Nyuruh orang buat move on itu gampang, tapi menjalaninya sendiri itu susah pakai banget --Kanaya Putri --
***
Luar biasa memang orang-orang yang menyemangati seseorang yang sedang patah hati dengan bilang "move on dong." Termasuk Naya. Dulu saat kakaknya putus, dia yang paling getol bilang "Udah Mas ayo move on. Buat apa terus-terusan mikirin mantan. Nggak ada guna. Mantan itu tempatnya di dasar laut, atau di tempat sampah." Tapi sekarang, saat teman kantornya meminta dia untuk move on, Naya mendengus.
"Ngomong sih gampang Nis. Kamu sih, nggak ngerasain apa yang aku rasain sekarang. Tiga belas tahun itu nggak sebentar. Aku sih jelas kepingin cepet move on, tapi itu gak gampang." Naya sedang menikmati makan siang di pantry kantor bersama beberapa teman. Nisa, salah satu geng makan siang Naya itu baru saja memberi ceramah panjang soal move on.
"Emang sih nggak bakalan gampang, apalagi buat kasus yang seperti kamu, Nay. Tapi, kamu emang harus move on, kan. Tuh cowok b******k bahkan udah merit." lanjut Aya, yang duduk di sebelah Naya. Mereka berempat selalu makan siang bersama, Naya, Nisa, Aya, dan Rara. Naya, Nisa serta Aya, mereka bertiga adalah merchandiser di perusahaan itu. Karena itu mereka dekat. Sedangkan Rara bekerja di team purchasing, sekaligus teman satu kos Nisa. Jadilah mereka berempat menjadi teman makan siang setiap hari.
"Gimana kalau entar pulang kerja kita nonton? Have fun. Siapa tahu juga bakal ketemu jodoh di mall. ya kan girls?" sahut Rara antusias.
"Aku nggak bisa ikut kalau hari ini. Besok sahabatku tunangan. Hari ini aku nginap di rumahnya." balas Naya yang membuat ketiga temannya memberengut.
"Yah ... nggak jadi dong. Gak komplit kalau kamu gak ikut, Nay. Entar kita reschedule aja deh," lanjut Rara yang disetujui teman-temannya. Nisa tampak berpikir sambil menatap Naya yang sedang menyendok kuah soto.
"Nay ... " panggilnya hati-hati. Yang dipanggil mendongak dengan tatapan "ada apa?"
"Kamu mau gak kukenalin sama abang aku."
"Uhuk ... uhuk ..." Naya tersedak kuah soto yang sedang diseruputnya. Wajahnya memerah. Naya segera meraih gelas yang disodorkan oleh Aya. Meneguk cairan putih bening itu hingga tandas.
"Hati-hati Nay ... " ucap Aya sambil mengusap punggung temannya.
"Kamu juga Nis, abang kamu itu bukannya habis cerai ya." Matanya memelotot pada Nisa. Nisa meringis. "Ya ... iya sih, baru 3 bulan lalu Abangku cerai. Tapi kan nggak ada salahnya Yak, siapa tahu mereka berdua bisa saling mengobati, ya kan? Dua orang yang sama-sama sedang patah hati akan bisa saling menyembuhkan," belanya.
"Teori dari mana itu?" kesal Aya
"Ya dari aku lah, masa dari mbah google," sahut Nisa tak mau kalah.
"Udah-udah jangan adu urat. Habisin dulu tuh makanannya," pisah Rara saat melihat dua sahabatnya sudah saling melotot.
Setelah batuknya reda, Naya mengambil selembar tisu untuk membersihkan mulut. Tenggorokannya terasa seperti terbakar.
"Aku lagi nggak pengin deket sama cowok, girls. Siapa pun. Jadi jangan berani-berani promosiin aku sama cowok-cowok kenalan kalian," tolak Naya.
"Yah Nay ... padahal aku pengin banget jadiin kamu kakak ipar," gurau Nisa yang dibarengi dengan gelak tawa, dan lemparan gulungan tisu oleh Naya.
"Ih ... apaan nih tisu bekas iler kamu pake dilempar-lempar," sungut Nisa sambil ujung jarinya mendorong tisu yang jatuh tepat di depannya--ke bawah meja.
"Makanya nggak usah pake jodoh-jodohin aku sama Abang kamu, kalau tidak mau aku aniaya entar," balas sengit Naya. Obrolan mereka berlanjut sampai jam menunjukkan pukul 12.55, tandanya mereka harus segera kembali ke meja kerja masing-masing.
***
Pagi itu Naya terbangun di kamar asing. Ah ya ... Naya ingat jika semalam dia menginap di rumah Yayuk. Sahabatnya itu bahkan dengan senang hati menjemputnya ke kantor, demi bisa mengobrol semalaman dengannya--yang terlalu sering lembur, hingga tidak punya waktu untuk sekedar jalan bareng, atau ngobrol panjang lebar seperti jaman kuliah dulu. Naya menyibak selimut yang membungkusnya, lalu segera menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Tidak enak rasanya bangun kesiangan di tempat orang lain. Si pemilik kamar yang semalam tidur bersamanya, bahkan sudah tidak tampak di ruangan itu.
Menuruni anak tangga setelah selesai membersihkan diri, Naya melihat kesibukan di lantai satu. Tentu saja sudah banyak kerabat Yayuk yang datang ke rumahnya, untuk membantu persiapan acara pertunangan Yayuk dengan Bimo nanti malam. Naya segera bergabung entah dengan siapa yang sedang sibuk membungkus lemper (makanan yang terbuat dari ketan dan diisi dengan abon sapi). Ia belum mengenal kedua wanita paruh baya yang didatanginya itu. Memasang senyum, lalu ikut duduk di tikar, dan langsung mengambil potongan daun pisang untuk membungkus lemper.
"Temannya Rika ya, Dek?" sapa salah seorang Ibu dengan dress hitam di depannya.
"Iya Bu ... teman dari jaman kuliah dulu," jawabnya dengan senyum tetap terpatri di wajah.
"Wah ... sudah lama kalau begitu ya. Berarti kenal juga dengan calonnya Rika, ya?" tanya Ibu satunya lagi yang terlihat sedikit lebih muda dari si Ibu berdress hitam. Naya menganggukkan kepalanya. Dia sedang fokus pada gulungan lempernya.
"Kerja seperti Rika juga?" tanya si Ibu kembali. Sepertinya si Ibu ingin membangun komunikasi supaya suasana tidak sepi, dan Naya merasa diterima di rumah itu.
"Engga bu. Saya kerja di pabrik," jawab Naya jujur.
"Kok bisa? Biasanya yang sekolah bahasa inggris itu kerjanya seperti Rika, jadi guru."
Naya tertawa kecil "Saya pengecualian Bu. Kayaknya nggak akan sabar ngajarin orang. Makanya gak jadi guru." Si ibu ikut tersenyum.
"Yang penting dapat kerjaan ya Dek, dari pada jadi pengangguran. Sekarang banyak yang jadi sarjana tapi masih pada nganggur. Jadi harus tetap bersyukur." Naya mengangguk setuju.
"Iya Bu, yang penting pekerjaan halal." Tangannya kembali meraih lembar daun pisang untuk membungkus lemper, disertai percakapan ringan seputar masa kecil sahabatnya yang diceritakan oleh ke dua Ibu paruh baya yang duduk bersamanya. Beberapa kali Naya tertawa keras mendengar aib masa kecil sahabatnya yang mereka ceritakan.
"Sudah bangun, Nay? Kirain masih molor." Seseorang yang menjadi bahan cerita itu tiba-tiba sudah duduk di sebelahnya. Naya menghentikan tawanya, menolehkan kepala ke sebelah.
"Kamu kenapa nggak bangunin aku sih, Yuk? Gak enak banget bangun kesiangan di rumah orang." Naya memberengut, sementara Yayuk tersenyum sambil menepuk lengannya.
"Kamu tidur nyenyak banget. Nggak tega banguninnya. Seperti orang yang sudah seminggu gak tidur," ejeknya yang dihadiahi sontengan bahu oleh Naya.
"Aku capek kali, Yuk. Seminggu ini lembur, biar bisa libur tahun baru dengan tenang."
"Eh ... kamu belum sarapan, kan? Ayo ikut aku ke dapur." Yayuk tiba-tiba ingat tujuannya mencari sang sahabat.
"Rika bawa Naya dulu ya, Bulik. Biar sarapan bentar," pamitnya pada kedua wanita yang duduk bersama Naya.
"Oalah, belum sarapan to ternyata. Maaf ya Dek, Bulik malah ajak kamu cerita ngalor ngidul (panjang lebar). Nggak tahu kalau belum sarapan. Udah monggo sarapan dulu." Naya mengangguk. Beranjak dari duduknya, lalu berjalan bersisihan dengan Yayuk menuju dapur. Ia sudah hafal rumah Yayuk karena sering menggunjunginya dari jaman mereka masih kuliah.
Setelah duduk, dan menerima sepiring nasi pecel serta telur ceplok, Naya segera melahapnya.
"Dagingnya belum matang, jadi sarapan pecel dulu, ya." ucap Yayuk sembari ikut duduk di seberang sang sahabat.
"Nggak papa kali. Ini udah mantep. Masakan Ibu Susi, dari dulu 11-12 sama masakan Ibu Puji, tahu nggak?" Yayuk tersenyum.
"Ah ... jadi kangen masakan Ibu Puji. Sudah lama aku nggak main ke rumah kamu."
"Ya kan kamu sibuk," jawab Naya setelah menelan kunyahan dalam mulutnya. "Sibuk pacaran sama Bimo," tambahnya--yang dibalas pukulan dilengannya.
"Kapan kamu pulang? Aku ikut dong." pinta Yayuk.
"Lah ... besok juga aku pulang. Mau ikut??" tantang Naya. Yayuk memberengut.
"Ya jangan besok dong, Nay. Besok masih banyak keluarga di sini," keluh gadis yang sebentar lagi akan bertunangan tersebut.
"Lah kamu kamu nanya kapan aku pulang, ya aku jawab besok," sahut Naya tak mau kalah.
"Ish ... minggu depan, deh. Kamu pulang kan minggu depan?" Naya mengangguk. Tidak ingin melanjutkan godaannya pada sang sahabat.
***
Pukul 7 malam, Naya bersama dua saudara sepupu Yayuk, sudah bersiap di depan tenda yang terpasang di halaman depan rumah keluarga Yayuk. Dengan seragam kebaya kutu baru, serta rambut tersanggul modern--juga riasan minimalis, Naya memasang senyum ramah, menyapa para tamu yang datang. Sebenarnya hanya keluarga besar Yayuk dan Bimo, serta tetangga dan beberapa sahabat mereka yang diundang, tapi tetap saja persiapannya tidak kalah dari persipan sebuah pernikahan. Bimo bukan berasal dari keluarga biasa. Orang tua lelaki itu kedua nya dosen di universitas diponegoro, sedangkan Yayuk juga termasuk dari kalangan atas. Ayahnya seorang pengacara yang cukup disegani di semarang, jadi wajar saja jika acara pertunangan mereka berdua terlihat berlebihan dimata Naya. Apapun itu, ia ikut berbahagia untuk sahabatnya. Sayangnya senyum yang ia pajang sejak berdiri menyambut para tamu itu seketika luntur, ketika matanya menangkap sepasang sosok yang terlihat mesra berjalan menuju ke arahnya. Sang lelaki terlihat sangat tampan dengan baju batik lengan panjang berwarna dasar merah marun, sewarna dengan dress yang dipakai sang wanita yang ia peluk erat pinggangnya. Mendadak Naya merasa kesulitan bernafas, dadanya terasa sesak. Ia berusaha mengais oksigen untuk mengembalikan kewarasannya. Ia menunduk, dadanya naik turun menggapai udara di sekitarnya yang terasa menipis--sampai sebuah suara membuatnya mendongak.
"Nay ... kamu kenapa?" Masih berusaha bernafas dengan benar, matanya menatap sosok yang berdiri menjulang di hadapannya.
"Are you ok? " tanya lagi sosok di depannya ketika Naya masih juga terdiam. Naya mengangguk kaku. Dari sudut matanya dia bisa melihat sosok menjulang lain di belakang, yang kini terlihat pias. Matanya menatap ke arahnya. Naya bisa melihatnya dengan jelas. Tangan kekar itu tidak lagi merengkuh pinggang sang perempuan yang juga terlihat sedang memandangnya. Wajah perempuan itu nampak tidak asing buat Naya, tapi sekeras apa pun Naya mencoba mengingatnya, ia tetap tidak ingat.
"Eh ... ayo masuk, Dhan." Setelah terdiam cukup lama, Naya menarik lengan Dhani, salah satu sahabat Bimo yang sudah dikenalnya. Dia tidak yakin bisa menyapa sosok di belakang Dhani--tanpa bergetar.
"Hey .. hey ... tunggu, itu ada Abi sama istrinya. Tadi aku ketemu dibdepan." Dhani menoleh ke belakang mencari temannya itu, tapi Naya tidak peduli. Ia hanya butuh segera masuk, lalu bersembunyi di dalam rumah.
Namun sayang, angan-angannya untuk masuk dan bersembunyi ke dalam rumah itu kandas, ketika sosok sang sahabat melihatnya, kemudiam melambaikan tangannya--meminta Naya mendekat. Dengan langkah cepat, Naya meninggalkan Dhani yang masih kebingungan. "Oh ... sh*t." maki Dhani ketika dia sadar apa yang membuat Naya bertingkah seperti itu.
Yayuk segera menarik Naya untuk duduk di sebelahnya, di antara anggota keluarganya.
"Sini aja temenin aku. Aku deg-deg an, Nay," bisik Yayuk yang saat itu terlihat sangat cantik dengan kebaya warna gold. Naya tersenyum tipis. Demi sang sahabat, Naya menguatkan hatinya untuk tidak berlari ke dalam rumah--ketika sekali lagi, matanya menemukan sosok sang mantan yang duduk bersama sang istri, dan juga beberapa sahabat Bimo--termasuk Dhani yang dikenalnya. Dia menguatkan hati untuk tidak lagi menundukkan kepalanya, ketika mata mereka bertemu. Tatapan penyesalan yang terlihat oleh mata Naya, membuat hatinya serasa diremas. Tatapan itu sungguh menyakitinya. Dengan berani, dibalasnya tatapan itu dengan tatapan meremehkan. Dia tidak lagi ingin terlihat kalah di depan sang mantan, meskipun di dalam hatinya ia tahu ia telah kalah telak.
***
Acara lamaran Yayuk berjalan lancar, yang ditutup dengan penyematan cincin di jari Yayuk, dan Bimo sebagai pertanda bahwa mereka sudah terikat. Suara pembawa acara mengejutkan Naya, ketika terdengar namanya dipanggil. Yayuk menyikut Naya, matanya mengisyaratkan agar sahabatnya itu segera maju ke tempat si pembawa acara. Melihat sekeliling yang juga sedang menatapnya, akhirnya Naya menghela nafas, dan berdiri dari duduknya. Berjalan mendekati pembawa acara
"Ini dia Mbak Kanaya Putri, sahabat kedua pasangan yang sedang berbahagia. Mbak Naya jugalah yang katanya menjadi perantara mereka berdua sampai akhirnya bersama." Ucapan pembawa acara menggema, mengiringi langkah kecil Naya, hingga akhirnya sampai di disampingnya.
"Bisa Mbak Naya ceritakan bagaimana dulu Mbak Naya menjadi makcomblang buat Mbak Rika dan Mas Bimo?" Si pembawa acara tersenyum, lalu memberikan pengeras suara yang dipegangnya kepada Naya. Here we go ... Naya menarik nafas panjang beberapa kali, sebelum akhirnya bercerita
"Um ... terima kasih atas waktu yang diberikan kepada saya. Sebenarnya ... pacar saya waktu itu yang kasih tahu saya kalau sahabatnya, Bimo naksir sahabat saya. Dia juga yang minta saya buat comblangin mereka." Naya tersenyum kecut mengingat awal mula ia mengenalkan Bimo pada Yayuk.
"Waktu itu saya sengaja mengajak Yayuk .. eh maksud saya Rika." Naya mendengar tawa beberapa orang "Saya ajak Rika ke kampus teknik, tempat Bimo belajar. Awalnya sih Rika menolak, tapi setelah saya bujuk dengan alasan ini mengenai masa depan percintaan saya, akhirnya dia mau." Kembali tawa terdengar--kecuali satu orang yang Naya lihat dengan jelas menutup rapat mulutnya.
"Rika memang secinta itu pada saya, jadi akhirnya dia nurut, waktu saya tarik ke depan Bimo. Dia masih bingung waktu itu. Wajahnya bener-bener kelihatan bego saat itu. Sorry to say ya, Yuk." Dia menatap sahabatnya yang sedang melotot ke arahnya.
"Di hadapan Bimo, saya langsung kenalin mereka. Saya bilang .. Yuk, kenalin ... ini Bimo, ketua BEM kampus ini. Waktu itu Rika beneran cengo, tapi tetep aja dia nyambut uluran tangan Bimo." Naya cekikikan.
"Sebenarnya, waktu itu saya sudah janjian lebih dulu sama Bimo buat makan siang bareng. Akhirnya Rika mati kutu. Mau gak mau dia ngikutin saya sama Bimo. Bimo gercep sih. Dia gak mau membuang kesempatan, dia bawa kami makan di simpang 5. Kami ngobrol panjang lebar saat itu. Dari situ mulainya mereka saling kenal. Beberapa kali saya masih ikut makan bareng sama mereka berdua. Yah ... jadi penyambung, saat mereka kehabisan bahan obrolan. Bulan ke-lima kalau gak salah, setelah pertemuan pertama mereka itu, saya mendapati mereka mojok di kantin kampus sastra. Tanpa saya. Eh ternyata mereka udah jadian." Naya tersenyum ke arah Yayuk, dan Bimo yang juga sedang tersenyum ke arahnya.
"Beberapa kali mereka sempat bertengkar hebat, sampai saya harus jadi penyambung mereka lagi. Tapi saya tidak keberatan sama sekali. Saya tahu Bimo baik, dan dia yang paling cocok buat Rika. Saya menyayangi Rika, seperti saudara sendiri, makanya saya mau yang terbaik buat dia. Dan Bimo, dia yang terbaik buat sahabat saya." Naya mengusap air matanya yang keluar. Menatap teduh sang sahabat yang juga terlihat mengusap sudut matanya.
"Selamat buat kalian berdua. I'm happy for you both. Bim, tolong jaga Yayuk seperti orang tuanya menjaga dia selama ini. Kalau kamu sampai bikin dia nangis, awas aja," ancam Naya. gelak tawa para tamu kembali riuh terdengar, melihat Naya mengacungkan kepalan tangannya ke arah Bimo. Bimo tertawa sambil menganggukkan kepalanya. Naya kembali menatap sang sahabat, memberikan senyum hangatnya.
"Be happy Erika Rahayu." Sang sahabat tersenyum.
Naya kembali ke tempat duduknya, memeluk sang sahabat sambil mengusap-usap punggungnya.
"Kamu juga harus bahagia, Nay. Promise me," bisik Yayuk yang hanya dibalas anggukan kepala Naya dibahunya.
Selesai acara, para tamu dipersilahkan menikmati hidangan makan malam yang sudah disiapkan. Ada beberapa stan makanan yang bisa mereka pilih. Naya memilih stan bakso, bersama Dhani yang sudah mengikuti langkahnya.
"Besok jalan yuk, Nay. Nonton," ajak Dhani disela suapan baksonya
"Besok aku pulang, Dhan. Balik kos baru lusa, dan langsung ngantor. Bonyok minta diapelin. Masku juga kan kebetulan pulang, jadi gak bisa kemana-mana. Sorry ya," tolak Naya dengan sorot meminta maaf.
"Trus kapan bisa jalan barengnya?" Dhani masih belum mau menyerah. Naya masih terdiam berfikir, ketika suara berat lain menyapanya
"Nay ... can we talk?"