"Dira apa yang kamu lakukan?" Latif menarik tangan Indira hingga dia menjauh dari Dhafi yang tampak membatu.
"Lepas Mas!" tegas Indira yang kemudian menyentak tangan Latif darinya. "aku mencium calon suamiku, bukan suami orang, apa salah?"
"Ca-calon suami?" Latif menatap bingung pada Indira dan Dhafi.
Namun, sesaat kemudian pria itu tertawa. "Hahaha, bercanda kamu Dira, aku sangat tahu siapa Dhafi, dia benci perempuan!" ujarnya penuh keyakinan.
Mendengar itu Indira langsung menatap pada Dhafi yang masih dia peluk lengannya. Dalam hati gadis itu, dia bertanya-tanya, benarkah apa yang dikatakan oleh Latif tentang Dhafi.
Rasanya tidak percaya jika pria setampan dan semapan Dhafi, ada kelainan, tidak menyukai perempuan dan justru menyukai laki-laki.
'Pantas sikapnya dingin kayak kulkas dua pintu,' ucap Indira di dalam hati. 'tunggu, Mas Dhafi sama Mas Affan sangat dekat, apa jangan-jangan dia suka sama Mas Affan?'
"Gak mungkin, Mas Affan udah nikah sama Mbak Hannah, 2 kali malah, jelas Mas Affan normal," gumam Indira sangat lirih.
"Kenapa tegang Dhaf?" tanya Latif. "takut Dira tahu yang sebenarnya kalau kau–"
"Diam tidak!" ujar Dhafi dengan tegas memotong ucapan Latif.
"Kenapa? Takut kalau–" Mata Latif membola saat tiba-tiba dia melihat Dhafi melakukan sesuatu pada Indira.
Sama halnya dengan Indira, gadis itu benar-benar terkejut saat tiba-tiba Dhafi menarik dagunya dan mengecup bibirnya.
'First kiss-ku,' ucap Indira di dalam hatinya. Tiba-tiba jantungnya berdebar sangat cepat. Darahnya terasa berdesir merambat naik ke wajahnya.
"b******k!" umpat Latif yang kemudian menarik bahu Dhafi lalu tangan kanan pria itu terangkat dan dengan cepat mendarat di sudut bibir sahabatnya.
"Kurang ajar, aku saja belum pernah menciumnya!" teriak Latif.
Affan yang terduduk di aspal, sedikit terkejut mendengar jika Latif belum pernah mencium Indira. Mengingat sepak terjang Latif sebelumnya, rasanya tak percaya jika hubungan Latif dan Indira belum sampai ranjang.
Tetapi, melihat respon Latif yang penuh emosi. Ditambah ekpresi Indira saat ini, Dhafi yakin, itu benar adanya. Yakin akan hal itu, Dhafi sedikit merasa lega karena Indira masih tahu batasan.
Dhafi kemudian berdiri, dia menyeka sudut bibirnya yang sedikit mengeluarkan darah. "Apa salahnya?" tanya Dhafi.
"Apa kau tuli, apa yang tadi Dira katakan? Aku calon suaminya!"
"b******k!" umpat Latif lagi dan bersiap memukul Dhafi.
Namun, tiba-tiba Indira berdiri di depan Dhafi dan menatap tajam ke arahnya. "Mas Latif, kalau berani pukul Mas Dhafi, aku akan teriak!"
"Dira," ucap Latif memelas.
Indira menarik napasnya panjang, lalu dengan yakin dia berkata, "Mas Latif sudah punya anak dan istri, aku tidak mau menjadi perusak rumah tangga orang."
"Dira, aku akan ceraikan Winda, tapi kamu dan dia, itu cuma bohong, kan?" tanya Latif. "sampai kemarin kamu masih kekasihku, bagaimana bisa–"
"Bisa!" ujar Indira menyela. "aku dan Mas Dhafi dijodohkan sama Mas Affan, dan aku menerimanya!"
"Apa?" tanya Latif tidak percaya.
Begitu pula Dhafi, dia menatap pada Indira dengan bingung. Kenapa adik sahabatnya itu bicara tanpa berpikir lebih dulu.
"Dir–" Belum selesai Latif bicara, sebuah mobil berhenti di dekat mereka dan membuat pria itu tegang.
Sebuah mobil sedan berwarna merah, dan seorang perempuan dengan dress hitam keluar. "Wi-Winda," ucap Latif lirih.
"Mas Latif, kamu kok ada di sini?" tanya Winda, wanita itu menatap bingung pada suaminya yang tampak berantakan penampilannya. "Mas bilang mau ke Bandung?"
Kemudian Winda menatap pada Dhafi dan Indira. "Mas Dhafi, kenapa bibirnya? Apa kalian bertengkar?"
"Sa-sayang, kamu kok ada di sini?" tanya Latif gugup, dia berusaha meraih tangan istrinya.
"Aku tadi ketemu dokter Affan di baby shop, dia baru beli perlengkapan bayi dan minta aku bawa pulang ini." Winda menunjuk pada paper bag di tangannya, lalu menyerahkannya pada Indira dengan raut kebingungan.
"Ini pakaian bayi, dicuci dulu, kalau sudah kering, antar ke rumah sakit! Sekalian bawa untuk dokter Affan."
"Ah, i-iya Mbak, terima kasih," ucap Indira.
Winda masih menatap heran pada tiga orang di depannya. Dia yakin telah terjadi sesuatu di antara mereka bertiga.
"Sayang, tadi aku dengar istri Affan melahirkan, aku ke sini buat mastiin, makanya aku belum jadi berangkat ke Bandung," ujar Latif yang baru saja mendapatkan sebuah alasan.
"Begitu?" tanya Winda masih tak percaya.
Latif segera meraih tangan istrinya. "Iya, sebaiknya kita pulang, terus jenguk Affan dan istrinya di rumah sakit sama-sama, ayo!" Pria itu sedikit memaksa istrinya kembali ke mobilnya.
"Jalan dulu, aku menyusul di belakang."
Winda ragu-ragu mengangguk, sebelum dia menjalankan mobilnya, wanita itu kembali menatap pada Indira dan Dhafi yang tampak begitu tegang.
"Hati-hati sayang!" ujar Latif.
Winda pun mengangguk, lalu menjalankan mobilnya meninggalkan tempat itu.
Latif menatap tajam ke arah Dhafi. Pria itu menunjuk pada dosen muda itu. "Urusan kita belum selesai Dhaf!" Lalu, Latif masuk ke mobilnya dan pergi dari tempat itu.
Indira menghela napasnya perlahan setelah kepergian Latif dan istrinya. Dia sedikit lega meski dia yakin, Latif belum mau menyerah.
Kemudian Indira teringat dengan kondisi Dhafi, dia berbalik dan menatap dengan penuh sesal pada sahabat kakaknya itu. Ragu-ragu dia ingin menyentuh luka di sudut bibir Dhafi.
"Ma-maaf Mas, gara-gara aku–"
Indira tak melanjutkan kalimatnya karena tiba-tiba Dhafi pergi begitu saja. Pria itu masuk ke dalam mobilnya dan pergi dari tempat itu.
"Di-dia marah?" gumam Indira tak percaya. Gadis itu merasa bersalah karena telah tanpa sengaja melibatkan Dhafi atas masalahnya.
Gadis itu menghela napasnya panjang, lalu masuk ke dalam gerbang rumah Mama Herlina. "Kemana sih Pak Satpam?" gerutu Indira.
Kemudian Indira masuk ke dalam rumahnya. Hingga dia mendengar suara security yang sedang berada di dapur bersama dua asisten rumah tangga di rumah itu.
"Pantesan." Indira menghampiri asisten rumah tangganya lalu meminta mengurus pakaian bayi yang diantar Winda tadi. Setelahnya Indira pergi ke kamarnya.
Masuk ke dalam kamarnya, Indira langsung melepas tasnya, dan berdiri di depan cermin rias. Pandangan matanya tertuju pada bibirnya. Perlahan dia sentuh bibirnya itu dan teringat dengan ciuman pertamanya yang diambil Dhafi tadi.
"Kenapa bibirnya sangat dingin?" gumannya.
Memikirkan itu, jantung Indira kembali berdebar lebih cepat. "Ada apa dengan jantungku, kenapa debarannya cepet banget pas ingat Mas Dhafi?"
"Apa aku suka dia?" tanya Indira. "aku jatuh cinta sama dia?"
Sementara itu di tempat lain. Dhafi tak fokus mengemudi. Pria itu baru saja menghentikan mobilnya lalu mengingat kejadian tadi.
"Sial, bagaimana bisa dia menyebut aku calon suaminya?" gumam Dhafi. Pria itu menyugar rambutnya. Merasa stress karena dia tanpa sadar sudah terlalu jauh masuk ke masalah Indira.
Dhafi menoleh ke sampingnya. Ada buku-buku Indira yang tertinggal dan tadi rencananya dia kembali untuk memberikan buku itu pada sang empunya. Tetapi dia justru mendapati Latif dan Indira yang tampak bersitegang.
Dhafi menggeleng, enggan memikirkan semua itu. Kemudian pria itu melihat spion dalam mobilnya dan memastikan sudut bibirnya baik-baik saja.
Namun, yang terjadi adalah. Dhafi ingat dirinya yang tadi nekad mencium bibir adik sahabatnya. Dhafi teringat dengan ekspresi terkejut Indira, juga kemarahan Latif.
"Jadi, itu benar-benar first kiss dia?" Pria itu meraba bibirnya sendiri, disusul senyuman tipis di sana.