aku hanya tersenyum mendengar ungkapan hati bapak. “ Lha bapak tadi siang gak bilang sama Kei kalau mau beli rokok,  Kei jadi gak tahu pak.” Jawabku sambil berbisik seperti bapak. “Harusnya kamu ngerti dengan fikiran bapak, baca isi otak bapak.” Ucap bapak agak sedikit kesal. “Memangnya harga rokoknya berapa pak?” tanyaku kepada bapak. “Bapak ingin beli satu slop. Buat persediaan selama satu minggu. Kalau gini satu slop bisa jadi sebulan bila ibumu yang belikan.” Gerutu bapak. “Lha enak toh ... jadi irit pak. Sisa uangnya bisa di tabung.” Kataku lagi. “Bapak juga pengen sekali kali ngrokoknya mulus kayak jalan tol. Los,,,dol,,,! Gak pake rem cakram segala.” Kata bapak lagi. Aku menahan tawa mendengar ucapan bapak. “Apanya pak yang los dol? Dari tadi ibu dengerin bisik bisik mulu, pasti ngomongin yang aneh aneh ini.!” ibu tiba tiba berada di depan bapak. “Walah bu ... bapak kaget. Ibu kok kayak mbak kunti saja, tiba tiba di depan bapak.” Kata bapak yang terkejut karena kedatangan ibu. “Alah alasan ... ayo ngaku ngomongin apa tadi. Kalo gak ngomong yang aneh aneh, bapak gak bakalan kaget ada ibu disini.” kata ibu. “Beneran kok bu, kita gak ngomongin apa apa. Iya toh Kei?” sangkal bapak sambil mengedipkan mata kepadaku. “ iya bu,, kata bapak bener kok! Bapak cuma bilang kalau ibu itu masih cantik, terus kulitnya masih mulus kayak jalan tol.” Aku sedikit berbohong untuk menyelamatkan bapak. “Beneran itu?” ibu bertanya untuk memastikan. “Bener ...  ibuku tersayang!” kataku dan bapak yang serempak. “Walah ... bapak sama anak kok klop banget, ibu jadi malu di puji dua orang yang ganteng kayak gini.” Ucap ibu malu malu dengan wajah yang sudah memerah. “Lha siapa dulu bapaknya. Pak Nawi gitu loh,” ucap bapak dengan narsis. “Sudah sudah, kita makan dulu. Nanti keburu dingin.” Kata ibu. Kami makan dengan di selingi obrolan ringan. Di saat seperti ini aku akan mencoba untuk minta izin. “Pak, Bu, bagaimana kalau Kei melanjutkan kuliah di kota?” tanyaku dengan sedikit takut. Takut kalau ibu marah. “Buat apa kamu kuliah di kota Kei,,? Di sini saja bantu bapak ngurus kebon cabai sama jagung. Lama lama kamu bisa jadi juragan kebon. Tanpa sekolah tinggi, hidupmu akan terpenuhi.” Kata bapak. “Kei ingin tahu, dikota itu seperti apa? Kata pak Budi pengepul cabai, di sana rame Pak. Banyak universitas di sana. di sana juga banyak anak seumuranku lho Pak.” Dengan antusias aku menjawab. “Kamu mau meninggalkan Ibu Kei?” kali ini ibu yang bicara. “Ndak bu ... Kei hanya akan belajar di sana.” kataku lagi “Ndak bagaimana? Jelas jelas kamu ingin meninggalkan ibu, dengan kamu memilih untuk belajar di kota, itu artinya kamu ingin jauh dari Ibu Kei.” Ibu berusaha menahanku supaya tidak pergi ke kota. “Kamu tahu Kei? Hidup di kota itu keras. Banyak penjahat berkeliaran, dan juga tidak semua orang kota bisa di percaya.” Kali ini bapak menasehati. “Untuk itu pak, izinkan Kei mencari pengalaman dengan hidup sendiri di kota. Kei janji akan sering sering berkunjung jika tidak repot.” Kataku mencoba meyakinkan bapak. “Terus bagaimana  kamu hidup di sana Kei, siapa yang akan menyiapkan makan untukmu?” ibu kembali bertanya. “Kei akan mencari kerja di sana bu, untuk biaya hidup dan kuliah nanti. Selama Kei masih disini, Kei akan belajar masak bu. Ibu sama Bapak tidak perlu khawatir. Kei akan belajar bertanggung jawab atas diri Kei sendiri sebelum nanti Kei menjalani rumah tangga. Kei akan belajar menjadi seperti bapak yang bertanggung jawab atas keluarga. Percayalah, Kei baik baik saja,” “Kamu mau tidur dimana Kei? Kita tidak memiliki sanak saudara di kota.” Ibu kembali melayangkan pertanyaan. “Kei akan kost, disana banyak tempat kost untuk para mahasiswa.” Kataku meyakinkan ibu. “Ndak Kei ... Ibu ndak setuju. Kamu kuliah saja di dekat sini. Ibu gak mau jauh dari kamu Kei.” Ucap ibu tegas. “Bapak juga gak setuju Kei. Kamu itu anak satu satunya Bapak sama Ibu. Apa kamu tega meninggalkan Bapak sama Ibu sendiri?” bapak pergi meninggalkan makanan yang belum habis. sedangkan Ibu hanya menunduk sambil membersihkan piring kotor. Aku mendekat ke arah ibu yang sedang membersihkan peralatan makan. Kudengar suara tangis ibu yang tertahan. “ Bu, maafkan Kei telah membuat ibu menangis. Kei hanya ingin mengutarakan keinginan Kei. Dan Kei hanya ingin menjadi anak yang mandiri Bu.” Kataku yang berada di belakang ibu. “Sudah malam Kei, kamu cepat istirahat. Ibu sudah mengatuk.” Kata ibu yang tidak ingin menatapku. “Bu,,” panggilku. Namun ibu tidak menghiraukanku. Ibu berlalu begitu saja meninggalkan aku sendiri.     Rumah yang tadinya hangat dan penuh canda, kini menjadi hening karena diriku. Malam ini terasa begitu sepi, di tambah kedua orang tuaku kini mendiamkan aku. Aku tidak mengerti dengan pola pikir mereka. Di saat pemuda lain yang di paksa untuk merantau ke kota untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Tapi aku tidak di izinkan ke kota.     Sejak aku berumur 3 tahun, aku selalu berada di desa. Aku sama sekali belum pernah ke kota walau hanya sekedar melihat lihat. Bahkan saat sekolah mengadakan rekreasi, aku tidak pernah di perbolehkan untuk ikut, Aku tidak tahu apa alasan bapak dan juga ibu. Mereka tidak pernah mengatakannya kepadaku. Aku sendiri juga tidak menanyakan apa alasannya. Yang aku yakini, semua yang di lakukan ibu dan bapak adalah untuk kebaikanku. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD