TIGA

1272 Words
    Satu bulan sudah semenjak Keiyan meminta izin kedua orang tuanya untuk melanjutkan kuliah di kota. Namun kedua orang tua Keiyan tetap tidak mengizinkan Keiyan untuk pergi. Selama satu bulan ini, rumah keiyan berubah menjadi dingin, tidak ada lagi kehangatan serta canda tawa. Hari ini juga merupakan hari Spesial untuk Keiyan. Karena pagi ini merupakan hari kelulusan Keiyan di SMA.     Selama acara kelulusan, Keiyan belum melihat kedua orang tuanya hadir dalam acara tersebut. Keiyan sadar, dirinya telah membuat kedua orang tuanya marah. Sehingga dia pasrah, jika di hari istimewanya ini Keiyan sendirian.     Di tengah tengah acara kelulusan, Keiyan melihat kedua orang tuanya duduk di antara wali murid yang lainnya. Hingga tiba waktunya untuk memberikan penghargaan untuk siswa terbaik di sekolah itu. Keiyan merupakan salah satu murid berprestasi, dan ia bersiap untuk menerima penghargaan dari ketua yayasan di sekolah.     Keiyan berjajar di antara tiga anak berprestasi. Dan Keiyan adalah murid terbaik dengan nilai paling sempurna. Keiyan pun mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan ke salah satu universitas ternama di kota. Dengan senang hati Keiyan menerima penghargaan tersebut, karena memang ini merupakan salah satu impian Keiyan.     Usai penerimaan penghargaan, Keiyan segera turun dari podium untuk menemui kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya merasa bangga dengan apa yang telah di raih Keiyan selama ini. karena memang, Keiyan merupakan siswa terbaik di setiap tahunnya. Tapi di balik rasa bangganya itu terdapat satu kegundahan di hati kedua orang tua Keiyan. “Selamat nak, tahun ini kamu mendapat penghargaan siswa terbaik lagi.” Kata Sri, ibu dari Keiyan. “Terima kasih bu, Kei sangat senang sekali. Kei fikir ibu dan bapak tidak akan hadir di acara ini.” ucap Keiyan sambil memeluk ibunya. “Sudah, begitu saja kok mau nangis? Masa laki laki cengeng?” kata ibu mengejek Keiyan. “Kei tidak cengeng bu, Kei hanya senang. Melihat ibu dan bapak datang,” kata Keiyan. “Sudah sudah, kamu tidak malu apa di lihat banyak orang?” bapak sambil melepaskan pelukan Keiyan.     Matahari mulai menyingsing, sinarnya pun sudah mulai redup. Rumah Keiyan kini kembali hangat dengan canda dan gurauan para penghuni rumah. Mereka menghabiskan waktu di ruang tengah bersama. Hingga Keiyan mengambil sebuah kertas formulir pendaftaran ke universitas dan di taruh di atas meja. “Pak, bu, Kei mohon kepada kalian, izinkan Kei untuk pergi ke kota bu?” ucap Kei dengan memohon di pangkuan ibu. “Kenapa kamu ngotot sekali ingin kuliah di sana Kei?” tanya bapak. “Kei benar benar ingin sekolah yang tinggi, biar Kei bisa mengangkat derajat Ibu sama Bapak dengan gelar yang di sematkan di belakang nama Key. Biar Bapak sama Ibu tidak di pandang remeh oleh orang.” Jawab Keiyan. “Tapi Kei, Ibu khawatir. Bagaimana kalau nanti kamu di manfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab?” tanya ibu yang terlihat sangat khawatir dengan Keiyan. “Yakinlah bu, Kei akan baik baik saja. Kei akan hati hati. Kei akan mengingat semua pesan Ibu.” Keiyan meyakinkan ibu. Ibu Keiyan menitikkan air mata, tidak rela jika Keiyan jauh dari dirinya. “Ndak Kei, ibu tidak akan pernah mengizinkan kamu pergi dari sini.” Ucap ibu dengan tegas. Ibu segera melepas Keiyan yang berada di pangkuannya dan berlalu masuk ke dalam kamar. Bapak juga tidak ingin melihat ke arah Keiyan dan segera pergi mengikuti ibu masuk ke dalam kamar.     Keiyan termenung sambil melihat selembar kertas yang kecil dan panjang bertuliskan angka Rp10.000.000,-. Keiyan tidak ingin menyia nyiakan kesempatan emas ini. dengan cek tersebut, Keiyan bisa membayar biaya pendaftaran masuk universitas dan juga membayar kost. Keiyan mengambil kertas formulir pendaftaran yang tadi ia letakkan di atas meja. Keiyan mengisi data di dalam formulir tersebut serta menyimpannya ke dalam tas.     Keiyan mengemasi beberapa pakaian yang masih layak di kenakan ke dalam tas. Tidak lupa berkas penting yang di perlukan untuk mendaftar di universitas. Dengan berbekal beberapa pasang pakaian dan cek sepuluh juta yang merupakan bea siswa dari kepala yayasan di sekolah pagi tadi. Keiyan keluar dari kamar dan mengambil sebuah foto keluarganya. Kemudian di masukkan ke dalam tas yang sudah bertengger di pundaknya.     Keiyan keluar dari rumah saat malam sudah larut, dan tidak ada satupun orang yang berlalu lalang di sekitar jalan. Keiyan nekat kabur dari rumah dengan berjalan kaki melewati hutan dan tebing di kanan dan kiri jalan. Dengan berlampukan senter kecil yang Keyan bawa untuk menerangi jalanan yang gelap gulita. Karena memang masih belum ada lampu jalan disekitar.     Satu jam perjalanan, Keiyan baru sampai di desa sebelah dengan berjalan kaki. Di sana Keiyan duduk di trotoar untuk menghilangkan rasa lelahnya untuk sementara. Di kejauhan ada sebuah mobil truck yang berjalan ke arah Keiyan berada. “Dek, mau kemana dek? Kok malam malam di pinggir jala sendirian?” kata supir truck tersebut. Kasihan anak ini, malam malam berjalan sendirian. Ucap supir tersebut. “Saya ingin ke kota pak. Mau daftar kuliah di sana.” Keiyan menjawabnya dengan jujur di sertai senyum ramah. “Mau numpang sama bapak? Arah tujuan bapak sama dengan arah ke kota.” Bapak supir itu menawarkan tumpangan kepada Keiyan. “Apa tidak merepotkan pak?” tanya Keiyan basa basi. “Tidak apa dek, bapak juga butuh teman biar bapak tidak mengantuk.” Kata pak supir, yang sebenarnya tidak tega melihat Keiyan berjalan sendirian di tengah malam. Keiyan pun menerima bantuan dari supir truck tersebut dan duduk di bangku penumpang. “Dek apakah kamu mau istirahat di rumah bapak untuk malam ini. perjalanan ke kotanya di lanjutkan besok saja. Ini sudah hampir pagi. Seperti kamu sudah lelah.” Tawar pak supir. “Terima kasih banyak pak, bapak sudah mau membantu saya. Saya memang sudah mulai lelah pak. Satu jam saya berjalan kaki.” Ujar Keiyan membenarkan tebakan pak supir truck. “Tidak apa dek. Bapak senang bisa membantu sesama.” Ucap bapak supir truck tersebut. “Pak, kalau boleh saya tahu nama bapak siapa? Suatu saat nanti, saya akan membalas kebaikan bapak.” “Nama Bapak, Adi. Adek sendiri namanya siapa?” pak Adi bertanya balik kepada Keiyan. “Nama saya Keiyan pak.” Jawab Keiyan. “Nama yang bagus. Orangnya juga ganteng.” Puji Pak Adi kepada Keiyan. “Bapak bisa saja kalau memuji saya! Saya ini lho orang desa. Kerjaannya cuma bantu Bapak di kebun.” Keiyan berucap jujur. Keiyan dan pak Adi berbincang hingga mereka tiba di rumah sederhana milik pak Adi. “Silahkan masuk Kei, maaf rumahnya berantakan dan sudah peyot.” Kata pak Adi merendah. “Seperti ini kok peyot pak? Rumah ini jauh lebih luas dari rumah ibu Kei yang ada di desa.” Keiyan bicara apa adanya. Rumah pak Adi memang lebih luas dari rumah orang tua Keiyan. Rumah pak Adi memiliki tiga kamar tidur, serta kamar mandi yang masih satu atap dengan dapur. “Bapak tinggal sendiri di rumah ini?” Keiyan tidak melihat satupun Anggota keluarga pak Adi. “Istri Bapak ada di rumah ibunya, istri bapak sedang hamil besar. Jadi bapak tidak tega kalau meninggalkan istri Bapak sendirian di rumah. Apalagi pekerjaan bapak sebagai supir, tidak selalu ada di rumah. Jadi bapak titpkan di sana, supaya ada yang membantu jika sudah saat persalinan nanti.” Kata pak Adi. Keiyan mendapati kejujuran pak Adi saat menatap mata pak Adi. “Sudah kamu istirahat saja dulu. Besok pagi baru kamu lanjutkan perjalanan ke kota. Oh iya, di dapur ada mie instan kalau kamu merasa lapar. Maklum bapak hanya bisa masak mie instan saja. He he he” pak Adi mengusap tengkuknya merasa sedikit malu. “Tidak apa pak, Kei akan istirahat saja. Mata Kei sudah mulai mengantuk” Kata Keiyan. Keiyan segera masuk ke kamar yang di tunjukkan oleh pak Adi. Malam ini Keiyan beruntung telah mendapat bantuan dari pak Adi yang baik hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD