Forgive or forget ? Hanya itu pilihannya -- kanaya putri
***
Naya duduk termenung di sofa kamarnya. Dhani baru saja menelpon, meminta menemaninya ke acara empat bulan kehamilan Sandra, istri Abi. Acaranya masih tiga minggu lagi, tapi sepertinya mereka ingin membuat pesta yang sebenarnya, hingga sudah mengurus segala keperluan jauh-jauh hari.
Jujur, sebenarnya ia tidak punya keinginan datang ke acara itu. Untuk apa? Hanya akan membuat hatinya kembali sakit. Melihat kebahagian mantan itu seperti menyiram limun di atas luka yang masih basah. Perih pastinya. Dan Naya tidak berharap merasakan hal itu. Sakit yang ia rasakan sudah cukup.
Naya mengumpat dalam hati. Kenapa dulu harus jatuh cinta pada si b******k Abi. Jatuh sejatuh jatuhnya selama tiga belas tahun. Bayangkan ...TIGA BELAS tahun dia buang percuma. Seharusnya, dalam kurun waktu selama itu, ia sudah bisa menemukan jodohnya. Mungkin dia bahkan sudah menikah saat ini.
Naya tersentak saat mendengar suara nyaring ponselnya. Ia beranjak dari tempat duduk, melangkah menuju nakas di samping ranjang tempat ia meletakkan ponsel. Mengernyit kala melihat nama penelepon, sebelum akhirnya mengangkatnya.
"Halo"
"Tante Nanaaaa!!" teriak nyaring disebrang telpon. Tanpa sadar senyum Naya mengembang.
"Halo Mekka. Kamu belum tidur jam segini?" Gadis cilik di seberang telepon bergumam yang tidak tertangkap jelas di telinga Naya. Ia kembali mengernyit kala mendengar suara krasak krusuk yang kemudian berganti suara bariton yang sudah dihafalnya.
"Sorry Nay ... Mekka pake handphone tanpa ijin. Barusan aku tegur. Maaf kalau ganggu kamu," lapor Alka.
"Papa ... papa ... balikin handphone nya. Mekka belum selesai." Suara lengkingan Mekka terdengar. Naya tertawa.
"Nggak apa-apa kok, Pak, saya tidak keberatan. Toh saya juga belum tidur."
"Papa ... buruan ... nanti Tante Na bobok," rengek Mekka. Akhirnya, Alka membiarkan Mekka kembali menguasai ponselnya. Suara nafas Mekka terdengar memburu "Tante .. Tante belum bobok, kan?" Sepertinya anak itu baru saja berlari ke kamarnya. Tidak ingin diganggu sang Papa saat menelepon Naya.
"Belum sayang. Nih tante masih dengerin Mekka. Tadi mau cerita apa?" Hening sejenak sampaí suara nyaring Mekka kembali menghampiri gendang telinga Naya.
"Minggu depan ada pentas di sekolah. Mekka mau nari Tante." Cerita gadis cilik itu dengan penuh semangat.
"Wah ... hebat dong. Mau nari apa?" Naya menanggapi cerita Mekka--membuat anak kecil itu tersenyum senang di tempatnya.
"Puncak gunung, Tante," jawab riang Mekka
"Wow ... pasti bagus," sahut Naya yang membuat Mekka memekik bahagia.
"Iya Tante ... Tante datang ya, lihat Mekka nari." Naya terdiam. Dia mengingat perbincangannya dengan Seli beberapa waktu lalu, bahwa sebaiknya ia menjauh dari Mekka. Ia menarik nafas panjang, berfikir bagaimana cara menolak anak itu tanpa harus menyakiti hatinya.
"Tante Na ..." panggil Mekka tatkala Naya masih terdiam. Naya yang sedang setengah melamun tergagap
"Ah ... iya sayang. Um ... besok Tante lihat dulu kerjaan Tante ya. Takutnya kerjaan Tante nggak bisa ditinggal sayang." Giliran Mekka yang terdiam beberapa saat.
"Tante Na nggak bisa datang, ya?" Suara lemah Mekka membuat hati Naya gelisah, membayangkan wajah kecewa bocah lima tahun itu.
"Semua teman Mekka punya Papa, Mama, tapi Mekka cuma punya Papa." Gadis cilik itu mulai terisak lirih--yang masih terdengar di telinga Naya. Hati Naya semakin teriris. Bagaimana bisa dia membiarkan anak kecil itu menangis. Maafkan aku mbak Sel, bisik Naya dalam hati saat dia merasa tidak akan bisa menepati janjinya untuk menjauh dari Mekka.
"Jangan menangis dong, sayang. Nanti cantiknya Mekka hilang lho," candanya. Namun tetap tidak bisa menghentikan isakan di seberang sana. Naya menghela nafas kasar
"Besok Tante usahain datang. Mekka jangan nangis lagi dong, sayang," bujuknya. Perlahan, suara isakan mereda, lalu beberapa saat kemudian isakan itu benar-benar berhenti. Naya merasa sangat lega.
"Janji ya, Tante ... Mekka akan nari baguuuus banget supaya Tante Na suka." Oh ya tuhan, Naya ingin sekali mendekap tubuh kecil itu sekarang. Seandainya saja saat ini mereka berada di tempat yang sama.
***
Hari itu akhirnya datang. Naya sudah mempersiapkan hatinya. Menghindar berarti dia kalah, dan dia tidak ingin menjadi si pecundang. Naya akan pastikan dia lah yang pada akhirnya keluar menjadi pemenang.
Setelah hampir satu jam perjalanan, mobil Dhani akhirnya berhenti di depan sebuah rumah minimalis modern dua lantai. Ini pertama kalinya Naya datang ke rumah itu. Bukankah dia sudah jadi pemenang saat berani melangkahkan kakinya memasuki rumah sang mantan?
"Ayo masuk ... pestanya ada di halaman belakang." Dhani menghela Naya melewati pintu samping. Rumah itu memang minimalis, tidak besar sesuai namanya, namun ternyata memiliki halaman yang cukup luas di belakang, serta kolam renang meski tidak besar. Tak sadar Naya mendengus, rumah seperti inilah yang pernah diimpikannya. Rumah yang memiliki halaman depan dan belakang yang luas, yang bisa dipakai anak-anak bermain. Dia masih ingat pernah memberitahu Abi rumah impiannya, dan pria itu berjanji akan mewujudkannya. Dan dia benar-benar mewujudkannya, tapi buat orang lain, bukan untuknya.
Memasuki halaman belakang, Naya mengedarkan pandangannya. Halaman luas itu sudah dihias sedemikian indah penuh dengan bunga. Dia bisa melihat pasangan pemilik acara yang sedang tertawa bahagia di tengah kumpulan beberapa orang yang tidak ia kenal. Sentuhan ringan di siku nya menyadarkan Naya, bahwa dia tidak sendiri. Menoleh ke kanan, ia mendapati Dhani yang tersenyum ke arahnya.
"Kita ke sana. Ucapin selamat dulu ke Abi dan Sandra." Dhani menunjuk ke arah kerumunan yang terdapat pemilik acara di antaranya. Naya menguatkan hatinya sebelum mengangguk. lalu menyelipkan tangan kanannya ke lengan kiri Dhani. Sejenak Dhani terpaku, ia menatap Naya, lalu turun ke tangan Naya yang sudah memeluk lengannya. Ia tersenyum, merasakan debar menyenangkan setelah sekian lama mengharapkan perhatian dari gadis itu.
"Ayo." Naya tersenyum, lalu melangkah bersama Dhani. Senyum Dhani tak luntur sampai saat mereka tiba di depan kerumunan tersebut.
"Hai ..." sapa Dhani. Lalu menyalami satu per satu orang di sana. Rupanya Dhani sudah mengenal mereka. Hanya Naya saja yang belum mengenal lingkaran pertemanan Abi.
"Wah ... sepertinya ada yang sebentar lagi mengucap ijab nih," canda salah satu dari mereka--yang sontak diikuti tawa yang lainnya. Perhatian mereka tertuju pada Naya yang malam itu memakai dress putih dibawah lutut dengan kerah sabrina, memperlihatkan bahunya yang putih bersih, sementara rambut coklatnya ia kepang tak beraturan ke samping, dengan beberapa anak rambut yang ia biarkan lepas, dan lipstik merah yang menambah kesan sexy. Jangan lupakan heels 9 cm nya. Naya tersenyum, dan mengangguk kecil sebagai sopan santun.
"Ah iya ... kenalin, ini Kanaya. Panggil aja Naya." Dhani memperkenalkan Naya pada teman-temannya. Naya kemudian menyalami satu per satu teman Dhani.
"Pantesan selama ini Dhani betah menjomblo. Eh ... ternyata nungguin bidadari turun," celetukan salah satu dari mereka yang membuat tawa kembali terdengar.
"Nay ... kalau kamu bosan sama Dhani, kita-kita juga masih available lho." Dhani menoyor kepala teman yang kebetulan berdiri tidak jauh darinya.
"Enak aja ... emangnya gue bodoh apa sampai ngelepas dia," bantah Dhani. Naya melirik Abi. Pria itu nampak tenang, dan hanya diam. Sesekali matanya bergerak melihat tangan Naya yang masih melingkar di lengan Dhani. Apakah Naya sengaja? Jawabnya tentu saja iya ... dia sengaja. Dia tidak ingin menjadi satu-satunya yang tersakiti, saat melihat kemesraan Abi dengan istrinya. Dia juga bisa membuat hati pria itu tidak tenang. Dan dia akan melakukannya.
"Ah iya ... selamat ya San, atas kehamilan kamu. Semoga lancar sampai melahirkan nanti." Naya melepaskan lingkaran tangannya di lengan Dhani, lalu beralih menyalami Sandra dengan senyum tersungging. Kali ini ia tulus mendoakan kehamilan Sandra. Ia marah pada Abi, bukan pada calon bayinya. Selesai dengan Sandra, ia beralih pada Abi, lalu mengulurkan tangannya.
"Selamat calon Papa." Naya memberikan senyum. Senyum yang kali ini terlihat sinis di mata Abi. Memangnya apa yang Abi harapkan? Tak lama Naya sudah mengalihkan perhatiannya pada Dhani.
"Dhan ... kita ke sana, yuk." tunjuknya ke arah Bimo, dan Yayuk yang baru saja tertangkap netranya. Dhani mengangguk, lalu berpamitan pada teman-temannya.
"Yah ... kok pergi sih, Nay. Kita belum ngobrol lho. Kamu mau tahu boroknya si Dhani nggak?" celetukan yang ditimpali Naya dengan tawa khasnya.
"Aku udah tahu baik buruknya dia. Udah ngaku duluan orangnya sebelum ada yang bocorin." Naya melirik Dhani yang kini melingkarkan tangannya dibahu nya. Sebenarnya Naya merasa risi, akan tetapi melihat gelagat Abi yang tidak tenang, membuatnya membiarkan tangan Dhani tetap berada di bahunya. Bahkan dengan berani tangannya kini melingkar di pinggang pria itu.
"Wow ... wow ... sepertinya ada yang butuh privasi nih, guys." pria di depan Naya terang-terangan menatap tangan Naya yang berada di pinggang Dhani. Dhani tergelak.
"Kayak nggak pernah jatuh cinta aja lo, bro," seloroh Dhani diakhiri dengan kekehan.
"Ya udah lah, Dhan. Buruan bawa ke kua sebelum gue tikung," sahut pria yang sama.
"Cari aja cewek lain bro. Yang ini limited. Udah gue cup dari dulu." Dhani mengetatkan rangkulannya di bahu Naya, kemudian menghela gadis itu pergi, tanpa menghiraukan umpatan teman-temannya. Naya masih bisa menangkap beberapa kata-kata mereka.
"Buset deh ... beruntung banget si Dhani dapetin Naya."
"Kayaknya gue jatuh cinta pada pandangan pertama, deh. Bisa kasih tahu gimana cara nikung cewek teman?" Lalu gelak tawa terdengar.
***
Naya memeluk Yayuk begitu sampai di tempat Bimo dan wanita itu berdiri. Mereka berdua sedang menikmati es krim ketika Naya sampai.
"Wah ... wah ... beneran udah official nih, sekarang?" ledek Bimo saat melihat kemesraan Naya dan Dhani.
"Doain aja, bro. Kalau Naya mau sih, besok juga gue bawa ke kua. Ijab kabul dalam satu tarikan nafas," candanya yang Naya hadiahi cubitan di lengan.
"Udahlah Nay ... iyain aja si Dhani kenapa sih. Nanti kita nikahannya barengan gitu Nay. Asyik gak tuh." Yayuk menaik turunkan alisnya.
"Apaan sih, Yuk. Becandanya garing amat."
"Siapa juga yang bercanda sih, Nay. Serius nih." Yayuk menatap Naya serius, tapi yang ditatapnya malah tergelak. Dari sudut matanya, Naya bisa menangkap perhatian Abi tertuju padanya. Dalam hati ia berteriak senang. Kamu sekarang tahu gimana rasanya cemburu kan, Bi. Itu belum seberapa di banding kesakitanku karena kamu. Belum seberapa, batinnya.
"Eh Nay ... si Mekka kapan main ke Semarang lagi? Kangen nih sama tuh anak." suara Yayuk membuyarkan pikiran Naya.
"Belum tahu, Yuk. Dua minggu lalu aku baru ke Jakarta lihat dia pentas di sekolahnya." Penjelasan Naya membuat Dhani tersentak. Yayuk yang menyadarinya, segera menyikut Naya, tapi gadis itu tidak paham.
"Tuh anak ternyata berbakat nari juga. Luwes banget dia." Yayuk melotot pada Naya, kemudian memberikan peringatan dengan melirik Dhani yang berdiri di sebelah Naya. Naya akhirnya terdiam, begitu membaca pesan tak terucap yang diberikan Yayuk. Berdoa dalam hati, supaya Dhani tidak bertanya lebih lanjut.
Malam itu pesta empat bulan kehamilan Sandra berjalan lancar. Naya benar-benar memanfaatkan waktu dengan berada dalam jangkauan mata Abi, memastikan pria itu melihat nya yang bertingkah sok mesra dengan Dhani.
Abi sadar, seharusnya matanya tidak boleh lagi terarah pada Naya. Sandra seharusnya sudah menjadi pusat dunianya sekarang. Tapi kedua matanya selalu saja berkhianat. Otaknya sudah menyuruh berhenti memperhatikan Naya yang terlihat begitu intim dengan Dhani. Tapi kedua bola matanya malah tak mau beralih dari wanita itu. Alhasil, sepanjang acara yang seharusnya membuatnya bahagia, justru membuat ia berkali-kali menggeram kesal. Hatinya panas ... cemburu melihat Naya yang malam ini tampil begitu memukau, hingga menjadi pusat perhatian banyak kaum adam yang datang ke pestanya.
***
Naya menyukainya. Menyukai melihat kecemburuan di balik kaca mata itu.
Forgive or forget. Hanya itu pilihan yang Naya punya. Sayangnya, naya masih belum bisa melakukan salah satunya.
Sorry Bi ... aku masih ingin melihat kamu menyesal karena sudah meninggalkanku.