Part 6. Anger

1763 Words
Cewek patah hati itu kalau marah mengerikan --bimo aryo-- *** "Nay, can we talk?" Dengan cepat kepala Naya berputar ke arah datangnya suara. Matanya melotot tidak percaya melihat siapa yang mendatanginya. Bagaimana bisa pria itu meninggalkan istrinya, hanya untuk mengajak bicara Naya. "Nay ... please ..." pinta Abi saat Naya masih belum menjawabnya. Naya menghela nafas kasar, lalu menolehkan kepala ke arah Dhani yang juga masih terdiam mengamati dua orang di depannya. "Dhan ... nanti aku kabari ya, kapan aku ada waktu. Kayaknya aku mesti ngobrol bentar sama Abi." "Kamu nggak apa-apa? Atau mau aku temenin?" Dhani membungkukkan badannya sedikit untuk melihat dengan pasti ekspresi Naya. Naya menggeleng pelan. "Nggak perlu Dhan. Aku baik-baik saja," tolak halus Naya. Dhani menghela nafas, sebelum akhirnya mengangguk kecil, lalu pergi meninggalkan mereka berdua. Saat melewati Abi, ia sempatkan berhenti sejenak, lalu menepuk bahu temannya itu "Be good to her," pintanya. *** Naya berjalan ke samping rumah, sedikit menjauhi keramaian. Ada taman kecil di samping rumah Yayuk. Setelah dirasa cukup jauh, ia berhenti, lalu membalikkan badannya--membuat Abi, yang sebelumnya mengekorinya terlonjak kaget. "Udah ... mau omong apa?" tanya Naya. Matanya menatap tajam lawan bicaranya. Naya tahu Abi tertekan. Dia bisa membaca dari gerak gerik tubuhnya yang tidak tenang.  "Waktu itu Papa kena kasus korupsi, Nay." Abi membuka ceritanya, setelah terdiam beberapa saat. Seperti yang pernah dia janjikan pada Naya, bahwa suatu saat dia akan menjelaskan alasan kepergiannya. Dan sekaranglah saatnya, pikir Abi. Dia menghela nafas dalam, mengangkat kepalanya melihat langit gelap. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuh. "It was the worst time ever in my life. Cuma saudara Papa yang kebetulan tinggal di Aussie yang bersedia menampung kami sekeluarga. Rumah dijual buat membayar sebagian kerugian perusahaan yang Papa sebabkan. Om, yang membiayai kuliahku di sana. Tapi aku juga tidak mau hanya mengandalkan Om. Aku kerja paruh waktu di dua tempat, Nay." Hati Naya tergetar mendengar cerita Abi. Sungguh dia tidak menyangka Abi mengalami hal buruk itu. Tatapannya melembut. "So sorry to hear that. Aku nggak tahu kalau kamu kesulitan di sana, Bi." Naya mengusap pelan lengan Abi, membuat Abi menurunkan pandangannya pada Naya. "Harusnya kamu kasih tahu aku, Bi. Mungkin aku gak akan bisa bantu apa-apa, tapi setidaknya kamu bisa berbagi denganku." "Aku tidak ingin membebani pikiranmu, Nay. Aku tidak ingin membuatmu bersedih." Naya mendengus. Usapannya pada lengan Abi terhenti. "You did it, Bi. Bahkan lebih buruk. Kamu tidak hanya membuatku bersedih. Kamu menghancurkan hatiku. Kamu membuatku jadi orang bodoh selama ini." Suara naya naik satu oktaf, emosi mulai kembali menguasai dirinya. Abi memegang kedua bahu Naya. "Maafkan aku, Nay. Aku sungguh menyesal. Kalau saja aku bisa memutar waktu --" belum sempat Abi menyelesaikan omongannya, Naya menyela dengan suara lebih tinggi. "No one can ever turn back the time!!" ia menghempaskan tangan Abi dari kedua bahunya. Tatapan matanya menusuk netra Abi. "Kamu memasungku selama 10 tahun. SEPULUH TAHUN!! Merantai kedua tangan dan kakiku, sementara kamu bebas, dan bahagia dengan yang lain diluar sana." Jari telunjuk Naya menekan d**a Abi, sementara kepalanya masih mendongak menatap nyalang sang mantan. "Nay ... bukan seperti itu. Aku bahkan baru kembali bertemu dengannya dua tahun lalu. Selama ini hidupku berat, Nay. Setelah lulus, aku menjadi penopang keluargaku. Papa stroke. Sudah tidak bisa bekerja lagi. Aku juga harus membiayai adik aku." "Lalu kenapa kamu tidak mencariku, Bi? Aku memang tidak punya banyak uang, tapi aku bekerja. Aku punya simpanan. Aku bisa membantumu." Naya terengah-enggah. Dia menggelengkan kepalanya. Tersenyum kecut ke arah Abi. "Oh .. tentu saja kamu tidak mencariku, setelah bertemu dengannya. Kamu melupakanku. Kamu melupakan janjimu. Sejak kapan ... sejak kapan kamu menyingkirkanku dari hatimu, Bi?!!" Teriak Naya histeris. Abi kebingungan menenangkan Naya yang semakin tidak bisa mengontrol emosinya. "Nay ... tenang Nay. Tolong tenang ... pelankan suaramu. Banyak orang di sini. Tolong maafkan aku Nay. Aku tidak bisa tidur tenang setelah pertemuan kita waktu itu. Aku sadar, aku sudah membuat kesalahan besar. Aku sudah menyakitimu. Tolong maafkan aku, Nay," pinta Abi memelas. Naya tersenyum meremehkan. "Enak sekali kamu minta maaf. Baru berapa hari kamu tidur tidak tenang, sementara aku?" Naya menunjuk dadanya sendiri. "Bertahun-tahun Bi. Kamu meninggalkanku dengan janji manis. Kamu bilang kamu pasti akan kembali padaku. Kamu memintaku menunggu. Kalau memang kamu sudah tidak ingin bersamaku, harusnya kamu mengakhiri hubungan kita. Bukan malah menggantungku." Pandangannya nyalang ke arah manik hitam Abi. "Kenapa? Mau bilang kamu tidak bisa menghubungiku?" Abi membuka lalu kembali menutup mulutnya. Lidahnya terasa kelu. "Kalau kamu memang mencintaiku, kamu akan punya seribu cara untuk menemukanku. Aku bahkan tidak berani mengambil pekerjaan di luar kota. Aku takut saat kamu kembali, kamu tidak bisa menemukanku." nafas Naya memburu. "Dan kalau kamu punya sedikit saja rasa kasihan padaku, sedikit saja Bi, kamu akan memberiku kata 'putus'. Dengan begitu, aku tidak harus membuang waktuku sia-sia menunggu pria b******k sepertimu." Naya tertawa sumbang. Ia menertawai dirinya sendiri. "Aku yang bodoh di sini." Air mata wanita itu merembes. "Please Nay ... katakan apa yang harus kulakukan, supaya kamu mau memaafkanku." Naya masih menatap Abi tajam. Menantang netra pria tersebut. "Ceraikan istrimu." lirih Naya berucap, tapi efeknya mampu membuat wajah Abi pias seketika. Pria itu terdiam. Naya masih menantangnya, namun tidak ada jawaban yang keluar dari bibir Abi. Hanya tatapan meminta maaf yang didapat Naya, dan itu semakin meluapkan emosinya. Dia berbalik, lalu mulai berjalan menjauhi Abi--berniat kembali ke rumah Yayuk. Tidak ada gunanya melanjutkan obrolan dengan Abi, pikir Naya. Pria itu hanya ingin Naya memaafkannya, supaya hidupnya kembali tenang. Enak saja ... Naya tidak akan semudah itu memaafkannya. Biar saja dia merasakan sebagian kecil penderitaan yang Naya rasakan selama ini. "Nay ....." panggil Abi yang masih coba membujuk Naya. Tanpa membalikkan badan, Naya berhenti sesaat, lalu berteriak sekencang yang ia bisa, sambil mengacungkan jari tengahnya ke atas " F*CK YOU ABIYAKSA KURNIAWAN. F*CK YOU !!!" tanpa melihat reaksi Abi yang terdiam membeku saat mendengarnya, Naya melanjutkan langkahnya dengan cepat. Yang tidak Naya sadari adalah, bahwa bukan hanya Abi yang mendengar teriakannya, namun juga beberapa orang yang masih ada di halaman rumah Yayuk. Salah satunya adalah sang sahabat sendiri Erika Rahayu.  Yayuk yang saat itu sedang berkumpul dengan beberapa sahabat Bimo, dan berbincang mengenai acara barbeque untuk menghabiskan acara malam tahun baru itu sontak melotot. Tatapannya ke arah sang sahabat yang terlihat mengangat kain yang membelit tubuh bagian bawahnya, dengan air mata yang mengucur, berjalan cepat menuju rumahnya. Tatapannya lalu beralih pada sosok yang berjalan di belakang sang sahabt tak lama kemudian. Matanya semakin membulat. "Oh ... sh*t." lalu tatapan Yayuk beralih ke samping. Pada calon suaminya. "Kamu undang dia?" Nada suaranya yang tinggi membuat Bimo gelagapan. Dia tidak menyadari kehadiran mantan sahabatnya itu. Terlalu fokus dengan kebahagiannya, hingga ia abai dengan sekitar. Dia bisa merasakan kesakitan Naya. Kembali menatap Bimo dengan wajah memerah menahan amarah. Yayuk mengelengkan kepalanya. "We have a word after this, Bim." lalu segera berjalan cepat meninggalkan Bimo dan teman-temannya untuk menyusul sahabatnya. Bimo mengusap wajahnya kasar. Dia menyadari sudah membuat masalah. Dia menatap Abi yang baru saja kembali bergabung bersamanya. "Apa yang terjadi?" tanyanya yang dijawab dengan gelengan kepala lesu. Wajah pria itu tampak kusut.  "Cewek patah hati itu kalau marah mengerikan," ucap Bimo, lalu pergi meninggalkan teman-temannya. Dia harus menunggu pengadilan dari calon istrinya. Sementara itu, Abi harus menerima tatapan tajam dari sang istri. *** Yayuk membuka pintu kamarnya, dan mendapati Naya yang sedang terisak di tepi ranjang. Sahabatnya itu sempat menoleh sebentar melihat siapa yang masuk ke kamar, lalu kembali menunduk. Segera Yayuk menghampiri Naya. Duduk di sampingnya, kemudian memeluknya. Tangannya mulai mengusap lengan sang sahabat. Tak perlu bicara, karena ia tahu saat ini Naya tidak membutuhkan kata-kata. Dia hanya perlu ditemani, dan saat nanti Naya siap bercerita, maka dia akan dengan senang hati mendengarnya. Menit demi menit berlalu, hanya dengan saling berpelukan sampai akhirnya isakan Naya perlahan mereda. Ia kemudian melonggarkan pelukannya, mengusap air mata sahabatnya sambil memberikan senyum. Senyum yang menguatkan hati Naya. "Dia .. dia b******k, Yuk," buka Naya. Yayuk mengangguk membenarkan. "Seenaknya saja dia minta maaf. Dia bilang dia tidak bisa tidur tenang setelah pertemuan pertama kami karena merasa bersalah." "He should be," jawab Yayuk "Aku tidak akan memaafkannya. Yuk. Dia harus merasakan penyesalan itu seumur hidupnya." Yayuk hanya tersenyum kecil menanggapi. Sahabatnya sedang emosi. "Aku minta dia menceraikan istrinya ..." "Haaa???" Yayuk yang terkejut sontak melepaskan pelukannya, menatap Naya dengan intens. "lalu?" lanjutnya. Naya tersenyum kecut. "Dia cuma diam." Naya mengelengkan kepala."Aku tahu dia tidak akan melakukannya. Sama seperti aku yang tidak akan memaafkannya," terang Naya. Yayuk menarik nafas panjang. "Aku minta maaf atas nama Bimo, Nay. Dia tidak berpikir panjang waktu mengundang si b******k itu." Dia menatap sendu Naya. "Aku beneran nggak tahu Bimo undang dia. Aku baru tahu tadi pas kamu habis neriakin dia 'F*ck you Abiyaksa Kurniawan. F*ck you." tirunya. Naya tertawa kecil mendengarnya. "Orang-orang pasti mikir aku gila." dia kembali tertawa. Yayuk ikut tertawa. Dia senang mood sahabatnya sudah membaik. "Kalo kamu lihat wajah Abi saat itu, aku yakin kamu bakal tertawa keras, Nay. Belum lagi entar dia pasti kena omel istrinya." Naya menghela nafas. "Aku emosi banget tadi, Yuk. Dia pasti malu banget sama orang-orang." "Hey .. kenapa malah khawatirin si b******k itu sih. Biarin aja dia malu. Dia pantas mendapatkannya." Yayuk mengusap lengan Naya.  "Habis ini juga aku bakal omelin si Bimo. Enak aja dia undang si b******k itu tanpa bilang aku," sahut Yayuk kesal. Kalau saja ia tahu Bimo berniat mengundang mantan kekasih Naya, sudah pasti ia akan menjadi orang pertama yang menolak keras. Ia bahkan tidak tahu jika Bimo sudah bertemu kembali dengan pria yang sudah menghilang selama lebih dari sepuluh tahun itu. Naya menenangkan sahabatnya. "Bukan salah Bimo, Yuk. Mereka temen--dulu dan lingkar pertemanan mereka pasti akan mempertemukan mereka. Jangan rusak kebahagiaan kalian." Yayuk terdiam "Aku suruh mereka pulang aja ya, Nay. Aku nggak mau mereka ikut acara barbeque malam ini. Kamu pasti nggak akan nyaman." "It's ok, Yuk. Aku hanya perlu ada di kamar aja. Entar kamu anterin makannya ke sini tapi. Lagian aku juga udah gak mood ikutan barbeque kok. Pengen mandi, trus tidur." Yayuk masih belum mau menyetujuinya. "Jangan dong. Kamu kan soulmate aku, Nay. Kamu harus ikut acaranya. Nggak seru kalau kamu gak ikut." Naya menggelengkan kepalanya. Ia tidak ingin merusak hari bahagia sahabatnya. "Beneran Yayuk sayang. Soulmate kamu ini capek banget. Pengin tidur." Naya memberikan senyumannya, membuat yayuk memberengut. "Just enjoy the party with Bimo. Ayolah Yuk. This is your day," bujuknya yang membuat Yayuk akhirnya menyerah. Setelah kembali menguatkan lewat satu pelukan, akhirnya Yayuk meninggalkan Naya. Bagaimana pun, masih banyak sanak saudara dan juga beberapa temannya, serta Bimo di luar. Naya beringsut menuju kamar mandi. Dia ingin mandi lalu tidur, berharap bisa melupakan semuanya. Tapi pertanyaannya 'bisakah???'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD