6. Kenapa Berdebar-debar?

1280 Words
Dhafi baru saja sampai di apartemennya. Pria itu langsung menuju unit miliknya. Saat dia akan membuka kode pin apartment, tiba-tiba bahunya ditarik ke belakang dan satu pukulan dia rasakan di wajahnya. Dhafi yang terhuyung membentur dinding, langsung melihat pada seseorang yang memukulnya lagi. "Latif." Tak sempat meredam keterkejutannya. Dhafi sudah merasakan pukulan lagi, kali ini di perutnya beberapa kali tanpa dia sempat melawan. "Uhukk ...." Dhafi terbatuk hingga sedikit mengeluarkan darah. Dia melirik pada Latif yang tampak terengah-engah setelah berhenti memukulinya. "Itu pantas untuk orang yang memanfaatkan situasi sepertimu Dhaf!" ujar Latif. Dhafi masih terbatuk. Dia menyeka darah yang keluar dari mulutnya. "Apa, kau berhak marah seperti ini Tif?" Sejujurnya Dhafi tidak menyangka jika Latif mendatanginya ke apartemen. Dia pikir, sahabatnya itu sibuk meredam kecurigaan istrinya. "Tentu saja, Indira itu pacarku, kau yang tidak berhak mendekatinya," jawab Latif tanpa rasa malu. Dhafi menegakkan berdirinya, dia menggeleng. "Sadar Tif, dia adik sahabat kita, jangan kau jadikan dia salah satu mainanmu," ujarnya. "Cih, aku tak peduli dia adik siapa, adik Affan, justru itu lebih bagus!" Latif menyeringai, sorot matanya mengisyaratkan sebuah rencana. Dhafi yang cukup mengenal baik sahabatnya itu pun berpikir. Hingga dia ingat satu hal. Di masa lalu, Latif dan Selvy, almarhumah istri pertama Affan satu sekolah saat SMA. Dia ingat, Latif pernah menaruh hati pada Selvy. Namun, wanita itu justru tertarik pada Affan yang dikenalkan Latif pada wanita itu. "Jangan bilang, Indira hanya alat balas dendammu karena Selvy?" tanya Dhafi. "Itu bukan urusanmu!" Latif bersiap lagi untuk memukul Dhafi. Namun kali ini, Dhafi dengan sigap menahan tangan Latif. Hingga keduanya saling menatap tajam. Saling mendorong mencari siapa yang lebih kuat. Sampai akhirnya Dhafi menendang perut Latif hingga pria itu melepas tangannya dan terhuyung ke belakang. "Tif, aku tidak mau menggunakan kekerasan denganmu. Kita sahabat," bujuk Dhafi. "Tidak setelah kau merebut Indira dariku," ujar Latif lagi, pria itu bersiap memukul Dhafi kembali. Kali ini Dhafi tak tinggal diam, dia menahan tangan Latif, lalu membalik keadaan. Dia tidak memukul lawannya, melainkan mengunci pergerakan Latif dengan menahan dua tangan pria itu di belakang tubuh Latif dan sedikit menekannya. "Argh ...," rintih Latif. "Aku sudah bilang, gak mau main keras denganmu. Aku ingatkan, aku pemegang sabuk hitam karate, kalau kau lupa," ujar Dhafi. Latif hanya merintih dan hanya bisa menahan emosinya. Dia ingat siapa Dhafi, dulu saat kuliah, dia pernah mengajar karate di sebuah Dojo ternama. Setelah merasa Latif menyerah, Dhafi akhirnya melepaskan sahabatnya itu. "Aku ingatkan lepaskan Indira. Aku tau, kenapa kau terus mengejarnya, bukan karena cinta, tapi hanya penasaran karena kau belum menidurinya, bukan?" Latif menunduk sambil memegang bahunya yang terasa sakit. Dalam hatinya dia membenarkan apa yang Dhafi katakan. Seumur hidupnya, hanya Indira yang dekat lebih dari tiga bulan, tapi belum pernah dia tiduri. Jangankan membawanya ke ranjang. Cium pun tidak pernah. Indira selalu menolak saat dia berusaha. "Tebakanku benar, bukan?" tanya Dhafi. "ingat Tif, jika terjadi sesuatu seperti yang kau pikirkan pada Indira, sekarang Affan cukup punya kuasa untuk menghancurkanmu!" Setelah mengatakan itu, Dhafi masuk ke apartemennya dan meninggalkan Latif yang langsung menendang dinding untuk meluapkan kekesalannya. Tadi, begitu sampai rumah, Azzam putranya menangis sehingga Winda tak bisa keluar rumah. Dia memanfaatkan keadaan itu untuk menghampiri Dhafi dengan alasan akan menjenguk istri Affan di rumah sakit seorang diri lebih dulu. Namun sayang, dia yang berniat memukuli Dhafi habis-habisan, justru kalah telak. Emosinya membuat dia lupa siapa Dhafi sebenarnya. Akhirnya Latif memilih pergi ke apartemennya untuk beristirahat. Dan tak jauh dari unit apartment Dhafi dan Latif. Winda berdiri di balik dinding menuju tangga darurat. Dia mengikuti ke mana suaminya pergi dan mengabaikan tangis putranya. Kali ini, dia yang menangis. Dia mendengar semuanya. Kecurigaannya terbukti. Seseorang dengan nama DR adalah Indira, adik sahabat suaminya. Winda sudah curiga pada suaminya yang kembali bermain wanita. Dan kecurigaan pada Indira, muncul saat pertama kali mereka bertemu di restoran saat Affan mengajak makan siang bersama dia dan Latif. Saat itu Affan yang tadinya mengatakan akan membawa istrinya justru membawa Indira. Saat itu, dia jelas melihat ekspresi tegang pada wajah suaminya dan Indira. Tetapi saat itu Winda mencoba menepis dugaannya karena mengingat Indira adalah adik Affan. Tidak mungkin suaminya macam-macam pada adik sahabatnya. Kemudian Winda menghapus air matanya, lalu memutuskan pergi meninggalkan tempat itu. Dia tidak mau menggebu meluapkan emosinya. Dia harus bermain cantik untuk membalas rasa sakit hatinya. *** Keesokan harinya, Indira datang ke rumah sakit untuk membawa baju bayi yang sudah dicuci untuk keponakan kembarnya. "Kamu mau kuliah?" tanya Mama Herlina. "Iya Ma, Mama gak apa ikut jaga di sini?" tanya Indira khawatir pada ibu tirinya itu. "Gak apa, kasihan Hanah, lagian ini cucu pertama Mama," jawab Mama Herlina. Indira mengangguk. "Ya sudah, Dira kuliah dulu Ma." Gadis itu pun pamit pada Mama Herlina. Saat di lobi, Indira dipanggil oleh Affan. "Mau kuliah?" tanya Affan. "Iya Mas, itu aku bawa baju ganti buat Mas Affan sama sarapan juga," jawab Indira. Affan pun mengangguk mengerti. Lalu dia melihat pada plastik berisi tubler kopi miliknya. "Oh ya, nanti tolong berikan ini buat Dhafi ya!" Indira mengerutkan keningnya. "Buat Mas Dhafi?" tanya gadis itu tak percaya. Affan mengerti kecurigaan adiknya. Dia memang sengaja ingin membuat adiknya itu dekat secara alami dengan Dhafi. Indira masih sangat lugu. Dia yakin mudah bagi Indira untuk jatuh cinta dengan Dhafi jika sudah mengenal lebih jauh pada sahabatnya itu. "Iya, itu ucapan terima kasih karena dia sudah banyak membantuku kemarin," ujar Affan. Indira masih tak habis pikir. "Membantu apa Mas?" "Halah sudah, berangkat sana, keburu dingin kopinya, telat juga kamu nanti," ujar Affan. Indira pun mengangguk, lalu pamit dan pergi ke kampusnya. Tak butuh waktu lama bagi Indira sampai di kampus dengan taksinya. Apalagi jam sibuk sudah lewat, jadi dia tidak bertemu dengan kemacetan. Di kampus, Indira langsung menuju ruangan Dhafi untuk menyerahkan kopi titipan Affan. Setelah mengetuh pintu beberapa kali, Indira tak mendapat jawaban membuat dia penasaran. "Apa dia ngajar pagi, ya? Tapi seingatku, jam pertama dia dikelasku." Akhirnya dengan ragu Indira mencoba membuka handle pintu. Dan rupanya, ruangan itu tidak dikunci. "Ceroboh banget gak dikunci?" Gadis itu pun masuk, ruangan itu kosong. Ragu-ragu Indira melangkah mendekati meja kerja Dhafi. Dia letakan tumbler berisi kopi untuk dosen tampannya itu. Hingga pandangan mata Indira tertuju pada pas foto di atas meja. Dia ambil pas foto berukuran 4x6 itu dan melihatnya. "Ganteng juga, kenapa gak milih jadi artis, pasti terkenal," gumamnya. "Siapa yang terkenal?" Mata Indira langsung membulat, dia segera berbalik dan menyembunyikan tangannya yang memegang foto. Tak mau ketahuan mengagumi, gadis itu memasukan pas foto Dhafi ke saku celana jins birunya. "Sedang apa kau di sini?" tanya Dhafi. Indira menggeleng. "Em, anter kopi dari Mas Affan," jawabnya. Perlahan Indira menghela napasnya. Tiba-tiba dia merasa gugup. Aroma musk dari parfum pria di depannya membuat darahnya serasa berdesir. Debaran jantungnya pun mulai menggila. Apalagi ditambah ingat adegan ciuman kemarin. 'Aku kenapa gugup gini?' tanya Indira di dalam hatinya. Dia yang berada di depan Dhafi dengan posisi lebih pendek dari pria itu membuat matanya langsung melihat pada jakun Dhafi yang bergerak naik turun saat pria itu bicara. "Dari Affan? Atau darimu?" tanya Dhafi lagi. "Apa?" Mata gadis itu pun akhirnya melihat wajah Dhafi. Dia yang berniat mengelak, justru dibuat terkejut dengan kondisi pipi Dhafi yang terlihat membiru, sudut bibir pria itu juga seperti ada bekas luka. "Mas Dhafi kenapa?" Mata Indira membulat, dia dekati sahabat kakaknya itu dan langsung mencoba menyentuh wajah Dhafi. Namun, Dhafi menepis tangan itu dan berdecak. "Bukan urusanmu!" tegasnya. Indira menggeleng. "Apa ini perbuatan Mas Latif?" tanya Indira, dia kembali mencoba menyentuh wajah Dhafi, dia cemas sekali. Kembali Dhafi menepis tangan Indira. "Aku bilang, bukan urusanmu!" tegasnya sekali lagi. Tetapi kemudian Dhafi terdiam, saat melihat Indira diam dengan mata berkaca-kaca, hingga dua bulir air mata menetes ke pipinya. "Ini salahku," ucap Indira.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD